Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

berita378Avatar border
TS
berita378
Transparansi MUI
KORUPSI dan suap benar-benar telah menjadi bahaya yang melintas batas. Ia bisa dilakukan siapa saja dan yang berprofesi apa pun. Di institusi yang profan maupun yang suci. Tak terkecuali mereka yang mendedikasikan tenaga dan pikiran di Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga yang mewadahi ulama, zuama, dan cendekiawan Islam.

Institusi yang punya tugas mulia, yakni memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam.

Karena itu, ditetapkannya salah seorang bendahara MUI, Fahmi Darmawansyah, sebagai tersangka penyuapan Rp2 miliar terhadap petinggi Badan Keamanan Laut (Bakamla), pekan silam, sungguh kian menunjukkan korupsi memang punya 'daya jelajah' teramat luas.

Bendahara MUI pun bisa terlibat perbuatan yang masuk kategori kejahatan luar biasa. Yang membuat publik kian geleng-geleng kepala, Fahmi bukanlah pengurus MUI pertama yang terjerat kasus korupsi.

Pada Oktober 2013, Chairunnisa, bendahara MUI masa bakti 2010-2015, bersama Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Akil Mochtar, terkena operasi tangkap tangan KPK karena suap.

MUI pun kemudian memberhentikan Chairunnisa yang juga politikus Partai Golkar sebagai bendahara. Pengadilan kemudian memvonis perempuan itu 4 tahun penjara.

Dalam kasus yang menjerat Fahmi, MUI memang mengatakan, sejak dilantik menjadi bendahara MUI masa bakti 2015-2020, ia tidak terlalu aktif, terutama dalam soal kehadiran. Namun, apa pun alasannya, Fahmi ialah nama yang resmi menduduki jabatan bendahara di MUI.

Suap yang dilakukan Fahmi selaku Direktur Utama PT Melati Technofi Indonesia terkait dengan proyek pengadaan satelit pengawas laut. Hingga kini suami artis Inneke Koesherawati itu masih buron.

Tentu dua bendahara MUI yang terlibat korupsi menjadikan kita bertanya, bagaimana sesungguhnya MUI dalam merekrut para pengurus mereka? Meskipun mencari manusia berintegritas tinggi memang tak mudah, MUI mestinya mempunyai mekanisme seleksi yang ketat.
Organisasi 'orang-orang suci' itu mestinya mempunyai kepekaan yang lebih jika dibandingkan dengan orang-orang biasa.

Terlebih lagi, pada 2000, MUI juga telah mengeluarkan fatwa haram tentang korupsi. Kini publik tak hanya membincangkan soal dua bendahara MUI yang terlibat korupsi itu, tetapi juga ketidaktransparanan lembaga yang berdiri pada 1975 tersebut.

Sejak fatwa haram tentang korupsi, mestinya MUI membuka diri untuk diaudit. Selain mendapat kucuran dana dari APBN, MUI menerima dana dari masyarakat melalui sertifikasi halal.

Namun, sebelum orang ramai membincangkan soal audit keuangan MUI, institusi ini justru terlihat berkeberatan diaudit BPK, misalnya. Tuntutan audit keuangan MUI itu masuk akal.

Menurut Pasal 1 ayat (3) UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, MUI termasuk 'organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri'.

Menurut Pasal 52 undang-undang itu, lembaga publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik secara berkala, bisa terkena pidana kurungan paling lama satu tahun.

MUI yang sejak berdiri sedikitnya telah mengeluarkan 20 fatwa tentu membutuhkan kepercayaan publik yang amat tinggi.

Kasus korupsi yang membelit dua bendahara MUI ditambah ketidaktransparanan dalam pengelolaan keuangan tidak saja bisa menggerus kepercayaaan itu, tetapi juga bisa mendatangkan gunjingan bahkan fitnah. Publik akan menebak-nebak berapa penghasilan lembaga yang sesungguhnya bukan lembaga bisnis itu.

Kita sangat berharap hal serupa itu tak terjadi pada MUI.



SOURCE
0
2.4K
37
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.