BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menengok kembali hukuman cambuk


Tak kurang dari sembilan foto menyertai laporan media online Inggris, Daily Mail tentang eksekusi hukum cambuk digelar di halaman Masjid Al-Muchsinin, Gampong Jawa, Kota Banda Aceh, Aceh.

Dalam laporan yang terbit 2 Februari lalu itu diberi judul "Brought to tears by Sharia justice: Woman is forced to endure 26 agonising lashes of the cane for having sex outside of marriage in Indonesia".

Dari 9 foto itu, tujuh diantaranya merupakan rangkaian foto eksekusi perempuan yang telah dinyatakan bersalah karena berzina. Ketujuh foto itu secara berurutan memperlihatkan mulai dari ketika si perempuan tampak tegang menghadapi eksekusi, menangis, sampai ketika seorang dokter memeriksa si perempuan yang meraung-raung setelah mendapat 26 cambukan.

Sementara dua foto lainnya memperlihatkan eksekusi cambuk terhadap lelaki yang menjadi pasangan si perempuan tadi. Wajah si lelaki tampak meringis kesakitan selama menerima hukumannya itu.

Liputan media internasional atas hukuman cambuk yang memang berlaku di Provinsi Aceh itu mengingatkan kita bahwa bentuk hukuman badan tersebut sebetulnya masih kontroversial. Sejumlah kelompok masih menentang pelaksanaan hukuman badan tersebut.

Pemberlakuan hukuman cambuk di Aceh adalah bagian dari pelaksanaan qanun jinayat, perda (peraturan daerah) tentang hukum pidana. Kehadiran perda tersebut tentu tidak lepas dari status otonomi khusus Aceh.

Pengesahan qanun jinayat itu pun tidak berlangsung secara mulus. Dalam perjalanannya, rancangan qanun itu menghadapi sikap pro kontra di masyarakat.

Sejumlah aktivis masyarakat sipil menentang pengesahan rancangan qanun tersebut. Rancangan qanun itu dipandang terlalu prematur untuk disahkan. Bahkan rancangan qanun tersebut dianggap bisa mempertaruhkan kewibawaan hukum, demokrasi substantif dan keutuhan bangsa.

Ifdhal kasim, yang kala itu menjabat sebagai Ketua Komnas HAM, memandang rancangan qanun itu melanggar HAM. Saat itu Ifdhal menyatakan, "Kalau ada hukuman yang sejenisnya tetapi menyiksa, itu juga melanggar. Hukum rajam itu juga menurunkan martabat manusia dan menyiksa.""

Rancangan qanun itu pernah ditolak oleh Gubernur Aceh, yang kala itu dijabat oleh Irwandi Yusuf.

"Pemerintah Aceh menolak qanun jinayat dari awal, karena tidak sesuai dari draf yang kami ajukan. Tidak tahulah, bagaimana qanun itu nanti. Pemerintah tetap menolak hukuman rajam karena itu bertentangan dengan hukum nasional dan hukum internasional," kata Irwandi saat itu.

Namun pada Sabtu dinihari 27 September 2014 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan qanun jinayat sebagai bagian pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Semua fraksi dalam rapat paripurna kala itu menerima pengesahan qanun tersebut. Tak ada perdebatan di antara mereka.

Setahun kemudian, saat qanun itu diberlakukan, dua organisasi masyarakat sipil - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Serikat Solidaritas Perempuan (SP)- mengajukan gugatan uji materi atas Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayah ke Mahkamah Agung (MA). Dalam gugatan itu, kehadiran qanun jinayat berpotensi merusak tatanan hukum pidana yang telah diatur dalam KUHP.

Dalam kaitannya dengan hukuman cambuk, tampaknya kita harus melihat dampak yang ditimbulkannya. Asumsi bahwa hukuman badan tersebut dapat memberikan efek jera, ternyata belum sepenuhnya terbukti.

Data yang dimiliki oleh ICJR menunjukkan bahwa jumlah perkara jinayah yang telah diputuskan oleh Mahkamah Syariah Aceh setidaknya mencapai 301 putusan sepanjang bulan Januari sampai November 2016. Dan sepanjang tahun 2016 itu sudah 339 terpidana yang menjalani eksekusi cambuk.

Menurut ICJR, data itu menunjukkan peningkatan sejak qanun jinayat diberlakukan. Dengan kata lain, efek jera yang diharapkan muncul berkat pemberlakuan hukuman badan itu tidak terlihat.

Mungkin ini saat yang tepat untuk menengok kembali keberadaan hukum cambuk di negeri kita. Selain, ternyata tidak memperlihatkan efek jera, harus kita akui bahwa hukum kita memang tidak mengenal hukum cambuk.

Pasal 10 KUHP menerangkan ada dua jenis sanksi pidana. Pertama, pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda. Kedua, pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Di luar jenis sanksi-sanksi pidana itu, menurut MA seperti tercantum di putusan MA 11 Mei 1970 nomor 59 K/Kr/1969 dan 26 September 1970 Nomor 74 K/Kr/1969, tidak dibenarkan menambah jenis hukuman di luar Pasal 10 KUHP.

Kita tentu lebih menginginkan sanksi pidana yang bukan mengarah sebagai balasan yang setimpal dengan kejahatannya, melainkan mengarah sebagai koreksi yang manusiawi atas tindakan kejahatannya.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...hukuman-cambuk

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Pers, media sosial, dan kabar bohong

- Menghormati dan menahan diri pada Masa Tenang Pilkada

- Pasar Tradisional dan Ekonomi Berkeadilan

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
11.4K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread730Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.