MUI Kritik Menko Polhukam: Pemerintah Jangan Intervensi Fatwa!
TS
aghilfath
MUI Kritik Menko Polhukam: Pemerintah Jangan Intervensi Fatwa!
Spoiler for MUI Kritik Menko Polhukam: Pemerintah Jangan Intervensi Fatwa!:
Jakarta - Menko Polhukam Wiranto meminta setiap fatwa yang akan dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus dikoordinasikan dulu dengan pemerintah agar tidak timbul keresahan di masyarakat. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi mengkritik pernyataan Wiranto itu.
"Saya sangat menyayangkan sekali pernyataan Bapak Menko Polhukam Wiranto agar MUI melakukan koordinasi dengan pihak Kepolisian RI dan Menteri Agama dalam setiap akan menetapkan fatwa. Hal tersebut bukan saja sebagai bentuk intervensi Pemerintah terhadap MUI dalam menetapkan fatwa, juga bisa dipahami sebagai bentuk pembatasan hak MUI dalam berekspresi, menyatakan pikiran dan pendapat yang sangat jelas dan tegas dijamin oleh konstitusi," kata Zainut dalam keterangannya kepada detikcom, Rabu (21/12/2016).
Menurut Zainut, pernyataan Wiranto tersebut adalah bentuk intervensi pemerintah terhadap MUI dalam menetapkan fatwa. Selain itu juga bentuk pembatasan hak MUI dalam berekspresi, menyatakan pikiran dan pendapat yang sangat jelas dan tegas dijamin oleh konstitusi.
"Pernyataan tersebut menurut saya sebagai bentuk kemunduran dalam praktik kehidupan berdemokrasi di Indonesia," ujarnya.
Dijelaskan Zainut, MUI sebagai organisasi kemasyarakatan eksistensinya dijamin oleh konstitusi. Hak dan kewenangan MUI dijamin oleh peraturan perundang-undangan sehingga tidak ada alasan oleh siapa pun dan atas nama apa pun melakukan pembatasan terhadap tugas dan tanggung jawabnya dalam melayani masyarakat, termasuk dalam menetapkan fatwa, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
"MUI dalam setiap menetapkan fatwa senantiasa mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Tidak hanya mempertimbangkan dari aspek keagamaan saja, tetapi juga mempertimbangkan dari aspek kebhinnekaan, toleransi, kerukunan sosial dan keutuhan NKRI. Tuduhan bahwa fatwa MUI dapat meresahkan masyarakat dan merusak toleransi umat beragama adalah sangat tidak beralasan. Seharusnya hadirnya fatwa MUI dimaknai sebagai bentuk kontribusi positif masyarakat dalam ikut serta membangun harmoni kehidupan umat beragama, merawat kebhinnekaan dan menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan UUD NRI 1945 dan Pancasila," jelas Zainut.
Ditambahkan Zainut, fatwa MUI adalah panduan keagamaan bagi umat Islam dalam melaksanakan keyakinan agama. Menurutnya pemerintah sudah sepatutnya memberikan perlindungan dan pendampingan kepada umat Islam dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan keyakinannya, karena hal tersebut merupakan bentuk pelaksanaan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.
"MUI memberikan apresiasi kepada pemerintah jika setiap implementasi pelaksanaan fatwa salalu dikoordinasikan bersama antara MUI dengan pemerintah sehingga dalam eksekusinya tidak menimbulkan ekses negatif di masyarakat," imbuhnya.
Kenapa ya MUI ga pernah kritik diri sendiri dan ulama dibawahnya yg telah menghasilkan kelompok2 radikalis, intoleran, pemimpin muslim koruptif, penipu2 berkedok aqidah
Saat umatnya jadi pembom bunuh diri, pejabat korupsi, tukang sweeping mereka hanya bilang itu oknum, tidak terkait dengan kami
Quote:
Original Posted By ariopeyekurang►Gus Mus: Fatwa dan Fatwa
FATWA akhir-akhir ini merupakan tren baru, bahkan sudah mirip dengan latah. Dulu, fatwa hampir identik dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), yang memang paling sering mengeluarkan fatwa. Fatwa yang dinilai sering tidak menjadi solusi, melainkan malah meresahkan. Pak Jusuf Kalla waktu menjadi wakil presiden sampai berpesan dalam pembukaan Ijtimak Komisi Fatwa MUI agar MUI jangan mengeluarkan fatwa yang meresahkan dan menjadi ketakutan baru, melainkan menjadi solusi (Jawa Pos, Minggu 25 Januari 2009).
Tapi kini, fatwa tidak lagi menjadi monopoli MUI. Rupanya, MUI mendapatkan banyak saingan.
Fatwa bermunculan dari berbagai penjuru, dari berbagai lembaga dan organisasi. Berbagai hal dan masalah difatwakan. Mulai fatwa tentang aliran sesat, bunga bank, golput, yoga, rokok, pembangkit tenaga nuklir, rebonding, prewedding, infotainment, ringtone ayat-ayat Alquran, Facebook, sampai naik ojek.
Kecanggihan dan keaktifan pers ikut dan sangat membantu tersiarnya fatwa-fatwa dari berbagai pihak itu serta menjadikannya bahan pembicaraan berkepanjangan sehingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Bahkan, ada yang menilainya meresahkan. Di sisi lain, ada pula yang khawatir, dengan sering dan mudahnya fatwa dikeluarkan, fatwa akan kehilangan wibawa dan kesakralan. Padahal, sejak dulu organisasi NU dengan bahtsul masail-nya dan Majelis Tarjih Muhammadiyah selalu menjawab masalah-masalah keagamaan yang ditanyakan anggotanya.
Di banyak pesantren juga ada tradisi musyawarah di kalangan santri. Mereka berlatih menjawab masalah-masalah keagamaan di masyarakat. Hanya, dulu mungkin tidak ada media massa yang tertarik menyiarkannya.
Di koran ini, saya pernah sedikit menjelaskan perbedaan antara fatwa, wacana, dan vonis yang sering dirancukan. Gara-gara kerancuan itu, sering terjadi fatwa dianggap vonis. Celakanya, ada yang mengeksekusi berdasar fatwa tersebut. Itu merupakan kesalahan bertumpuk. Yakni, kesalahan menganggap fatwa sebagai vonis serta melakukan eksekusi dan penghakiman sendiri. Saya menjelaskan istilah-istilah tersebut terutama agar masyarakat tidak terlalu bingung dan resah terhadap fatwa-fatwa MUI.
Ternyata, sekarang masih atau semakin banyak keluhan mengenai kian maraknya fatwa, tidak hanya dari MUI. Masyarakat kembali ramai membicarakan dan sebagian malah menyatakan semakin bingung. Apalagi, kemudian ada yang membesar-besarkan perbedaan fatwa, seperti fatwa yang mengharamkan rokok dan yang hanya memakruhkannya. Maka, saya teringat akan hal yang pernah saya kemukakan -mengutip keterangan para ulama- tentang fatwa lebih dari setahun lalu.
Fatwa dalam istilah agama (sempitnya: fikih) mirip dengan pengertian bahasanya, yakni jawaban mufti terhadap masalah keberagamaan. Dulu -dan sampai sekarang di beberapa negara Timur Tengah- fatwa memang diminta dan diberikan oleh mufti secara perorangan. Dalam kitab-kitab fikih, mufti atau pemberi fatwa dibedakan dengan hakim. Mufti hanya memberikan informasi kepada dan sesuai dengan pertanyaan si peminta fatwa. Sementara itu, hakim memutuskan hukuman setelah mendengarkan berbagai pihak, seperti penuntut, terdakwa, dan saksi-saksi. Berbeda dengan putusan hakim, fatwa tidak memiliki kekuatan memaksa. Ia tidak mengikat, kecuali bagi si peminta fatwa.Itu pun berlaku dengan beberapa catatan. Antara lain, si peminta fatwa hanya mendapatkan fatwa dari satu pihak atau pemberi fatwa dan fatwa yang diberikan sesuai dengan kemantapan hatinya.
Apabila ada dua pihak yang memberikan fatwa berbeda, dia mengikuti fatwa yang sesuai dengan kata hatinya. Itu berdasar hadis Nabi Muhammad SAW, "Istafti qalbak/nafsak wain aftaaka an-naas..." Arti hadis tersebut, mintalah fatwa hati nuranimu meski orang-orang sudah memberimu fatwa.
Sementara itu, mufti yang boleh ditanya dan memberikan fatwa adalah orang yang memenuhi kriteria tertentu. Bukan sembarang orang. Misalnya, pensiunan pegawai tinggi Depag (kini Kementerian Agama) atau ketua umum organisasi tidak bisa dijadikan ukuran. Para ulama punya pendapat berbeda mengenai rincian kriteria mufti; ada yang ketat, ada juga yang agak longgar. Ada yang mensyaratkan mufti harus mujtahid. Ada yang sekadar menyatakan -seperti Imam Malik- orang alim tidak seyogianya memberikan fatwa sampai tahu bahwa orang melihatnya pantas memberikan fatwa dan dirinya juga merasa pantas. Secara garis besar, semua menyepakati bahwa yang diperkenankan dimintai dan memberikan fatwa hanyalah mereka yang memang ahli.
Pemberian fatwa, menurut para ulama, juga punya etika. Misalnya, mufti tidak boleh tergesa-gesa dalam memberikan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam salah satu kitabnya menyatakan, "Dulu salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa diberikan oleh selain dirinya. Apabila sudah jelas bahwa fatwa itu harus diberikan olehnya, dia akan mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui hukum masalah yang dimintakan fatwa tersebut dari Alquran, sunah Rasulullah, dan pendapat Khalifah Rasyidin."
Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal, mufti tidak boleh menjawab apa saja yang ditanyakan kepadanya. Selain itu, orang tidak boleh mengajukan dirinya untuk memberikan fatwa, kecuali telah memenuhi lima hal. Pertama, dia punya niat tulus lillahi taala, tidak mengharapkan kedudukan dan sebagainya. Kedua, dia berdiri di atas ilmu, sikap lapang dada, keanggunan, dan ketenangan. Sebab, bila tidak demikian, dia tidak bisa menjelaskan hukum-hukum agama dengan baik. Ketiga, dia harus kuat pada posisi dan pengetahuannya. Keempat, mufti harus punya kecukupan. Bila tidak, dia membuat masyarakat tidak senang. Sebab, dia membutuhkan masyarakat dan mengambil (materi) dari tangan mereka. Masyarakat bakal merasa dirugikan. Kelima, mufti harus mengenal masyarakat. Artinya, dia harus tahu tentang kejiwaan si peminta fatwa serta mengerti benar akan pengaruh dan tersebarnya fatwa tersebut di masyarakat.
Sebab, intinya, fatwa adalah kemaslahatan bagi masyarakat. Maka, menurut Imam Syatibi, mufti yang mencapai derajat puncak adalah yang membawa masyarakat ke kondisi tengah-tengah, seperti yang dikenal masyarakat. Mufti itu tidak menempuh aliran yang keras, tidak pula terlalu longgar.