Pada dasarnya, tingkah laku bayi atau balita memang dapat mengundang tawa, tak jarang kita merekam perilaku mereka dan mempublikasikannya melalui media sosial seperti Instagram. Untuk apa mengunggah video kelucuan bayi atau balita di Instagram?



Untuk berbagi kelucuan bayi atau balita pada pengguna media sosial lain? Alasan tersebut boleh diterima.
Untuk memperoleh follower? Hmm..
Untuk memperoleh popularitas dan mencari pendapatan melalui tawaran endorsement? Really?



Kita mungkin tidak tahu intensi utama pengelola akun @jrsugianto mengunggah video2 Tatan, tapi yang bisa saya tangkap, semakin hari seiring popularitas Tatan yang semakin berkembang, Tatan terasa seakan "dipaksa" untuk bertingkah lucu. Mungkin anda tidak setuju, tapi itulah yang saya tangkap. Di beberapa videonya, Tatan terlihat "dipaksa" untuk menyanyi, mengucapkan hal2 yang lucu, menari, dan lain sebagainya. Tingkah laku balita yang tak tau apa2 itu seakan dimanfaatkan untuk mendulang popularitas (dan income, simultaneously).

Untuk perbandingan, silakan lihat akun Instagram @retnohening. Tingkah laku Kirana terlihat lebih natural, apa adanya seperti semestinya seorang anak kecil. Tidak ada paksaan untuk menyanyi, tidak ada paksaan untuk menari, tidak ada paksaan untuk mempelajari kata2 lucu demi membikin netizen tergelak. Popularitas Kirana, meski tidak sedahsyat Tatan, pun datang sendirinya dengan sifat alami Kirana sebagai anak kecil innocent.

Tujuan saya menulis ini bukan untuk membentuk opini atau bahkan menghujat pengelola akun2 anak kecil yang "memaksa" anaknya untuk bertingkah lucu. Tulisan ini hanyalah representasi dari kerisihan saya atas komersialisasi tingkah laku anak kecil demi memperoleh keuntungan. Biarkanlah bayi dan balita yang masih tidak tau apa2 itu menjalani masa awal kehidupannya dengan tenang, tanpa adanya beban popularitas yang akan menantinya di ujung jalan sana.