![armidi780](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/12/01/avatar7418835_1.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
armidi780
LIMA Anggapan Keliru tentang Ahok dan Anies
Quote:
Welcome n' Happy Reading People ![Keep Posting Gan emoticon-Keep Posting Gan](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fdbkw1349c4s.gif)
![Keep Posting Gan emoticon-Keep Posting Gan](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fdbkw1349c4s.gif)
Quote:
Di bawah ini adalah tulisan tentang pandangan pribadi yang dihasilakn oleh berbagai pengalaman dari seorang dosen Paramadina yang bernama Novriantoni Kahar
So Cek id Ot![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
So Cek id Ot
![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
Quote:
Selama proses Pilkada DKI yang sangat sengit ini, saya mencermati beberapa anggapan yang bagi saya keliru, bahkan kadang bertolak-belakang dari apa yang diyakini secara luas oleh banyak pihak tentang dua paslon yang masih berlaga, terutama Pak Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dan Anies Baswedan, mantan Rektor tempat saya mengajar di Paramadina. Anggapan itu sedemikian kelirunya—mungkin bisa dipertimbangkan masuk dalam materi pelajaran Kelirumologi yang diampu Jaya Suprana—sampai-sampai kita bisa tersesat dan tertipu bila tidak cermat menilai keduanya.
Sebelum memaparkan kelima anggapan keliru itu, saya lebih dulu ingin berbagi pengalaman hidup yang semoga saja berguna. Sependek riwayat saya mengamati sosok manusia, saya kini sampai pada kesimpulan bahwa kadang-kadang kita menemukan sosok yang tampak cantik-elok-budiman dari kejauhan, namun sesungguhnya buruk-elek-arogan tatkala diamati dari kedekatan. Sebaliknya pun bisa terjadi. Sosok yang tampak buruk-elek-arogan dari kejauhan, justru terkadang merupakan sosok yang paling baik, empatik dan budiman.
Inilah kenapa kita perlu dalam-dalam menyelami sosok-sosok yang sedang dihidangkan kepada kita, apalagi di masa Pilkada, agar kita tidak tertipu oleh eloknya tutur-kata, senyuman manis dan bualan-bualan yang meninabobokkan. Karena itu, tulisan ini hendak mengajak pembaca untuk merenungkan beberapa anggapan yang selama ini keliru, bahkan bertolak-belakang dari apa yang penulis pahami.
![LIMA Anggapan Keliru tentang Ahok dan Anies](https://s.kaskus.id/images/2017/04/16/7418835_20170416105751.jpg)
Jika mencermati pemberitaan media dan bahkan video-video yang didokumentasikan dengan apik oleh Pemerintah Propinsi DKI, gampang sekali orang beranggapan bahwa Ahok adalah sosok yang kasar dan arogan. Ya, Ahok terkadang kasar, arogan dan temperamental. Terutama atas ketidakbecusan dan kecurangan. Terhadap siapa saja, bahkan terhadap anggota dewan. Namun yang orang lupakan, bagaimana mungkin sosok nan kasar, arogan dan temperamental ini begitu setia dan sabarnya melayani berbagai keluhan dan pengaduan warga Jakarta di Balai Kota?
Perlu diingat, keluhan rakyat jelata itu terlalu banyak, tak terhingga jumlahnya. Dan sebagian besar keluhan mereka mendapat porsi di telinga Ahok dan menemukan solusi cepat lewat instuksi-instruksi sosok yang kasar, arogan dan termperamental ini. Kalau anda bukan sosok yang altruis alias tak terlalu mementingkan diri sendiri, untuk apa anda sebagai pejabat harus bertungkus-lumus dengan persoalan besar dan kecil keseharian macam itu? Saya bertaruh, saya dan mungkin juga anda, mungkin tak akan kuat menyambut dan menyimak, apalagi mencari penyelesaian keluhan-keluhan warga Jakarta yang berjibun dan nyaris tiap hari didera persoalan.
Karena itu, saya terus terang meragukan sosok Anies Baswedan akan mampu dan cukup sabar melakoni pekerjaan semacam itu. Sedang dengan karyawan-karyawan bawahannya di Paramadina saja dia kurang peduli, bagaimana mungkin dia akan peduli dengan rakyat jelata warga Jakarta? Saya tidak sedang membual, tapi saya pernah mendengar langsung keluhan satpam, pegawai kantin, pekerja kebersihan, dan orang-orang yang mungkin dipandang tidak penting di Paramadina.
