Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Dianggap Sesat hingga Diancam Penjara
Dianggap Sesat hingga Diancam Penjara

ShareTweet+ 1Mail

Menganut agama atau aliran kepercayaan terhadap Tuhan di luar enam agama yang diakui pemerintah, bukan perkara mudah. Diskriminasi kerap mendera, seperti saat ingin mencatatkan pernikahan. Bahkan ada yang dianggap sesat hingga diancam penjara.


Dianggap Sesat hingga Diancam Penjara


SM/Beni Dewa, Mohamad Sobirin
TUNJUKKAN DOKUMEN : Penganut agama Bahaíi Suliyono menunjukkan dokumen dari Kemenag (kiri). Sementara itu (kanan) suami-istri Daryono-Sarinah menunjukkan akta perkimpoian. (24)

NASIB 20 orang penganut agama Baha’i di Desa Cebolek, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati juga tidak jauh berbeda. Pemenuhan hak-hak dasar sebagai warga penganut Baha’i, seperti pepatah jauh panggang dari api.

Meski menghadapi diskriminasi, mereka tak pernah menyesal apalagi ingin meninggalkan agama yang diyakini.

Sulistyani (45), salah satu penganut Bahaíi merasakan kuatnya penolakan warga, terutama ketika dia masih remaja. Abdul Djamali, orang tua Sulistyani yang paling merasakan pahit getir menjadi pemeluk Baha’i.

‘’Orang tua kami dulu sering dituduh sesat, kerap dipanggil aparat berwajib, bahkan diancam penjara, hingga ancaman dicopot statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Namun itu hanya ancaman belaka, tidak pernah terwujud,’’ kata guru di salah satu SMK di Pati itu.

Diskriminasi lain, kolom agama di KTP diisi tanda baca (-). Agama Baha’i juga tidak ditulis di kartu keluarga. Di kartu itu hanya ditulis beragama kepercayaan. Status anak pada akta kelahiran juga hanya dituliskan anak dari ibu.

Sebab perkimpoian mereka yang dilaksanakan berdasar agama Baha’i belum bisa dicatat secara resmi oleh pemerintah. ‘’Meski hak administrasi kependudukan masih sulit, kami bersyukur.

Sebab warga saat ini, terutama di Cebolek, lebih toleran dan mau menerima keyakinan kami,’’ katanya. Hanya saja, anak-anak penganut Bahaíi kerap menjadi korban bullying di sekolah.

Mereka juga harus selektif dalam mencari sekolah untuk anakanaknya. ìSebelum mendaftar, kami harus menemui pihak sekolah untuk menjelaskan agama yang dianut tersebut,’’ katanya.

Sempat ada sekolah yang berupaya memberikan pendidikan agama Baha’i. Hanya saja, hal itu terbentur perizinan. ‘’Saya membebaskan anak-anak untuk belajar agama lain. Jika sekadar untuk belajar, tidak apa-apa,’’ katanya.

Suliyono, pemeluk Baha’i yang lain berharap, hak-hak mereka sebagai umat beragama terpenuhi. Berbagai upaya telah ditempuh. Salah satunya, mengirim surat resmi ke Bupati dan instansi terkait.

Namun usaha mereka belum membuahkan hasil sesuai. Peneliti penganut dan penyebaran Agama Baha’i di Pati Moh Rosyid menuturkan, hingga kini masih ada diskriminasi terhadap umat agama tersebut.

Pelayanan atas hak dasar sebagai warga negara belum dipenuhi pemerintah daerah. Dia mencontohkan, ketika umat Baha’i menikah dan mengajukan akta perkimpoian ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, mereka tidak dilayani.

Alasannya, Baha’i bukan agama resmi dan belum ada petunjuk pelayanannya. ‘’Seharusnya surat dari Menag itu bisa menjadi rujukan dalam pemberian hak dasar umat Baha’i sebagai warga negara Indonesia.

Dibutuhkan keberanian dan keberpihakan pemerintah setempat untuk mengakomodasi hakhak umat Baha’i,’’tutur Rosyid yang menerbitkan hasil penelitiannya dalam buku berjudul ìAgama Bahaíi dalam Lintasan Sejarah di Jatengî.

Dosen STAIN Kudus itu menambahkan, agama Bahaíi tumbuh di Iran tahun 1844. Hingga kini agama tersebut menyebar ke 191 negara, termasuk Indonesia.

Baha’i merupakan agama independen (mandiri) atau tak terkait dengan agama yang ada, dan bersifat universal. Klaim sesat terhadap Bahaíi, menurut Rosyid, sangat tidak beralasan.

