Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

das2009Avatar border
TS
das2009
Indonesia Masih Membutuhkan Megawati
Saya mengenal Megawati Soekarnoputri atau Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri sejak kami masih kecil, masih murid sekolah dasar, sekitar tahun 1957. Kami satu sekolah, di Yayasan Perguruan Cikini, Jakarta.

Namun, karena saya adalah adik kelas, beda tiga kelas, sehingga perbedaan umur kami juga cukup jauh untuk ukuran pergaulan anak-anak pada masa itu, saya hanya pada waktu istirahat saja sering melihat dirinya. Megawati kecil sering bermain engklek gunung dan juga main samse—sehimpun bunga yang diikat dan kemudian dimainkan dengan cara ditendang-tendang layaknya orang bermain sepak takraw.

Ingatan saya kepada Megawati pada masa sekolah itu berkisar pada kiprahnya sekitar tahun 1961. Ketika itu, ia mendaftar menjadi sukarelawati pembebasan Irian Barat dan berlatih baris-berbaris di lapangan basket sekolah kami. Ia masih remaja.

Seingat saya, ia sukarelawati pertama dan sebelumnya hanya ada para sukarelawan—yang pada saat akhir pendaftarannya mencapai 21 juta rakyat Indonesia yang mendaftar, sekitar 10 kali populasi kaum imperialis dan kolonialis Belanda saat itu.

Setelah ia lulus SMA, sayapun lulus SMP dan saya melanjutkan ke SMA Negeri 3 Teladan Jakarta. Sejak itu, kami tidak pernah bertemu lagi.

Kami baru bertemu lagi tahun 1997, saat hingar-bingar politik dan krisis moneter serta Orde Baru sudah diujung napasnya. Ketika itu, beliau telah menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Tahun 1999, saya bersama beliau menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan. Kami dan kader-kader PDI Perjuangan bahu-membahu untuk mendapatkan kursi Presiden Republik Indonesia. Sayangnya, seperti terekam dalam sejarah, kami“dikerjai” oleh Poros Tengah sehingga Megawati gagal menjadi presiden, walaupun PDI Perjuangan adalah pemenang pemilihan umum dan merupakan fraksi terbesar di parlemen, dengan jumlah mencapai kursi 34% dari keseluruhan anggota parlemen.

Itulah politik. Tapi, jujur saja, hampir seluruh rakyat Indonesia pada masa itu memuja Megawati. Dan, setelah melewati beberapa krisis, akhirnya Megawati pun naik menjadi presiden, menggantikan posisi Abdurrahman Wahid,tahun 2002.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan mulailah beliau menjalankan roda pemerintahan sesuai ideologinya yang nasionalis, dengan politik luar negerinya yang bebas dan aktif, bersahabat dengan semua negara dan menentang penindasan. Misalnya, tatkala dunia Barat secara sepihak dan tidak seimbang mengerjai Presiden Irak Saddam Husein, Megawati termasuk tokoh yang tidak setuju dengan cara-cara tersebut—dan belakangan terbukti, baik Presiden Obama maupun Donald Trump juga tidak setuju dan menyalahkan Presiden George Bush atas kebijakan Amerika Serikat tersebut.

Ternyata sikap Megawati itu punya konsekuensi serius. Sejak saat itu mulailah direkayasa suatu opini untuk “membusukkan” Megawati. Masih jelas ingatan saya seperti apa media massa, baik media cetak maupun elektronik, mem-bully Megawati terus-menerus.

Dulu, sebagian besar orang Indonesia belum menguasai sistem komunikasi massa secara utuh. Tapi, sekarang kita tahu, semua itu direkayasa untuk membusukkan Megawati agar tidak terpilih lagi menjadi presiden.

Kenapa? Tentunya karena ada pihak-pihak yang berkepentingan agar Megawati tidak terpilih dan ideologi negara berubah, kembali seperti zaman Orde Baru, ketika kepentingan asing bisa bebas menggerogoti negara kita.

Rekayasa media dan pembentukan opini tersebut berhasil. Luar biasa memang. Padahal, sebelumnya, pada tahun 1987, tatkala Megawati berkampanye pada Ulang Tahun Ke-14 PDI, sepanjang jalan dari Pasuruan ke Probolinggo sepanjang kurang-lebih 40 kilometer, masyarakat berjejer penuh menyambut dirinya.

Saat kampanye Pemilu 1992, Megawati tanpa mengenal rasa takut akan tentara rezim Orde Baru membuat Jakarta menjadi metal atau merah total. Mereka mendukung PDI Promeg atau Pro-Megawati. Juga di Solo, Surabaya, dan berbagai daerah lain di Indonesia.

Yang lucu, hanya selang lima jam setelah pemilu langsung keluar pengumuman bahwa PDI kalah total. Memang luar biasa sistem “teknologi informatika” Orde Baru. Padahal, teknologi pada masa itu tak secanggih sekarang. Sistem survei belum dikenal, juga quick count belum ada. Hidup Orde Baru!

LANJUT:
http://koransulindo.com/indonesia-ma...hkan-megawati/


Indonesia Masih Membutuhkan Megawati
Foto: Megawati menari dengan bapaknya, Presiden Soekarno/wikimedia.ord
0
2.8K
29
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.