“Dulu saat Cak Nur memimpin, dia masih sering menjenguk kantin dan ngobrol-ngobrol dengan kami, Pak. Tapi selama masa Pak Anies, jarang sekali kami disapa kalau tak bisa dibilang tidak pernah!”
Itulah salah satu testimoni yang pernah saya dengar langsung dari pegawai kantin di Paramadina. Saya tidak tahu, sejauh apa klaim seperti ini benar adanya. Tapi jika melihat gaya Mas Anies, saya dapat melihat kecenderungan bernecis-necis untuk naik panggung dan enggan bergumul dengan kehidupan remeh-temeh sehari-hari orang-orang bawahan. Semoga saya salah dan kelak kalau Mas Anies jadi dia membuktikan saya salah!
![LIMA Anggapan Keliru tentang Ahok dan Anies](https://s.kaskus.id/images/2017/04/16/7418835_20170416105942.jpg)
Untuk anggapan kedua ini, saya bersetuju dengan Kang Yudi Latif yang menjuluki Ahok seperti sosok Robin Hood yang sedikit banyak “merampok” orang kaya Jakarta demi membangun fasilitas umum dan fasilitas sosial warga Jakarta. Ketegasannya dalam memperjuangkan besaran kontribusi para pengembang untuk kesejahteraan orang banyak Jakarta, rasanya tak dapat diragukan. Modal kedekatan Ahok dengan para konglomerat itu sesugguhnya bisa saja dia manfaatkan untuk menyelewengkan aturan tata ruang atau amdal misalnya—dengan kongkalikong yang menebalkan kantongnya sendiri.
Inilah modus para pejabat NKRI selama ini (mengkapitalisasi kekuasaan). Jika itu yang terjadi pada Ahok, tentulah kita akan sulit menyaksikan pembangunan yang begitu pesat dan manfaat yang didapatkan oleh sebagian besar masyarakat Jakarta seperti situs-situs RPTRA (Ruang Terbuka Hijau Ramah Anak). Kecurigaan bahwa Ahok kongkalikong dan hanya kacung para pengembang dalam proyek Reklamasi, sungguh jauh panggang dari api. Yang justru terbukti adalah persekongkolan lawan Ahok, salah satu anggota DPRD Jakarta dengan pengembang demi kekayaan pribadinya.
Kecurigaan atas kedekatan Ahok dan para pejabat NKRI manapun dengan para pengusaha yang berpotensi mengakibatkan kerugian sosial-ekonomi bagi masyarakat banyak sesungguhnya kritisisme yang sehat yang perlu terus dikejar dan dibuktikan aspek-aspek koruptifnya. Tapi hanya mencurigai seorang Ahok yang kebetulan Cina, yang sejauh ini bekerja secara transparan sampai-sampai langkahnya seperti telanjang disaksikan masyarakat Jakarta, justru tidak sehat. Asas melihat semua pejabat adalah praduga bersalah sampai mereka terbukti tak bersalah. Praduga koruptif sampai mereka terbukti tidak mencuri dan memperkaya diri sendiri.
Hal itu jugalah yang perlu kita teroka dari kasus kedekatan Anies Baswedan dengan sosok pengusaha semacam Hary Tanoewijaya, misalnya. Apakah dia akan mampu menjadi sosok Robin Hood bagi warga Jakarta atau justru menjadi Robin Sanusi atau lainnya? Yang perlu juga dicermati juga: apakah tolak reklamasi yang diwacanakan Anies saat ini sahih-sahih demi kemaslahatan warga Jakarta atau cuma pamer gagah-gagahan masa Pilkada untuk kelak menjadi modal nego yang lebih bertenaga dengan mereka yang punya uang di balik layar.
Inilah PR kita bersama, siapapun yang kelak terpilih sebagai Gubernur Ibukota.