‘’Tujuan agama Baha’i adalah untuk mewujudkan transformasi rohani dalam kehidupan manusia dan memperbarui lembaga masyarakat berdasarkan prinsip kesatuan,’’ kata Rosyid.

Ajaran agama itu juga pantang memberontak pemerintah Ketua Komunitas Lintas Agama dan Kepercayaan Pantura (Tali Akrap) itu juga mengatakan, ajaran Baha’i dilarang pada Orde Baru.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun menerbitkan Kepres No 69 Tahun 2000 tanggal 23 Mei 2000 berisi Pencabutan Keputusan Presiden No 264 Tahun 1962 yang melarang agama Baha’i di Indonesia.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin kemudian menerbitkan Surat No MA/276/2014 tanggal 24 Juli 2014 yang menerangkan bahwa Baha’i merupakan agama yang dilindungi sesuai ketentuan Pasal 29, 28 E, dan 28 i UUD 1945.

‘’Sudah selayaknya umat Baha’i memperoleh hak-hak dasar sebagai warga Indonesia dan kebebasan memeluk agama yang mereka percaya,’’ katanya.

Berdarah-darah

Nasib serupa juga menimpa suami istri Daryono (62) dan Sarinah (45), warga Dusun Tawangagung, Desa Karangtawang, Kecamatan Nusawungu, Cilacap. Mereka yang menganut penghayat kepercayaan, pada 1998, pengajuan pengesahan perkimpoian ke Kantor Catatan Sipil Cilacap (sekarang Dinas Kependudukan dan Catatan Cilacap).

Namun pengajuan itu ditolak karena sebagai penganut penghayat kepercayaan, mereka dianggap terlambat mengajukan pengesahan pernikahan ke kantor tersebut.

Berdasar UU Administrasi Kependudukan, perkimpoian sesama penghayat kepercayaan seharusnya bisa diakui oleh negara. Namun karena UU hanya memberi batas maksimal 60 hari sejak perkimpoian adat dilaksanakan, Kantor Catatan Sipil Cilacap menolaknya.

‘’Kami sedih dan bingung saat itu. Sebagai warga negara Indonesia, kami merasa dibedakan dengan yang lain hanya karena kami pemeluk penghayat kepercayaan,’’ kata Daryono.

Merasa diperlakukan tidak sama, pasangan itu mengajukan pengesahan ke pengadilan. Sejumlah sidang ditempuh, baik di Cilacap maupun Semarang. Semua jenjang pengadilan mengesahkan pernikahan mereka.

Berbekal putusan itu, mereka maju ke Catatan Sipil. Akhirnya negara mengeluarkan akta perkimpoian mereka pada 2013. ‘’Sampai berdarah-darah pun kami akan perjuangkan. Ini karena kami merasa warga Indonesia.

Yang berhak juga diakui dan disamakan haknya meski kami pemeluk penghayat kepercayaan,’’ kata Sarinah. Menurutnya, satu hal yang menjadi pendorong utama upaya mereka memperjuangkan hak itu adalah masa depan anak-anak yang berjumlah enam orang.

Mereka jelas butuh akta kelahiran dan dokumen lain yang memerlukan keabsahan pernikahan orang tua mereka. Karena itu, mereka berusaha keras mendapatkan surat pernikahan yang diakui negara.

‘’Kepercayaan yang kami jalani sampai sekarang merupakan warisan orang tua kami. Kami mengikuti jejak orang tua kami sebagai pemeluk penghayat kepercayaan.

Apa ini salah?’’ tanya perajin tempe itu. Bagi pasangan itu, cibiran atau ejekan tidak akan menjadi masalah. Itu akan menjadi bagian dari upaya untuk terus memperbaiki diri sebagai bagian dari laku kepercayaan yang dijalani.

Namun jika diperlakukan berbeda terkait hal penting, seperti keabsahan dokumen kependudukan, maka ini menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan. ‘’Kini pasangan penghayat kepercayaan yang lain juga mudah mendapatkan surat seperti itu,’’ kata Daryono.Perjuangan tersebut, bagi mereka, sebagai kunci pembuka agar pasangan penghayat lain mudah mendapatkan pengakuan status perkimpoian di depan negara. (Beni Dewa, Saiful Annas, Mohamad Sobirin – 50)

http://berita.suaramerdeka.com/smcet...ancam-penjara/

Jangankan yang diluar 6 agama resmi, yang termasuk dari 6 agama resmi aja masih didiskriminasi . Faktanya penetapan 6 agama resmi hanya menguntungkan 1 agama aja & merugikan yang di luar 6 agama resmi bahkan 5 agama resmi lainnya
0
4.2K
25
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.