Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

zaros87Avatar border
TS
zaros87
Mengasah EQ Dan Mengelola Emosi Negatif


Emosi negatif adalah sumber dari segala sumber masalah yang terjadi dalam hidup kita. Kemampuan untuk mengelola emosi negatif inilah yang disebut dengan kecerdasan emosional (EQ). Dan inilah yang akan menentukan kualitas kehidupan kita. Kita harus tau dan mengerti bahwa kecerdasan emosional (EQ) jauh lebih berperan dalam hidup seseorang ketimbang kecerdasan intelektualnya (IQ). 



Kabar buruknya lagi bahwa emosi negatif menguras cadangan energi kita dengan tanpa perhitungan. Contoh sederhananya, hasil studi membuktikan bahwa orang-orang kota yang setiap harinya harus bergumul dengan kemacetan jauh lebih rentan terkena stress daripada mereka yang tinggal di desa.



Penyebabnya sederhanya: emosi negatif yang muncul ketika kemacetan, seperti marah-marah dan mengeluh menguras cadangan energi seseorang. Itulah mengapa mengeluh itu buruk untuk kesehatan. 

Sebaliknya kemampuan membentengi diri dengan emosi positif, seperti cinta, semangat, antusiasme dan lain sebagainya akan sangat berdampak sehat pada diri sendiri. Hasil studi demi studi pun membuktikan bahwa orang-orang optimis, berpikir positif, ceria mengalami peningkatan dalam karirnya jauh meninggalkan rekan mereka yang “tukang ngeluh” atau yang suka marah-marah. 



Salah satunya riset yang unik adalah hasil penelitian Dr. Martin Selignman yang menguak fakta bahwa orang-orang optimis cenderung tidak teliti. Orang-orang pesimis sangat teliti. Ini tentu menarik. Kenapa bisa demikian.

Ternyata penyebabnya adalah bahwa orang-orang optimis tidak takut melakukan kesalahan. Mereka selalu berpikir,

“Ah… nanti bisa diperbaiki lagi.” Atau “Saya akan melakukannya lain kali dengan lebih baik lagi.”

Sebaliknya orang-orang pesimis alergi dengan kesalahan. Mereka selalu ingin melakukan segala sesuatunya sempurna di awal. Karena itu mereka begitu akurat dan teliti dalam bekerja. 



Tahukah anda hasilnya seperti apa? Orang-orang optimis bertindak lebih banyak, lebih sering, daripada para pesimis.Karena itu peluang menuju kesuksesan terbuka lebih lebar bagi mereka. 



Hal itu juga terjadi dalam hidup saya. Dalam hal blogging misalnya, dulu saya tidak pernah takut melakukan kesalahan. Blogging berjalan saja dengan apa adanya dan menyenangkan. Namun ketika sembilu kegagalan datang, dan untuk sekian lama saya terjebak dalam emosi negatif.

Entah mengapa saya menemukan diri saya menjadi demikian teliti dalam bekerja. Saya alergi dengan kesalahan. Saya selalu ingin sempurna dalam segala sesuatunya. Saya menjadi begitu peduli dengan hal-hal detail. Tapi pertanyaannya, kok semakin saya detail dan menghindari kesalahan, saya semakin sulit melangkah maju? Seperti ada benteng besar yang menghalangi kreatifitas saya? Ternyata penyakit perfeksionis telah menghinggapi spirit saya. 



Sebaliknya saya punya seorang teman. Yang bagi saya ia cukupmenyebalkan, sebab ia kelihatannya terlalu jago dalam merancang hal-hal besar. Tapi minim dalam hal detail. Ia sama sekali tidak peduli apa kata orang terhadapnya, ia tidak peduli untuk mengoper gigi motornya ketika tanjakan (semuanya paka gigi 4), ia tidak peduli untuk membereskan meja kerjanya. Bagi saya, yang waktu itu masih terjangkit penyakit perfeksionis, orang ini benar-benar kacau balau, ceroboh, tidak teliti dan lain sebagainya. 

Tapi, bagi Ia pribadi, kehidupan nampaknya begitu asyik dan menyenangkan. Ia bebas berteman dan berkenalan dengan siapa saja, ia melakukan banyak hal dalam hidupnya. Dan anehnya, nampaknya selalu terjadi peningkatan yang signifikan dalam hidupnya. Sampai hari ini teman sayaitu masih begitu. Tapi karirnya sudah sangat mapan, ia bekerja di salah satu BUMN ternama, ia punya istri yang cantik dan sholehah, di samping itu ia menjalankan banyak bisnis. 



Semua cerita ini nampaknya berujung pada satu hal. Bahwa kecerdasan emosional (EQ), kemampuan mengelola emosi, kemampuan berpikir besar, kemampuan bersosialisasi, nggak pake malu dan gengsi, jauh lebih penting dalam kehidupan daripada sekedar kecerdasan intelektual (IQ), ketelitian terhadap hal-hal detail, ketakutan melakukan kesalahan, dan pesimisme. 

Nah, pada tulisan renyah kali ini kita akan coba mengulas tentang 4 sumber emosi negatif. Dan bagaimana sebuah langkah sederhana bisa mengusirnya jauh-jauh dari kehidupan kita. Semoga dengan menerapkan solusi dalam tulisan ini, kita bisa menjadi orang yang lebih positif dan optimistis dalam menjalani kehidupan yang penuh gejolak ini. Tsaahh… emoticon-Wakaka

Jika anda sudah siap, langsung saja ini dia poin-poinnya… 

1. Justifikasi atau pembenaran



Emosi negatif berakar dari sifat membenarkan segala macam hal yang membuat diri berpikir negatif. Ketika masalah muncul, kita menjadi sedih, marah dan kecewa. Ini wajar sebagai respon manusiawi. Tapi ketika kita telah memilih untuk terus menerus bersikap demikian, kemudian kita membenarkan tindakan kita tersebut. Maka di sanalah emosi negatif itu tumbuh bersemi.

Membenarkan emosi negatif berarti Kita akan memberikan sejuta penjelasan mengapa kita wajar dan harus marah, benci dan merasa inferior. 

Misalnya, ketika ibu saya sering sakit-sakitan. Sebagai anak saya mencoba menasehati.

“Bu… jangan terlalu banyak pikiran. Serahkan saja semuanya sama Tuhan. Ibu harus banyak istirahat.”

“Tidak bisa!”

Katanya

"Seorang ibu memang akan selalu seperti itu. Ia akan terus menerus mikirin anaknya.”

Nah, saya paham kekhawatiran ibu saya mikirin anaknya. Tapi biar bagaimanapun itu memunculkan emosi negatif dalam dirinya. Dan akhirnya jadi jatuh sakit. Tapi beliau selalu saja membenarkan emosi negatifnya. Bahwa memang seperti itulah seorang ibu.

Akan sulit bagi saya untuk menasehatinya, walau dengan kata-kata bagaimanapun. Selama ia meyakini bahwa emosi negatifnya adalah benar. 

Begitulah emosi negatif terus-menerus bersarang menggelayuti diri kita dengan justifikasi atau pembenaran. Jika saja kita tidak membenarkan mengapa kita harus marah, tentu kita tidak akan marah. Maka berhenti menjustifikasi emosi negatif kita. Terimalah keadaan yang buruk itu, dan pelajari hikmahnya. 

2. Rasionalisasi atau Membuat Dalih



Faktor emosi negatif yang kedua adalah mencoba merasionalkan emosi negatif itu. Apa-apa berdalih. Dikit-dikit bikin alasan. Kenapa kok tidak kerjakan tugas? Hujan sih, mati lampu sih, ini sih itu sih. Ia akan memberikan alasan mengapa emosi negatif-nya masuk akal.

Rasionalisasi dan justifikasi akan selalu membuat orang lain atau sesuatu hal sebagai penyebab dari segala emosi negatif yang muncul dalam dirinya. Sadar atau tidak pada saat kita berdalih semacam itu, kita sedang mengundang datangnya hal-hal negatif dalam hidup kita. 

Misalnya seorang yang dipecat dari pekerjaannya, ia akan menjelaskan segala hal bahwa pemecatannya adalah kesalahan. Ia menjelaskan bahwa bossnya memang orang yang tidak kompeten.

Sistem di perusahaannya tidak valid. Dan banyak lagi. Semuanya untuk membuktikan bahwa dirinya benar dan emosi negatifnya wajar. Padahal jelas-jelas pembenaran tersebut tidak berguna. Mungkin memang benar demikian, tapi tetap saja tidak ada gunanya 

3. Mendewakan Pendapat Orang Lain



Sumber emosi negatif selanjutnya adalah adanya hypersensitive berupa mendewakan pendapat orang lain tentang diri kita. Jadi emosinya tergantung pada apa kata orang lain terhadapnya. Jika orang lain menghina, mengejek, atau menertawakannya ia akan memikirkan hal tersebut dan membiarkan emosi negatifnya tumbuh. 

Sayangnya hal semacam ini akan sangat menyakitkan. Kita tidak benar-benar menjalani hidup, jika saja kita terus menerus memikirkan apa kata orang tentang kita. Hal ini jugalah yang sedikit banyak menimbulkan sikap perfeksionis yang mengganggu itu. 

4. Blaming atau Menyalahkan



Inilah batang pohon segala emosi negatif. Yakni sikap menyalahkan. Menyalahkan orang lain, menyalahkan lingkungan, keluarga, keturunan. Pokoknya apa saja dan siapa saja diluar dirinya yang membuat kita menjadi negatif seperti ini. Tidak adanya tanggung jawab atas apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Tidak mau menerima kenyataan atas kesalahan yang dibuatnya. 

Potong batang emosi negatif anda, dan semua ranting-ranting, buah, dan daunnya akan hilang dari diri anda.

Bagaimana Mengatasi Semua Emosi Negatif Itu?



Satu dan satu-satunya cara untuk mengatasi emosi negatif itu adalah mengambil alih diri anda. Bertanggung-jawab penuh dengan apa yang ada dalam hidup anda. Menerima segala sesuatu sebagai akibat dari sikap dan tindakan kita sendiri. Kemudian dengan sikap positif kita mencari solusi dari masalah itu sendiri. 

Ingat, bahwa masalah itu tidak serumit kelihatannya. Yang membuat sebuah masalah itu rumit adalah emosi kita sendiri. 

Sebuah masalah yang sama jika dihadapi dengan sikap yang berbeda toh pada akhirnya akan menghasilkan hasil-hasil yang berbeda. 

Sikap kitalah yang menentukan. Apa yang mendatangi kita sepenuhnya diluar kendali kita. We have nothing to do with it. Tapi sikap kita terhadap apa yang terjadi itulah yang menentukan. Dan itu sepenuhnya ada di dalam kontrol kita. 

Jika kita bertanggung jawab penuh. Kita katakan, “Aku bertanggung jawab dengan hidupku.” Seketika itu pula kita memotong semua emosi negatif dalam diri kita. Dan kita menjadi orang yang lebih positif. 

Sumber : pengembangandiri
Image : google
Diubah oleh zaros87 18-02-2017 03:24
0
3K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.