![LIMA Anggapan Keliru tentang Ahok dan Anies](https://s.kaskus.id/images/2017/04/16/7418835_20170416110223.jpg)
Ini juga salah satu anggapan yang menurut saya keliru. Bahwa Ahok terlalu saklek dan terlihat kurang bijaksana dalam mendekati orang, yes. Ahok tidak bisa basa-basi dan merangkul semua orang, yes. Ahok tidak bisa mengatakan ya saat dia mestinya berkata tidak, yes. Ahok bukanlah politisi yang baik—dalam artian mencoba bersikap manis walau sedang berhadapan dengan hidangan yang pahit, juga yes. Tapi itulah sebuah karakter dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak mesti menyenangkan semua, apalagi demi merangkul orang-orang yang punya tuntutan mengada-ada dan tidak masuk akal.
Saya tidak tahu apakah faktor etnis mempengaruhi sikap begini pada diri Ahok ataupun Anies. Sependek dan sedangkal pengetahuan saya, orang Cina memang kurang pandai berbasa-basi (mohon koreksi saya kalau salah!). Kalau mereka taruh harga lima ribu, itu sudah dengan asumsi dapat untung sekian-sekian. Sejak kecil, saya disarankan untuk belanja dengan harga nego, ke toko orang Minang. Kalau mau harga pas atau nego-nego yang terlalu pahit, barulah kita ke toko Cina—entah kenapa saya lebih suka menyebut kata Cina ketimbang Tionghoa.
Ini mungkin berbeda dengan Anies yang selalu berusaha tampak manis. Bukannya bermaksud rasis, kebanyakan orang Arab memang paling pandai ber-mujamalah alias melakoni seni basa-basi. Namun karena itu jugalah omongan mereka kurang bisa dipegang. Dalam soal pelayanan misalnya, kalau orang Arab bilang bukrah alias esok, itu belum tentu esok urusan kita benar-benar akan kelar, walau dia menyandingkannya dengan kata insyaallah. Ungkapan bukrah insyaallah sangat mungkin tidak berarti esok pagi, boleh jadi minggu yang akan datang, lebih selamat lagi dimaknai sebulan ke depan.
Itulah yang disebut mujamalah. Berdasarkan pemahaman saya tentang sosio-antropologi orang Arab, dan pengalaman yang mungkin juga terbatas, saya berpandangan bahwa orang Arab adalah mahkluk paling baik dalam urusan orasi dan puisi, bukan dalam soal pelayanan dan birokrasi. Semoga Mas Anies bukan bagian dari stereotipe Arab semacam ini, karena itu kelak akan mencelakakan birokrasi dan pelayanan warga Jakarta jika dia terpilih sebagai Gubernur DKI pada 19 April nanti.
Ini salah satu anggapan yang paling keliru walau mungkin tak akan pernah bisa masuk dalam kamus kelirumologi Jaya Suprana karena alasan yang dapat kita pahami. Ahok itu tidak punya tulang-punggung apa-apa. Dia tak berpartai, tidak pula berormas. Dia minoritas rangkap tiga (triple minority): Cina, Kristen, bukan pula putera daerah. Kapan-pun partai dan para politisi mau berkonspirasi mengkhianati dan menjuangkalkan dia secara prosedural, itu sangat mudah.
Yang tidak mudah adalah, upaya itu akan berhadapan dengan tenaga dalam Ahok yang kurang terlihat atau kurang diakui: meritokrasi dan energi voluntiratisme. Meritokrasi menghasilkan orang yang cakap menjalankan program-program Ahok di berbagai bidang. Sementara voluntir lahir karena wujudnya orang-orang yang lelah dengan Jakarta yang selama ini stagnan dan melihat Ahok telah menunjukkan banyak kemajuan.
Apakah sungai-sungai Jakarta yang mulai bening itu dapat dihasilkan lewat kompromi-kompromi politik dan kongkalikong para politisi? No! Itu hasil dari kerja-kerja profesional yang berdedikasi dan terkadang malah mengabaikan kepentingan-kepengingan para pihak yang saling bertabrakan.
Kalau kelak terpilih, baik saja kalau Mas Anies mau memperbaiki gaya kepemimpinan Ahok yang tampak sewenang-wenang. Tapi jangan pernah meremehkan dan mengubah gaya kepemimpinan yang berorientasi pencapaian kinerja. Warga Jakarta tidak peduli berapa persen serapan anggaran dicapai. Andai APBD Jakarta terserap 1000 persen tapi justru tidak menunjukkan hasil nyata di depan mata kepala mereka, itu tidak berguna. Untuk apa? Untuk pajangan statistik?
Itu sangat ketinggalan zaman. Ini waktunya Jakarta bangkit dan berbenah, bukan masanya bermanis-manis lidah agar tampak demokratis dengan hasil yang mengawang-awang!
![LIMA Anggapan Keliru tentang Ahok dan Anies](https://s.kaskus.id/images/2017/04/16/7418835_20170416110419.jpg)
Ini salah satu pemikiran yang saya rasa sangat keliru. Di zaman Sukarno, saat Indonesia masih berupaya menyatukan sebuah negeri yang baru merdeka, bolehlah kita berkoar-koar soal pentingnya membangun jiwa kita Indonesia. Kalaupun yang dimaksud membangun jiwa itu adalah agar anak-anak bangsa berpikiran terbuka, berakhlak mulia, berjiwa sportif dan kompetitif, dan tidak lagi membeda-bedakan semua warga negara berdasarkan apapun latar belakang suku, agama, ras dan golongannya, aku sih yes.
Tapi kalau yang kau maksud membangun jiwanya itu justru merusak mental anak bangsa menjadi sosok-sosok berpikiran sempit, rajin memelihara dan berternak iri dan dengki, berakhlakkan sumpah serapah, mungkin kita perlu belajar lebih giat ke negeri Arab. Seperti yang pernah disinggung Bapak Jusuf Kalla, mereka satu bangsa, satu bahasa, satu wilayah teritori yang tidak dijarakkan oleh pulau-pulau seperti Nusantara, namun begitu mereka masih saja bercerai-berai dan bermusuhan. Kita mengira mereka serumpun satu keluarga, tapi sesungguhnya mereka bermusuhan dan saling bersengketa. Tahsabuhum jami’an, wa qulubuhum syatta, kata Quran.
Sebagai umat yang mayoritas di negeri ini, terkadang saya merasa kita sering salah kaprah. Kita sering tertipu oleh para pemimpin yang tampak religius. Kita pintakan kesejahteraan dunia dan akhirat kepada mereka. Padahal sebagai umara, mereka mestinya mengusahakan kesejahteraan dunia kita, bukan malah mengurusi kesejahteraan akhirat yang bisa kita tanggulangi sendiri-sendiri. Akibatnya, dunia kita tidak hasanah (tidak baik), akhirat pun wallahu a’lam (hanya Allah yang tahu!). Tapi kita sudah tertipu oleh tampilan luar, seakan-akan mereka akan membereskan kehidupan dunia dan akhirat kita.
Karena itu, untuk kalangan umara atau pemimpin, kita paling minimal menuntut mereka untuk semaksimal mungkin menghadirkan kesejahteraan dunia kita. Membangun peradaban kita bersama, Indonesia. Karena itulah mereka disumpah dan digaji. Kalaupun mereka ternyata sosok-sosok yang religius, kita berucap alhamdulillah dan itulah bonus kita. Tapi jangan sampai dibalik: menuntut kesejahteraan akhirat dulu dan mengata-ngatakan mereka yang membangun seperti sosok-sosok Firaun.
Kalau kepada Ustad atau Kiai, bolehlah kita meminta bimbingan jalan keselamatan untuk bekal di akhirat kelak. Kepada umara, kita jangan sampai tertipu dan malah kecolongan dua-duanya!
Akhirul kalam, Indonesia ini—terutama Jakarta—bersaing secara geopolitik dan geoekonomi dengan negeri-negeri jiran. Kita memerlukan pemimpin-pemimpin yang mampu membawa kemajuan nyata, mampu bersaing dan bahkan melampaui mereka. Jangan sampai kita terus-menerus dipandang sebagai Indon yang hanya dipandang mampu mengerjakan hal-hal remeh dan bertengkar untuk urusan-urusan yang tidak berguna. Singapura, Malaysia dan Thailand akan tertawa terbahak-bahak jika menyaksikan kita tetap bodoh dan terbelakang.
