Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Mengurangi parpol untuk penguatan sistem demokrasi

Mengurangi jumlah parpol melalui peningkatan parliamentary threshold
Amanat presiden untuk membahas Rancangan Undang Undang Penyelenggaraan Pemilu, akhirnya sampai juga ke tangan DPR (21/10/2015). Amanat itu sudah ditunggu-tunggu sejak bulan lalu. Selanjutnya pembahasan diperkirakan bakal alot.

RUU Penyelenggaraan Pemilu, kali ini sangat tebal sekitar 300 pasal. Maklum RUU ini menggabungkan tiga undang-undang. Yaitu UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu; UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD Presiden., dan DPRD; serta UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil.

Pembahasan RUU ini hanya punya waktu maksimal 7 bulan, namun kualitas UU diharapkan bisa prima. Sebab RUU inilah yang akan menjadi pijakan hukum pilihan demokrasi negeri ini untuk menyelenggarakan pemilu serentak pada 2019. Pemilu serentak yang dimaksud adalah menyatukan pemilihan presiden/wakil presiden dengan pemilu DPR, DPRD dan DPD dalam waktu yang bebarengan.

Meski pembahasan belum dijadwalkan kapan dimulai, namun baik parpol maupun pengamat politik sudah membuat daftar butir krusial dalam pembahasan RUU ini. Salah satunya soal sistem penyelenggaraan pemilu.

Sistem pemilu legislatif, dalam RUU ini disebutkan menggunakan proporsional tertutup (closed list). Ini berbeda dengan pemilu legislatif 2014, yang menggunakan proporsional terbuka.

Bila sistem proporsional tertutup lolos, kelak, pemilih hanya mencoblos gambar parpol, bukan foto calon legislatif. Parpol punya kekuasaan untuk mengatur siapa kader yang bakan duduk di kursi legislatif sesuai nomor urut.

Hal yang paling krusial adalah adanya semangat untuk mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu masa depan. Keinginan itu malah datang dari parpol. Dalam Pasal 393 draf RUU inisiatif pemerintah tersebut, parliamentary threshold tertulis 3,5 persen. Ketentuan ini sama dengan yang dipakai dalam pemilu legislatif 2014 lalu.

Parliamentary threshold (PT) adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR. Pada pileg 2014, PBB dan PKPI, tidak bisa mendudukkan kadernya di DPR karena tak memenuhi ambang batas tersebut.

Aspirasi agar secara alamiah, jumlah parpol berkurang, antara lain datang dari Golkar. Partai yang pada pemilu 2014 meraih suara 14,75 persen ini, menginginkan PT 10 persen. Alasannya, adalah pengurangan jumlah partai di parlemen merupakan keniscayaan. Hal tersebut, harus dilakukan untuk penguatan sistem demokrasi dan penyederhanaan proses pengambilan keputusan politik.

Sementara NasDem, partai debutan pada pemilu 2014 menghendaki PT sebesar 7 persen. Alasannya nyaris serupa dengan Golkar. Pengurang jumlah fraksi di DPR adalah untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif.

Keinginan mengurangi jumlah partai, sesungguhnya koreksi positif atas euforia politik setelah tumbangnya Orde Baru. Reformasi telah memilih sistem multipartai. Alasannya untuk mengakomodasi dan memperjuangkan kepentingan politik masyarakat yang bermacam-macam latar belakang kepentingan.

Namun kenyataannya, nyaris dua dasawarsa, sepuluh partai tersisa tetap tidak mampu mewakili aspirasi publik. Parpol (dan anggota legislatif) masih terjebak dalam permainan kepentingan tingkat elite yang mereka ciptakan sendiri, sehingga lupa terhadap tugas utamanya sebagai penyalur aspirasi rakyat.

Pengurangan jumlah partai melalui peningkatan PT, adalah cara sportif dan konstitusional. Berapa jumlah partai yang ideal untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif? Itulah yang seharusnya bisa terjawab dalam pembahasan PT.

Usulan NasDem bisa jadi obyektif. Sebab NasDem bukan parpol yang mendapatkan keutungan atas usulan tersebut. Partai ini pun harus berjuang keras agar bisa memenuhi PT 7 persen. Pada pemilu 2014, partai yang didirikan Surya Paloh ini memperoleh suara 6,72 persen.

