Kenapa Banyak Orang Yang Gemar Berfoto Selfie? – Selfie tuh sungguh fenomenal yaa. Maksudku bukan si Selvi yang tinggal di deket pengkolan itu, tapi selfie ini untuk menyebut aktivitas memotret diri sendiri. Seakan tak mengenal batasan usia, profesi, atau bahkan gender mulai dari yang jelas sampe gak jelas, hampir semuanya pernah atau bahkan sangat menggemari aktivitas yang satu ini. Bahkan beberapa vendor smartphone pun sampai membuatkan perangkat khusus untuk berfoto selfie, seperti misalnya Xperia C series dari Sony, HTC Desire Eye, ataupun ASUS Zenfone Selfie.
Tapi bahasan kali ini aku lagi gak mau bahas soal gadget, tapi lebih ke selfie nya aja. Orang dengan pedenya ngangkat keteknya tinggi-tinggi untuk berfoto diri. Atau bahkan nggak jarang orang yang dengan pedenya nenteng-nenteng monopod yang sekarang resmi ganti nama jadi tongkat narsis hanya untuk berfoto selfie.
Sah-sah aja sih sebenernya, mau kita foto selfie atau nggak, asal tau etika lah yaa, tau tempat dan jangan sampe ngerusak sesuatu hanya demi foto narsis seperti kasusnya mbak Hesti Sundari beberapa waktu lalu. Sumpah, itu sih kesannya bukan keren, tapi K-A-M-P-U-N-G-A-N!Iya, sejak saat itu barulah aku sadar bahwa ternyata fenomena selfie ini nggak bisa dibilang sesuatu yang wajar.
Dan itu membuatku tertarik untuk mencari tau soal apa sih alasan orang untuk berfoto selfie? Berdasarkan apa yang aku liat dan perhatikan, ada beberapa hal yang “memicu” keinginan seseorang untuk berfoto selfie, ada yang sekedar aja, tapi ada juga yang nggak bisa dianggep biasa. Berikut diantaranya:
1. Sekedar Mengabadikan Momen
Spoiler for :
Ketemu temen lama, cekrek! Ketemu temen baru, cekrek! Nengokin anaknya mantan yang baru mbrojol (lahir), cekrek! Cekrak-cekrek yang seperti ini sih menurutku masih dalam batas kewajaran. Kenapa kuanggap wajar? Ya karena memang momen seperti ini tuh momen langka dan berharga yang mungkin bakal butuh waktu yang sangat lama untuk bisa terjadi lagi. Akupun pernah berfoto bareng temen lama ataupun temen baru, meskipun aku lebih suka mode di fotoin orang daripada pake mode selfie.
Tapi kalo foto bareng anaknya mantan……….. Aku gak pernah. Takut baper! Nanti pas mau foto bukannya ngegendong anaknya tapi malah gendong emaknya. Yakan keliatan banget kalo sebenernya kita gagal move on! *balik ke topik* Jadi memang alasan orang berfoto selfie untuk mengabadikan momen tuh rasanya sama sekali nggak masalah lah yaa, dengan catatan mesti bisa bedain yang mana momen yang pantes dan yang mana momen yang gak pantes buat narsis, plus mengerti batas-batas kewajaran lain untuk berfoto narsis.
2. Sekedar Bangga Pada Diri Sendiri
Spoiler for :
Kalo yang ini sudah masuk kategori alay stadium 1, masih “ringan”, tidak berbahaya dan tidak menular *disangka penyakit kali*. Kategori ini sebenernya juga masih bisa dibilang cukup wajar, karena rata-rata manusia pasti pernah merasa bangga atas dirinya sendiri, entah itu karena kecantikannya ataupun karena kecantikan dari bedak tebel dan alis hasil corat-coret yang nempel di mukanya.
Habis mandi, cekrek! Baru selesai dandan, cekrek! Masih bau ketek, cekrek! Yup, inilah narsis yang sesungguhnya. Asal jangan pas mandi aja kamu cekrak cekrek nya, nanti aku seneng loh, kan bahaya! #eh. Ciri-ciri dari mereka yang masuk kategori ini sebenernya gak terlalu sulit untuk ditemukan. Cari aja akun IG yang gallery fotonya cuma ada gambar muka, muka, dan muka (aku menyebutnya sebagai gallery muka).
Kapanpun dan dimanapun mereka berada, hal pertama yang wajib di foto adalah wajahnya. Tapi sekali lagi, ini masih bisa dianggap wajar karena aku yakin dalam diri setiap orang pasti ada jiwa narsis dalam dirinya, hanya saja beberapa orang masih punya urat malu untuk menahan dirinya agar tidak terlalu sering berfoto narsis.
3. Butuh Pengakuan
Spoiler for :
Kalo yang ini alay stadium 2, masih nggak terlalu bahaya tapi cukup bikin risih bagi orang lain. Mereka biasanya sering mengambil foto dirinya di tempat-tempat tertentu yang dianggap populer. Misalnya pas lagi naik gunung, yang di foto bukan gunungnya tapi lebih ke mukanya. Biar keliatan aja itu muka nampang di depan gunung, biar dikira pendaki atau pecinta alam. Eh, tapi kayanya pecinta alam gak perlu tuh yang namanya fotoin kertas di atas gunung, apalagi kalo kertasnya ditinggalin gitu aja hingga bikin gunung jadi kotor.
Mereka berlaku demikian karena butuh pengakuan dari orang lain, bahwa “oh kamu hebat ya bisa naik gunung” atau “oh kamu pasti pecinta alam, makanya suka naik gunung. Pecinta alam itu kan keren!”. Hemm, ingatlah nak, orang keren yang sesungguhnya tak butuh yang namanya pengakuan macam itu. Dan pecinta alam tidak mengotori tempat yang dipijaknya dengan sampah.
Ya tapi, namanya juga alay, dimana tak ada alay yang tak narsis. Iya, sebenarnya apa yang mereka lakukan bukanlah passion mereka, tapi mereka hanya sekedar ikut-ikutan biar dikata anak 9403L atau anak kekinian. Terus yang bikin risih? Ya itu tadi, karena yang mereka lakukan hanya sekedar ikut-ikutan, seperti misalnya saat sok-sok’an jadi anak pendaki, maka mereka tidak mengerti bagaimana cara untuk menghargai alam. Yang mereka inginkan hanyalah jumlah like yang banyak, dan persetan dengan lingkungan atau yang lainnya.
4. Pamer
Spoiler for :
Niat untuk pamer sudah termasuk alay stadium 3. Cukup berbahaya karena bikin risih dan cukup ngeselin, sehingga bisa menimbulkan keinginan untuk nabok bagi siapa aja yang melihatnya. Pamer ini sifatnya lebih parah daripada kelas “butuh pengakuan” yang udah ku sebut diatas.
Punya ini dikit, cekrek! Punya anu dikit, cekrek! Terus kalo anu-nya ilang bakal di cekrek juga gak ya? #eh. Gimana bedain antara stadium ini dengan stadium sebelumnya? Gampang! Mereka yang masuk kategori pamer tuh bukan cuma bangga atas yang mereka punya, tapi terkesan sombong juga!
Eh, gua punya ini loh, keren kan? Lo pasti gak punya, dasar miskin!
Nih liat, gua dikasih ini loh ama emak gua. Hasil ngerengek bentar doank langsung dibeliin. Hebat kan?
Heheheh, sepertinya yang seperti ini memang pantas ditabok yaa. Bukan cuma itu aja, pamer-pamer lain yang niatnya hanya untuk menyombongkan diri pun termasuk alay stadium 3 juga.
5. Penyakit Mental (?)
Spoiler for :
Oke, sebenernya aku bukanlah seorang yang paham soal mental atau semacamnya, dan aku juga nggak menempuh pendidikan yang khusus membahas soal ini. Aku hanyalah seorang pakar jomblomatika yang ingin mengemukakan pendapat soal fenomena selfie, khususnya di tulisan ini. Dan, kategori ini adalah alay stadium Gelora Bung Karno *itu stadion woy!* yang sudah berstatus janda berbahaya. Kenapa aku menyebutnya sebagai penyakit mental?
Mereka-mereka ini berprilaku seakan-akan mereka nggak cukup cerdas untuk sekedar “sadar lokasi”. Orang-orang macam ini biasanya nggak memperhatikan tempat, dimanapun mereka berada, mereka akan berfoto selfie. Di stasiun, cekrek! Di dalem kereta, cekrek! Di halte bus, cekrek! Gerak dikit, cekrek! Lah kan sama aja kek yang nomer 2 tadi? Beda donk, yang ini jauh lebih parah!
Ciri-cirinya? Kemana pun mereka pergi, mereka akan selalu membawa tongsis, dan bahkan gak jarang dari mereka yang sudah mempersenjatai diri dengan kamera GoPro atau semacamnya. Kehidupan mereka cuma dihabiskan di depan layar hape untuk membuka socmed, sisanya adalah waktu untuk berfoto selfie. Urat malu seakan udah putus untuk urusan selfie. Kesian ya?
Terus bahayanya dimana? Jadi gini loh sodara-sodara. Mungkin mereka yang begini gak bakal merasakan bahaya secara langsung. Bahayanya tuh lebih ke soal interaksi sosial, yang mana dari cara mereka yang foto narsis nggak sadar lokasi aja udah menunjukkan bahwa mereka nggak peduli dengan orang lain. Mereka hanya mempedulikan diri sendiri, untuk mendapatkan kesenangan semu dari hasil foto muka yang mereka jepret sendiri. Inget, manusia itu makhluk sosial, bukan makhluk sosial media!
6. Sakit Jiwa
Spoiler for :
Yang terparah dari yang paling parah. Tipe orang pelaku selfie yang satu ini mungkin nggak bakal jepret muka mereka setiap saat, tapi mereka sering kali jepretin muka mereka di momen dan tempat yang salah. Misalnya nih, momen pas menghadiri pemakaman orang, bukannya turut mendoakan atau apa kek, lhah mereka malah pasang pose senyum-senyum dan manyun-manyun di deket jenazah. Duh, mereka nggak mikir apa ya? Itu tuh momennya orang bersedih, lhah kok mereka malah numpang eksis.
Udah gitu pas potonya di upload, captionnya “RIP Si Anu, turut berduka cita”………… Dengan pose senyum / manyun… Duh, rasanya tuh pengen tak anu-in deh! Contoh lain adalah mereka yang foto selfie di tengah taman bunga, dengan otak yang sepertinya ketinggalan di jamban, mereka dengan polosnya menginjak bunga-bunga yang ada agar bisa sampai di tengah. Terus udah gitu, udah tau salah eh malah nyolot. Apa nggak sakit jiwa?
Dan dari yang aku liat, ternyata mereka yang masuk kategori ini tuh nggak sedikit loh jumlahnya. Buktinya, ada kabar yang menyebutkan bahwa ada sebuah jembatan yang ambruk gara-gara terlalu banyak orang yang menaiki jembatan tersebut, yang rata-rata hanya berniat untuk berfoto narsis. Yaa orang-orang macem itu jelas sakit jiwa! Kalo mereka normal, ya pastinya mereka bakal tau konsekuensi dari perbuatannya sehingga bisa menghindarinya.
Kalo mereka normal, mereka pasti paham bahwa menanam bunga itu nggak semudah kentut di depan calon mertua! Jadi mereka bakal berusaha menghindari untuk merusaknya. Kalo mereka normal, pasti mereka paham bahwa menginjak (merusak) tanaman itu bisa bikin keindahannya jadi hilang, maka mereka akan berusaha untuk menghindarinya. Lhah ini? Mereka masih aja foto-foto narsis, bahkan setelah tamannya hancur berantakan.
Duh, adek sedih liatnya, bang. Sedih! Huhft… Intinya, hampir semua tingkatan yang udah ku sebut diatas itu dipicu oleh social media. Bisa jadi di dunia nyata, mereka kurang perhatian, makanya mereka mencari perhatian di dunia maya. Sayangnya, caranya itu nggak positif.
Jadi, kamu masuk yang nomer berapa nih? Mau bikin pembelaan? Mau cari pembenaran? Atau mau sekedar kasih pendapat lain? Silahkan komen!