Karena itu saya berpendapat, sosok-sosok pemimpin visioner dan pekerja-keras seperti Pak Ahok dan Pak Jokowi telah membuat mereka cemas dan waspada. Janganlah kita terus-menerus memberi mereka bahan untuk tertawa dan mencemooh kita?
Sebelum memaparkan kelima anggapan keliru itu, saya lebih dulu ingin berbagi pengalaman hidup yang semoga saja berguna. Sependek riwayat saya mengamati sosok manusia, saya kini sampai pada kesimpulan bahwa kadang-kadang kita menemukan sosok yang tampak cantik-elok-budiman dari kejauhan, namun sesungguhnya buruk-elek-arogan tatkala diamati dari kedekatan. Sebaliknya pun bisa terjadi. Sosok yang tampak buruk-elek-arogan dari kejauhan, justru terkadang merupakan sosok yang paling baik, empatik dan budiman.
Inilah kenapa kita perlu dalam-dalam menyelami sosok-sosok yang sedang dihidangkan kepada kita, apalagi di masa Pilkada, agar kita tidak tertipu oleh eloknya tutur-kata, senyuman manis dan bualan-bualan yang meninabobokkan. Karena itu, tulisan ini hendak mengajak pembaca untuk merenungkan beberapa anggapan yang selama ini keliru, bahkan bertolak-belakang dari apa yang penulis pahami.
Quote:
Ahok Arogan, Anies Santun
![LIMA Anggapan Keliru tentang Ahok dan Anies](https://s.kaskus.id/images/2017/04/16/7418835_20170416105751.jpg)
Jika mencermati pemberitaan media dan bahkan video-video yang didokumentasikan dengan apik oleh Pemerintah Propinsi DKI, gampang sekali orang beranggapan bahwa Ahok adalah sosok yang kasar dan arogan. Ya, Ahok terkadang kasar, arogan dan temperamental. Terutama atas ketidakbecusan dan kecurangan. Terhadap siapa saja, bahkan terhadap anggota dewan. Namun yang orang lupakan, bagaimana mungkin sosok nan kasar, arogan dan temperamental ini begitu setia dan sabarnya melayani berbagai keluhan dan pengaduan warga Jakarta di Balai Kota?
Perlu diingat, keluhan rakyat jelata itu terlalu banyak, tak terhingga jumlahnya. Dan sebagian besar keluhan mereka mendapat porsi di telinga Ahok dan menemukan solusi cepat lewat instuksi-instruksi sosok yang kasar, arogan dan termperamental ini. Kalau anda bukan sosok yang altruis alias tak terlalu mementingkan diri sendiri, untuk apa anda sebagai pejabat harus bertungkus-lumus dengan persoalan besar dan kecil keseharian macam itu? Saya bertaruh, saya dan mungkin juga anda, mungkin tak akan kuat menyambut dan menyimak, apalagi mencari penyelesaian keluhan-keluhan warga Jakarta yang berjibun dan nyaris tiap hari didera persoalan.
Karena itu, saya terus terang meragukan sosok Anies Baswedan akan mampu dan cukup sabar melakoni pekerjaan semacam itu. Sedang dengan karyawan-karyawan bawahannya di Paramadina saja dia kurang peduli, bagaimana mungkin dia akan peduli dengan rakyat jelata warga Jakarta? Saya tidak sedang membual, tapi saya pernah mendengar langsung keluhan satpam, pegawai kantin, pekerja kebersihan, dan orang-orang yang mungkin dipandang tidak penting di Paramadina.
“Dulu saat Cak Nur memimpin, dia masih sering menjenguk kantin dan ngobrol-ngobrol dengan kami, Pak. Tapi selama masa Pak Anies, jarang sekali kami disapa kalau tak bisa dibilang tidak pernah!”
Itulah salah satu testimoni yang pernah saya dengar langsung dari pegawai kantin di Paramadina. Saya tidak tahu, sejauh apa klaim seperti ini benar adanya. Tapi jika melihat gaya Mas Anies, saya dapat melihat kecenderungan bernecis-necis untuk naik panggung dan enggan bergumul dengan kehidupan remeh-temeh sehari-hari orang-orang bawahan. Semoga saya salah dan kelak kalau Mas Anies jadi dia membuktikan saya salah!