Bila usulan NasDem diterima, diperkirakan parpol yang bisa mengisi kursi legislatif hanya tersisa 6 partai. Perhitungan ini bila diilustrasikan dengan hasil pileg 2014. Saat itu partai dengan perolehan suaranya di atas 7 persen adalah: PDIP 18,95 persen; Golkar 14,75 persen; Gerindra 11,81 persen; Partai Demokrat 10,19 persen; PAN 7,59 persen dan PKB 9,04 persen.

Konsekuensi peningkatan PT, sesungguhnya bukan hanya jumlah partai saja yang berkurang, tapi juga sejumlah suara yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR. Pada pemilu 2009 jumlah suara yang hilang dari partai-partai kecil akibat ambang batas 2,5 persen saja sudah lebih dari 13 juta suara. Sedang pada pemilu 2014, dengan PT 3,5 persen, lebih dari 3 juta, yaitu perolehan suara PBB dan PKPI.

Jika pada pemilu 2019 PT jadi 7 persen, bila disimulasikan perolehan suara pemilu 2014, bakal lebih dari 30 juta suara yang tidak terkonversi menjadi kursi legislatif. Suara itu berasal dari PKS, PPP, NasDem dan Hanura.

Apa pun, risiko yang ditanggung atas upaya pengurangan jumlah parpol memang seharusnya diterima. Sebab selama ini dari parpol yang ada, hanya sedikit yang bisa melaksanakan tanggung jawabnya sesuai UU Parpol, yaitu menyiapkan kader sebagai pemimpin, misalnya. Ini terlihat dalam pilkada, banyak parpol yang tidak punya kader yang siap diusung menjadi calon kepala daerah.

Padahal fungsi parpol dalam demokrasi, berbangsa dan bernegara sangat strategis. Semua permasalahan bangsa diputuskan oleh pemerintah dan parpol. Sayangnya, masih banyak parpol yang belum bisa sepenuhnya berkonsentrasi untuk memikirkan kepentingan bangsa.

Maklum saja banyak parpol yang belum mandiri dalam pendanaan. Akibatnya partai lebih banyak berpikir untuk menghidupi dirinya sendiri. Selama ini pemerintah memang membantu keuangan partai. Wujud bantuan keuangan ke partai politik, pemerintah mengalokasikan dana bantuan sebesar Rp108 per suara.

Bantuan tersebut tentu sangat kecil jumlahnya. Seperti PDIP misalnya, pada pemilu 2014, partai ini meraup 23,6 juta suara, karenanya bantuan didapatkan sebanyak Rp2,5 miliar setiap tahunnya. Apa lagi untuk partai menengah seperti PAN. Dengan perolehan suara 9,4 juta suara, partai ini mendapat bantuan Rp1 miliar per tahun. Padahal untuk operasional partai sampai ke daerah PAN butuh setidaknya Rp50 miliaran setahun.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pernah mencoba menghitung jumlah bantuan ideal untuk parpol. Besarnya diperkirakan 60 kali dari yang sudah diberikan saat ini.

Penelitian Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, juga merekomendasikan pemerintah untuk mendanai parpol sampai 80 persen kebutuhan partai. Dengan pendanaan seperti itu parpol baru akan bisa lebih total bekerja untuk kepentingan rakyat.

Pendanaan parpol oleh pemerintah menjadi relevan bila dikaitkan dengan pengurangan jumlah parpol melalui PT. Pemerintah cukup mendanai sedikit partai, sedang kompensasinya antara lain, parpol harus benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Selain itu, parpol juga harus lebih transparan melaporkan dana pemerintah tersebut.

Dengan begitu tujuan mengurangi parpol untuk penguatan sistem demokrasi, penyelenggaraan ketatanegaraan dan pemerintahan yang efektif, akan tercapai.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...stem-demokrasi

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Tudingan Jessica pada pembelaan terakhirnya

- Temulawak dan tolak angin RI-1

- Desainer Barli Asmara: Presiden butuh konsultan fashion

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
3.6K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread733Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.