BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Peluang yuan menjadi alat ukur baru rupiah

Petugas menunjukkan uang dolar US dan uang rupiah di tempat penukaran uang di kantor PT Valuta Inti Prima, Jakarta, Jumat (11/11/2016).
Kiblat nilai tukar rupiah berubah. Presiden Joko Widodo (Widodo) mengutarakan pemikirannya tentang menggunakan yuan Tiongkok sebagai alat ukur nilai tukar rupiah dalam tiap transaksi internasional.

Hal ini tentu saja menggeser dolar Amerika Serikat (USD) yang selama ini selalu menjadi acuan perdagangan yang melibatkan Indonesia dengan negara lain.

Jokowi punya alasan. Pertama, dengan adanya dinamika politik pasca-terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, membuat pelemahan terjadi di hampir seluruh mata uang dunia, tak terkecuali rupiah.

Oleh karenanya, Jokowi menilai kurs dolar AS sebenarnya sudah tidak lagi mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Dan kondisi menjadi tidak menguntungkan Indonesia.

"Kalau diukur dengan dolar (AS), kita akan terlihat jelek. Padahal ekonomi kita oke-oke saja," ujar Jokowi seperti yang dilansir Republika, Selasa (6/12/2016).

Kedua, ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang porsi 10-11 persen dari total ekspor Indonesia. Angka ini lebih kecil dibanding porsi ekspor ke Tiongkok sebesar 15,5 persen, Eropa dengan porsi 11,4 persen, dan Jepang 10,7 persen.

"Amerika hanya 10 persen. Jangan sampai angka 10 persen ini mendominasi persepsi ekonomi kita," Jokowi.

Ketiga, menurut Jokowi, rupiah terlihat lebih perkasa bila dipersepsikan dengan mata uang tersebut. Ia menekankan, pandangan soal nilai tukar yang tak lagi mengacu pada dolar AS ini terbilang penting untuk edukasi masyarakat, agar masyarakat dan pasar tak lagi memantau sebatas dolar AS saja.

"Yang relevan adalah kurs rupiah melawan kurs mitra dagang kita, mitra terbesar kita Tiongkok," lanjutnya. Pilihan Jokowi itu juga merujuk kepada yen Jepang, dan euro Eropa.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan keinginan Jokowi untuk menahan persepsi rupiah terhadap dolar AS bukan berarti mengganti acuan yang selama ini sudah terbentuk.

"Presiden bilang dipelajari kalau relevan. Bukan berarti ditukar. Artinya, kurs mata uang kita dengan Tiongkok mestinya memang berdasarkan transaksi ekonomi kita dengan Tiongkok, baik ekspor atau impor," ujar Darmin.

Darmin pun beranggapan, meski secara porsi ekspor Indonesia ke AS terbilang lebih kecil dibanding ekspor Indonesia ke Tiongkok, tetapi kondisinya ekspor Indonesia ke AS masih surplus. Hal ini berbeda dengan ekspor Indonesia ke Tiongkok yang trennya menunjukkan ke arah defisit.

Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung, mengatakan bank sentral sebenarnya sudah menyiapkan infrastruktur perjanjian bilateral nilai tukar mata uang (bilateral currency swap agreement/BCSA) untuk meredam ketergantungan pada dolar AS.

Bank Indonesia juga mempertimbangkan nilai tukar berdasarkan kerjasama perdagangan.

Penggunaan mata uang non-dolar AS dalam kerjasama perdagangan baru dilakukan dengan beberapa negara. Kebijakan ini bergantung pada ketersediaan bank penyedia layanan swap.

Bank sentral sudah menjalin kerjasama pertukaran mata uang dengan Korea Selatan pada 2015 sementara dengan Tiongkok mulai 2010. Perjanjian dengan Tiongkok diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/6/PBI/2010 tentang Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia.

Saat ini, menurut Juda, permintaan valuta asing korporasi menurun sejak BI mewajibkan penggunaan rupiah dalam transaksi dalam negeri. Ketika terjadi aliran dana keluar investor asing, investor domestik justru menyuplai valas. Transaksi valas dalam negeri menurun dari USD8 miliar menjadi USD1-1,5 miliar.

Namun, keinginan Jokowi ini membawa kekhawatiran bagi pengamat ekonomi, Yanuar Rizky. Dengan beralihnya acuan dari dolar AS ke Yuan, lanjut Rizky, diibaratkan seperti keluar dari mulut harimau masuk ke mulut serigala.

"Kita tidak steril, karena Yuan juga sedang dihajar habis-habisan swap currency-nya oleh dolar AS," sebut Yanuar dalam KOMPAScom. Kalau pun keinginan tersebut diterapkan, harus ada kesepakatan antar negara. Namun, lagi-lagi jika ini diterapkan akan menimbulkan kerugian tersendiri bagi Indonesia.

"Peralihan itu soal kesepakatan, akan ada banyak tantangan. Kalau sekarang dilakukan, Tiongkok juga sedang dalam tantangan berat. Saya khawatir pada akhirnya kita terkena turbulensinya yuan," tandas Yanuar.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...ur-baru-rupiah

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Sari Roti di tengah hiruk pikuk aksi 212

- Siapa penyandang dana upaya makar?

- Tiga aksi, menggerus Rp78 miliar, mendulang 211 ton sampah

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
11K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread731Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.