Quote:
Ahok Mengabdi untuk Orang Kaya, Anies Pro-Orang Miskin
![LIMA Anggapan Keliru tentang Ahok dan Anies](https://s.kaskus.id/images/2017/04/16/7418835_20170416105942.jpg)
Untuk anggapan kedua ini, saya bersetuju dengan Kang Yudi Latif yang menjuluki Ahok seperti sosok Robin Hood yang sedikit banyak “merampok” orang kaya Jakarta demi membangun fasilitas umum dan fasilitas sosial warga Jakarta. Ketegasannya dalam memperjuangkan besaran kontribusi para pengembang untuk kesejahteraan orang banyak Jakarta, rasanya tak dapat diragukan. Modal kedekatan Ahok dengan para konglomerat itu sesugguhnya bisa saja dia manfaatkan untuk menyelewengkan aturan tata ruang atau amdal misalnya—dengan kongkalikong yang menebalkan kantongnya sendiri.
Inilah modus para pejabat NKRI selama ini (mengkapitalisasi kekuasaan). Jika itu yang terjadi pada Ahok, tentulah kita akan sulit menyaksikan pembangunan yang begitu pesat dan manfaat yang didapatkan oleh sebagian besar masyarakat Jakarta seperti situs-situs RPTRA (Ruang Terbuka Hijau Ramah Anak). Kecurigaan bahwa Ahok kongkalikong dan hanya kacung para pengembang dalam proyek Reklamasi, sungguh jauh panggang dari api. Yang justru terbukti adalah persekongkolan lawan Ahok, salah satu anggota DPRD Jakarta dengan pengembang demi kekayaan pribadinya.
Kecurigaan atas kedekatan Ahok dan para pejabat NKRI manapun dengan para pengusaha yang berpotensi mengakibatkan kerugian sosial-ekonomi bagi masyarakat banyak sesungguhnya kritisisme yang sehat yang perlu terus dikejar dan dibuktikan aspek-aspek koruptifnya. Tapi hanya mencurigai seorang Ahok yang kebetulan Cina, yang sejauh ini bekerja secara transparan sampai-sampai langkahnya seperti telanjang disaksikan masyarakat Jakarta, justru tidak sehat. Asas melihat semua pejabat adalah praduga bersalah sampai mereka terbukti tak bersalah. Praduga koruptif sampai mereka terbukti tidak mencuri dan memperkaya diri sendiri.
Hal itu jugalah yang perlu kita teroka dari kasus kedekatan Anies Baswedan dengan sosok pengusaha semacam Hary Tanoewijaya, misalnya. Apakah dia akan mampu menjadi sosok Robin Hood bagi warga Jakarta atau justru menjadi Robin Sanusi atau lainnya? Yang perlu juga dicermati juga: apakah tolak reklamasi yang diwacanakan Anies saat ini sahih-sahih demi kemaslahatan warga Jakarta atau cuma pamer gagah-gagahan masa Pilkada untuk kelak menjadi modal nego yang lebih bertenaga dengan mereka yang punya uang di balik layar.
Inilah PR kita bersama, siapapun yang kelak terpilih sebagai Gubernur Ibukota.
Quote:
Ahok Mengkotak-kotakkan, Anies Mempersatukan
![LIMA Anggapan Keliru tentang Ahok dan Anies](https://s.kaskus.id/images/2017/04/16/7418835_20170416110223.jpg)
Ini juga salah satu anggapan yang menurut saya keliru. Bahwa Ahok terlalu saklek dan terlihat kurang bijaksana dalam mendekati orang, yes. Ahok tidak bisa basa-basi dan merangkul semua orang, yes. Ahok tidak bisa mengatakan ya saat dia mestinya berkata tidak, yes. Ahok bukanlah politisi yang baik—dalam artian mencoba bersikap manis walau sedang berhadapan dengan hidangan yang pahit, juga yes. Tapi itulah sebuah karakter dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak mesti menyenangkan semua, apalagi demi merangkul orang-orang yang punya tuntutan mengada-ada dan tidak masuk akal.
Saya tidak tahu apakah faktor etnis mempengaruhi sikap begini pada diri Ahok ataupun Anies. Sependek dan sedangkal pengetahuan saya, orang Cina memang kurang pandai berbasa-basi (mohon koreksi saya kalau salah!). Kalau mereka taruh harga lima ribu, itu sudah dengan asumsi dapat untung sekian-sekian. Sejak kecil, saya disarankan untuk belanja dengan harga nego, ke toko orang Minang. Kalau mau harga pas atau nego-nego yang terlalu pahit, barulah kita ke toko Cina—entah kenapa saya lebih suka menyebut kata Cina ketimbang Tionghoa.
Ini mungkin berbeda dengan Anies yang selalu berusaha tampak manis. Bukannya bermaksud rasis, kebanyakan orang Arab memang paling pandai ber-mujamalah alias melakoni seni basa-basi. Namun karena itu jugalah omongan mereka kurang bisa dipegang. Dalam soal pelayanan misalnya, kalau orang Arab bilang bukrah alias esok, itu belum tentu esok urusan kita benar-benar akan kelar, walau dia menyandingkannya dengan kata insyaallah. Ungkapan bukrah insyaallah sangat mungkin tidak berarti esok pagi, boleh jadi minggu yang akan datang, lebih selamat lagi dimaknai sebulan ke depan.
Itulah yang disebut mujamalah. Berdasarkan pemahaman saya tentang sosio-antropologi orang Arab, dan pengalaman yang mungkin juga terbatas, saya berpandangan bahwa orang Arab adalah mahkluk paling baik dalam urusan orasi dan puisi, bukan dalam soal pelayanan dan birokrasi. Semoga Mas Anies bukan bagian dari stereotipe Arab semacam ini, karena itu kelak akan mencelakakan birokrasi dan pelayanan warga Jakarta jika dia terpilih sebagai Gubernur DKI pada 19 April nanti.
Quote:
Ahok Terlalu Berkuasa, Anies Akan Demokratis
Ini salah satu anggapan yang paling keliru walau mungkin tak akan pernah bisa masuk dalam kamus kelirumologi Jaya Suprana karena alasan yang dapat kita pahami. Ahok itu tidak punya tulang-punggung apa-apa. Dia tak berpartai, tidak pula berormas. Dia minoritas rangkap tiga (triple minority): Cina, Kristen, bukan pula putera daerah. Kapan-pun partai dan para politisi mau berkonspirasi mengkhianati dan menjuangkalkan dia secara prosedural, itu sangat mudah.
Yang tidak mudah adalah, upaya itu akan berhadapan dengan tenaga dalam Ahok yang kurang terlihat atau kurang diakui: meritokrasi dan energi voluntiratisme. Meritokrasi menghasilkan orang yang cakap menjalankan program-program Ahok di berbagai bidang. Sementara voluntir lahir karena wujudnya orang-orang yang lelah dengan Jakarta yang selama ini stagnan dan melihat Ahok telah menunjukkan banyak kemajuan.
Apakah sungai-sungai Jakarta yang mulai bening itu dapat dihasilkan lewat kompromi-kompromi politik dan kongkalikong para politisi? No! Itu hasil dari kerja-kerja profesional yang berdedikasi dan terkadang malah mengabaikan kepentingan-kepengingan para pihak yang saling bertabrakan.
Kalau kelak terpilih, baik saja kalau Mas Anies mau memperbaiki gaya kepemimpinan Ahok yang tampak sewenang-wenang. Tapi jangan pernah meremehkan dan mengubah gaya kepemimpinan yang berorientasi pencapaian kinerja. Warga Jakarta tidak peduli berapa persen serapan anggaran dicapai. Andai APBD Jakarta terserap 1000 persen tapi justru tidak menunjukkan hasil nyata di depan mata kepala mereka, itu tidak berguna. Untuk apa? Untuk pajangan statistik?
Itu sangat ketinggalan zaman. Ini waktunya Jakarta bangkit dan berbenah, bukan masanya bermanis-manis lidah agar tampak demokratis dengan hasil yang mengawang-awang!
