Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Kamis, 14 Agustus 2014, pukul 21.05 saya (untuk pertama kalinya) menginjakkan kaki di stasiun Kebayoran yang terletak di belakang Pasar Kebayoran Lama. Peristiwa yang cukup bersejarah bagi saya pribadi yang selama ini lebih senang mengutuk transportasi publik di Jakarta.
Quote:
Kini saya dengan bangga menjadi bagian dari ratusan ribu pengguna commuter line Jabodetabek yang berdesakan dan berjibaku setiap pagi dan sore. Walaupun, sebenarnya saat ini rute yang saya pakai pendek sekali (Pondok Ranji – Kebayoran).
Ya, saya pengguna mobil pribadi yang selama ini berkontribusi besar bagi kemacetan di banyak ruas jalan utama di Jakarta. Ya, saya sebagai pengguna mobil pribadi (yang kebetulan dibelikan oleh orang tua saya) merasa memiliki hak untuk menggunakan ruas-ruas jalan dengan leluasa tanpa mempedulikan hak orang lain di ruas jalan yang sama.
Quote:
Begitu sering saya mengutuk pengendara motor yang berkendara sesuai celah ruas jalan yang tersedia. Sesekali saya mengutuk pengendara motor yang menaiki trotoar, karena saya dan pengguna mobil pribadi lainnnya memenuhi ruas jalan dengan cara zigzag sehingga celah-celah tertutup untuk motor. Atas kesalahan ini, saya ingin mengatakan bahwa bukan hanya saya dan pengendara mobil pribadi yang bersalah, bus dan angkot pun sama salahnya karena mereka berhenti sembarangan.
Begitu sering saya mengutuk pengendara motor yang mengambil ruas jalan yang berlawanan. Lihat ruas jalan Ciledug Raya, Arteri Pondok Indah dan banyak ruas jalan lainnya pada jam-jam sibuk. Kacau balau. Jarang ada law-enforcement. Mereka jelas bersalah, makanya saya mengutuk. Pernah sekali waktu (karena saking kesalnya) saya minta bantuan beberapa polisi militer di dekat seskoal untuk mengingatkan pengendara motor yang melawan arus dan membahayakan diri sendiri dan pengendara lainnya.
Tulisan ini merupakan pengakuan saya. Saya bersalah karena sudah 10 tahun terakhir lebih memilih menjadi bagian dari polusi bukan solusi. Tapi saya punya pembelaan yang maha benar di mata penggunaan kendaraan pribadi, transportasi publik di Jakarta memang kacau balau dan commuter line termasuk di dalamnya. Berbeda dengan pengalaman saya menggunakan kereta cepat seperti di Singapura, Thailand dan Jepang. Di ketiga negara tersebut, bukan hanya pelayanannya yang sangat baik, penumpangnya pun sudah sangat tertib dan disiplin. Rasanya, kita masih sangat jauh dari kondisi itu. Setelah 3 (tiga) hari menggunakan commuter line ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk saya pribadi dan untuk pengelola commuter line.
Quote:
Untuk pribadi:
- Bawa pakaian ganti karena keringat yang pasti bercucuran dan gunakan sepatu yang nyaman berjalan kaki ke dan dari stasiun.
-Berangkat kerja lebih awal dan pulang ke rumah lebih malam. Karena commuter line memiliki ketidakpastian terkait waktu tiba dan berangkatnya, sehingga kepadatan penumpang dalam gerbong pun sepertinya tidak dapat diprediksi.
-Gunakan kartu semacam Flazz Card dari BCA untuk mendapatkan promo-promo terkait tarif commuter line. BCA memberikan promosi tarif Rp 1,- selama 3 hari dalam rangka memperingati HUT Republik Indonesia yang ke-69.
Quote:
Untuk pengelola commuter line:
- Stasiun harusnya dilengkapi garis antrian yang disesuaikan dengan titik-titik pintu commuter line, supaya antrian penumpang tidak berdesakan ketika naik tangga untuk turun dari commuter line harus diperbaiki dan diperpanjang. Sebagai catatan, saya sempat melihat ibu hamil yang kesulitan untuk turun dari commuter line karena gerbong berhenti tidak pas pada tangga. Ini mengerikan.
- Jumlah gerbong commuter line harus ditambah, mengingat pertumbuhan pengguna layanan transportasi publik ini semakin banyak. Begitu juga dengan moda transportasi publik lainnya yang menjadi pendukung.
- Sebaiknya disediakan kios penjual makanan & minuman di belakang antrian penumpang mengingat commuter line begitu sering datang terlambat atau terlalu penuh sehingga penumpang harus menunggu giliran berikutnya cukup lama.
Catatan-catatan di atas mengingat faktor penting terkait sistem tarif baru (yang diberlakukan per Juli 2013) yang membuat commuter line menjadi pilihan yang cukup ekonomis bagi pekerja maupun pelajar yang menjadi penggunanya. Bayangkan hanya Rp 2,000,- untuk setiap perjalanan melewati lima stasiun pertama dan lalu tarif ditambah Rp 500,- untuk setiap tiga stasiun berikutnya.
Dengan kondisi yang ada saat ini, saya pribadi akan lebih memilih untuk membayar lebih mahal, tetapi dengan kenyamanan dan kepastian yang terjaga kualitasnya.
Quote: