Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

soekirmandiaAvatar border
TS
soekirmandia
Jika Bukan Amerika, Siapa Investor Freeport Selanjutnya?
Jika Bukan Amerika, Siapa Investor Freeport Selanjutnya?
SABTU, 18 FEBRUARI 2017 | 20:45 WIB


Operasional PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. (Foto: ptfi.com)

Arah - Jika kemungkinan Amerika Serikat kontraknya tidak diperpanjang, lalu siapa yang akan membeli saham 42 persen di PT Freeport Indonesia?

Mantan Staf Khusus Menteri ESDM, Muhammad Said Didu kembali membahasnya. Menurutnya, harga saham 42 persen berkisar Rp 60-70 triliun. Sehingga jika dihitung tidak akan menggunakan APBN 2017. Hal itu karena tidak dianggarkan.

Ia juga menilai, BUMN tidak sanggup membeli saham semahal itu. Bahkan, jika BUMN diberikan penyertaan modal negara.

"Saham yg 10 persen saja yang di tawarkan sejak 2016 belum tersedia dana, apakah akan minta PMN? Sudah lewat juga?," terangnya.

Ia menelisik, jika APBN dan BUMN tdk bisa artinya yg beli adalah swasta nasional atau swasta asing. Ini kebijakan jebakan batman. Artinya karena lewat Peraturan Pemerintah suatu perusahaan swasta harus menjual ke swasta lain.

Jika ini terjadi, bahan tidak ada swasta lain yang membeli, maka investor paling siap adalah dari Tiongkok.

"Jika itu terjadi artinya kita mengusir Perusahaan AS dari Papua dan menggantikan dg perusahaan dari Tiongkok - wallahualam," pungkasnya.
http://www.arah.com/article/23405/ji...lanjutnya.html


Pemerintah Minta Divestasi Saham 51%, Freeport: Kami Setuju 30%
Selasa 14 Feb 2017, 11:18 WIB

Jakarta - Pasca berakhirnya relaksasi ekspor konsentrat (mineral yang sudah diolah tetapi belum sampai tahap pemurnian) per 11 Januari 2017, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017, Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 (Permen ESDM 5/2016), dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016 (Permen ESDM 6/2016).

Peraturan-peraturan baru tersebut diterbitkan agar hilirisasi mineral dapat tetap berjalan, tanpa merugikan perusahaan-perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK), perekonomian di daerah penghasil tambang pun tak terganggu.

Berdasarkan PP No. 1/2017, para pemegang KK harus mengubah kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi bila ingin tetap mendapat izin ekspor konsentrat. Prosedur untuk mengubah KK menjadi IUPK diatur dalam Permen ESDM 5/2017.

Pada 10 Februari 2017 lalu, Menteri ESDM, Ignasius Jonan, telah menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi untuk PT Freeport Indonesia.

Namun, Freeport belum mau menerima IUPK yang diberikan pemerintah. Sebab, IUPK yang diterbitkan pemerintah tidak memberikan jaminan stabilitas jangka panjang untuk investasi Freeport di Indonesia.

Selain itu, Freeport juga keberatan dengan kewajiban divestasi saham hingga 51% dalam 10 tahun sejak berproduksi untuk perusahaan tambang pemegang IUPK Operasi Produksi. Dengan kata lain, Freeport keberatan melepaskan pengendalian sahamnya.

VP Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, menyatakan pihaknya sudah setuju untuk divestasi saham 30%. Berdasarkan KK yang ditandatangani Freeport dan pemerintah pada 1991, PT Freeport Indonesia memang diwajibkan melepas 30% sahamnya kepada pihak Indonesia.

"Kami sudah setuju untuk divestasi sampai sebesar 30%," kata Riza kepada detikFinance, Selasa (14/2/2017).

Apakah Freeport benar-benar tidak bersedia mendivestasikan sahamnya hingga 51%? "Kami masih berunding dengan pemerintah," jawab Riza.

Sebelumnya, Presiden Direktur Freeport Indonesia, Chappy Hakim, menjelaskan pihaknya keberatan dengan kewajiban divestasi alias penjualan saham hingga 51% seperti diatur dalam PP 1/2017 karena perusahaan induk PT Freeport Indonesia, Freeport McMoRan Inc, tak ingin kehilangan kendali.

Bila tak lagi menjadi pemegang saham mayoritas, tentu kendali atas PT Freeport Indonesia tak lagi di tangan Freeport McMoRan Inc. "Freeport tidak akan beri 51% karena bisa kehilangan pengendalinya," jelas Chappy.

Freeport berharap negosiasi dengan pemerintah bisa memunculkan solusi yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak. Memang sampai saat ini negosiasi masih buntu, dan Freeport menghadapi masalah berat, yaitu tidak bisa mengekspor konsentrat atau hasil tambangnya
https://finance.detik.com/energi/d-3...kami-setuju-30


Cina di Balik Freeport
FEBRUARY 19, 2017

IndonesianReview -- Setelah sukses mengibuli Jepang, kini Amerika jadi sasaran tembak. Yang diincar adalah Freeport.

Kini Amerika Serikat tentu berpikir keras agar tak kena KO seperti Jepang dalam proyek jalur kereta cepat Jakarta-Bandung. Apa boleh buat, salah satu kepentingan strategisnya – tambang emas Freeport di Papua– kini mulai diusik. Pemerintah telah menghentikan semua pembicaraan tentang perpanjangan kontrak Freeport yang akan berakhir pada 2021.

Sebagaimana diungkapkan oleh Menko Kelautan dan Sumber Daya Rizal Ramli, pembicaraan hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir. Dengan demikin, menurut Rizal Ramli, dalam keadaan terjepit Freeport akan memenuhi semua permintaan pemerintah RI. Presiden Jokowi pun kemudian membenarkan pernyataan Rizal Ramli. Sesuai dengan UU, kata Jokowi, pemerintah hanya akan mulai membicarakan perpanjangan kontrak Freeport pada 2019.

Terlalu naïf tentunya kalau Amerika bisa menerima keinginan tersebut. Sebab, bisa jadi, dalam keadaan serba mendesak pemerintah RI akan memberikan syarat terlalu berat sehingga Freeport terpaksa tambang emasnya di Papua kepada pihak lain. Dalam kasus kereta cepat, pihak tersebut adalah Cina karena mau menerima persyaratan yang diajukan pemerintah.

Hal ini mengingatkan pengalaman Jepang. Proyeknya, pembangunan jalur kereta cepat Jakarta-Surabaya tiba-tiba diusik oleh Jokowi. Studi kelayakan kereta cepat tersebut, yang telah membuat Jepang menghabiskan waktu bertahun tahun dan jutaan dollar Amerika, dinyatakan tak layak oleh pemerintah. Lalu, sebagai gantinya, Jokowi minta Jepang untuk membuat studi kelayakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Setelah permintaan tersebut dituruti, tiba-tiba pemerintah memunculkan Cina sebagai pesaing bagi Jepang. Nah, yang membuat Jepang klenger, pemerintah juga mengajukan persyaratan yang tak mungkin dipenuhi oleh pemerintah Jepang sebagai penyandang dana: Proyek tidak boleh membebani anggaran belanja negara, dan pemerintah RI tidak memberi jaminan terhadap pekerjaan benilai miliaran dollar AS itu.

Cina menerima persyaratan tersebut. Bagi Cina, keputusan pemerintah memerintahkan tiga bank BUMN RI mengambil kredit dari perbankan BUMN Cina untuk membiaya proyek tersebut adalah kata lain dari jaminan pemerintah. Apalagi pemerintah RI juga menugaskan BUMN-nya untuk menjadi rekanan lokal perusahaan-perusahaan Cina dalam realisasi proyek tersebut. Dengan demikian, BUMN-BUMN RI tersebut ibarat sandera yang bisa dimanfaatkan oleh Cina bila terjadi masalah serius dengan proyek kereta super mahal tersebut.

Bila skenario di atas benar-benar terjadi, mustahil Amerika akan diam. Sekarang pun mereka mungkin sudah dibuat berang oleh pernyataan Rizal Ramli, yang membangun opini bahwa Freeport seolah perompak kekayaan alam Indonesia. Lebih dari itu, Washington tentu juga kuatir, bila Freeport jatuh ke tangan Cina atau pihak lain, karena akan membuat gangguan terhadap kepentingan Amerika di Indonesia makin menjadi-jadi.

Namun keliru tentunya kalau beranggapan bahwa kekhawatiran semacam itu hanya milik Amerika. Jepang dan Perancis, yang mengelola Blok Mahakam, sekarang juga was-was menanti tindakan apa yang akan dilakukan oleh permerintah RI. Maklum, kontrak bagi hasil atas blok yang menghasilkan seperempat dari target produksi Migas Indonesia itu akan berakhir pada 2017, dan perundingan perpanjangan kontraknya masih tak menentu.

Kini kontrak atas Blok Mahakam di tangan INPEX CORPORATION dari Jepang, dan Total S.A. dari Perancis. Kedua perusahaan ini mulai beroperasi di Indonesia pada 1966 atau tak lama setelah presiden Soekarno dikudeta. Keduanya juga telah berinvestasi miliaran dollar AS untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi ladang-ladang Migas di berbagai tempat di Indonesia.

Hanya saja, skenario di atas mungkin tak akan pernah terjadi. Sebab, pada akhirnya, justeru Jokowi menyadari bahwa berkonfrontasi melawan para raksasa ekonomi dunia mengandung risiko sangat bahkan terlalu besar. Betapa tidak, ketergantungan Indonesia pada mereka di bidang permodalan, teknologi, dan akses ke pasar dunia masih sangat besar.

Pada sisi lain, sebagian besar ekspor Indonesia masih menuju Jepang, Amerika Utara, dan Eropa. Sementara itu, ketergantungan Cina pada teknologi dan modal dari negara-negara maju Barat juga besar. Hal ini tampak pada produk produk elektronik, telekomunikasi, mesin, kimia, farmasi Cina yang belum bisa lepas dari kandungan teknologi impor.

Tapi kalau Jokowi ternyata tetap ngotot berkiblat ke Beijing, kita akan menyaksikan betapa ‘hebatnya’ Indonesia beraksi di medan tempur ekonomi melawan negara-negara maju.
http://indonesianreview.com/gigin-pr...balik-freeport

--------------------------------

Kalau status kepemilikan Freeport akhirnya jatuhnya ke negara, perlu di dukung penuh. Karena tentu pada akhirnya akan menjadi milik BUMN kita. Tapi kalau itu semua hanya jalan akal-akalan semata untuk akhirnya dipindah-tangankan ke CHINA, maka soalnya jadi lain lagi. Dipastikan semua karyawan Freeport yang sekarang di PHK, dari Vice residnt hingga buruh kasar tukang masak dan 'clening service' akan di isi oleh tenaga-tenaga kerja asal China semuanya. Yang dari WNI pasti akan gigit jari saja!


emoticon-Angkat Beer


0
17.6K
164
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.2KThread41KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.