Quote:
Ahok Hanya Membangun Raga, Anies Akan Membangun Jiwanya
![LIMA Anggapan Keliru tentang Ahok dan Anies](https://s.kaskus.id/images/2017/04/16/7418835_20170416110419.jpg)
Ini salah satu pemikiran yang saya rasa sangat keliru. Di zaman Sukarno, saat Indonesia masih berupaya menyatukan sebuah negeri yang baru merdeka, bolehlah kita berkoar-koar soal pentingnya membangun jiwa kita Indonesia. Kalaupun yang dimaksud membangun jiwa itu adalah agar anak-anak bangsa berpikiran terbuka, berakhlak mulia, berjiwa sportif dan kompetitif, dan tidak lagi membeda-bedakan semua warga negara berdasarkan apapun latar belakang suku, agama, ras dan golongannya, aku sih yes.
Tapi kalau yang kau maksud membangun jiwanya itu justru merusak mental anak bangsa menjadi sosok-sosok berpikiran sempit, rajin memelihara dan berternak iri dan dengki, berakhlakkan sumpah serapah, mungkin kita perlu belajar lebih giat ke negeri Arab. Seperti yang pernah disinggung Bapak Jusuf Kalla, mereka satu bangsa, satu bahasa, satu wilayah teritori yang tidak dijarakkan oleh pulau-pulau seperti Nusantara, namun begitu mereka masih saja bercerai-berai dan bermusuhan. Kita mengira mereka serumpun satu keluarga, tapi sesungguhnya mereka bermusuhan dan saling bersengketa. Tahsabuhum jami’an, wa qulubuhum syatta, kata Quran.
Sebagai umat yang mayoritas di negeri ini, terkadang saya merasa kita sering salah kaprah. Kita sering tertipu oleh para pemimpin yang tampak religius. Kita pintakan kesejahteraan dunia dan akhirat kepada mereka. Padahal sebagai umara, mereka mestinya mengusahakan kesejahteraan dunia kita, bukan malah mengurusi kesejahteraan akhirat yang bisa kita tanggulangi sendiri-sendiri. Akibatnya, dunia kita tidak hasanah (tidak baik), akhirat pun wallahu a’lam (hanya Allah yang tahu!). Tapi kita sudah tertipu oleh tampilan luar, seakan-akan mereka akan membereskan kehidupan dunia dan akhirat kita.
Quote:
Tausiah Penutup
Karena itu, untuk kalangan umara atau pemimpin, kita paling minimal menuntut mereka untuk semaksimal mungkin menghadirkan kesejahteraan dunia kita. Membangun peradaban kita bersama, Indonesia. Karena itulah mereka disumpah dan digaji. Kalaupun mereka ternyata sosok-sosok yang religius, kita berucap alhamdulillah dan itulah bonus kita. Tapi jangan sampai dibalik: menuntut kesejahteraan akhirat dulu dan mengata-ngatakan mereka yang membangun seperti sosok-sosok Firaun.
Kalau kepada Ustad atau Kiai, bolehlah kita meminta bimbingan jalan keselamatan untuk bekal di akhirat kelak. Kepada umara, kita jangan sampai tertipu dan malah kecolongan dua-duanya!
Akhirul kalam, Indonesia ini—terutama Jakarta—bersaing secara geopolitik dan geoekonomi dengan negeri-negeri jiran. Kita memerlukan pemimpin-pemimpin yang mampu membawa kemajuan nyata, mampu bersaing dan bahkan melampaui mereka. Jangan sampai kita terus-menerus dipandang sebagai Indon yang hanya dipandang mampu mengerjakan hal-hal remeh dan bertengkar untuk urusan-urusan yang tidak berguna. Singapura, Malaysia dan Thailand akan tertawa terbahak-bahak jika menyaksikan kita tetap bodoh dan terbelakang.
Karena itu saya berpendapat, sosok-sosok pemimpin visioner dan pekerja-keras seperti Pak Ahok dan Pak Jokowi telah membuat mereka cemas dan waspada. Janganlah kita terus-menerus memberi mereka bahan untuk tertawa dan mencemooh kita?
Sumur
![anasabila](https://s.kaskus.id/user/avatar/2016/06/30/avatar8914126_40.gif)
anasabila memberi reputasi
1
3.1K
Kutip
13
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Pilkada](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-712.png)
Pilkada![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
5.3KThread•663Anggota
Urutkan
Terlama
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya