1. Pendahuluan

Tidak terlalu sulit untukku sadar diri. Bagiku ini seperti sebuah lelucon. Tak banyak orang tau, apalagi mengerti. Aku punya banyak dunia yang selalu berjalan bersaaman. Aku punya banyak cerita yang kapan saja selalu siap untuk didongengkan. Dan, juga ketahuilah aku mencintai bintang. Bukan, maksudku seseorang yang cantik nan rupawan. Senyum bagai Rembulan, si Bintang Fajar saat malam Purnama berkilauan.

Sepenuhnya hidupku adalah kebohongan. Tapi tak begitu dengan Ayahku. Seperti waktu telah memakannya hidup-hidup. Jangan tanya aku mengapa, bahkan detil dari setiap waktu muda yang dilewatinya pun tidak pernah Dia mau berbicara. Pengkhianatan penuh dengan perjalanan yang meyakitkan. Dia orang Padang kelahiran bukti serta Penderitaan. Punya keluarga begitu Dia sayangi. Ah coba kalian berfikir, setiap detik menuju jam berhasil menggoda dari insan yang pernah dia punya. Terlantar sendiri penuh air mata. Malam-malam kadang Dia berbicara dalam tidur: Hai adik-adikku, kemarilah. Abang pulang bawa Durian dari hutan. Mari kita makan sama-sama, jangan sampai ada yang tersisa, nanti bisa-bisa dia menangis! Senang Dia bilang bukan kepalang pulang membawa beban pikulan ranting dan dahan. Dibayar dengan senyum dan tawaan dari sebuah janji: Esok abang pulang bawa Durian nan banyak lagi kan?. Namun apa yang kamu tau? Dari waktu yang memang kejam, jawaban tetaplah kebohongan. Begitu baik gelagat seorang abang pada adik-adiknya. Namun sekarang, seuntai kata maaf tak mau lagi dilantunkan. Aku tak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Namun logika tetaplah bunga dari pohon yang berakar dari Nyata.

Ah banyak. Banyak cerita yang sudah kubilang akan kudongengkan. Duduklah mendekat kesini. Biar kamu tau, setidaknya jangan biarkan aku sendiri. Biar kamu mengerti, seperti apa kisah sebelum tidur yang akan aku tuliskan. Mari