Pernah nonton film Minggu Pagi di Victoria Park? FIlm yang disutradarai Lola Amaria ini memang menceritakan tentang kerasnya kehidupan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong.

Pekerjaan buruh migran mencari rezeki di luar negeri emang bukan pekerjaan yang asing lagi. Salah satunya pengalaman Eni Lestari Andayani Adi. Dia adalah salah satu tenaga kerja wanita (TKW) asal Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang bekerja di Hong Kong. Emang nggak sedikit orang-orang yang memandang TKW itu sebelah mata. Tapi buat orang-orang di daerah yang nggak kerja alias nganggur, mereka menganggap kerja di luar negeri itu lebih enak daripada di luar negeri, lebih menghasilkan dan banyak uangnya. Seengganya punya kerjaan.

TKW biasanya bekerja di sektor informal, biasanya kerja jadi asisten rumah tangga atau kerja di pabrik-pabrik. Eni saat itu berangkat ke Hong Kong di tahun 1999 untuk bekerja jadi asisten rumah tangga.

Eni terpaksa meninggalkan Tanah Air, karena krisis tahun 1997/1998 membuat kedua orang tuanya berhutang. Orang tua Eni hanya pedagang kecil, sehingga tidak memiliki dana yang cukup untuk menyekolahkan putri sulung mereka ke bangku kuliah.



Waktu itu, dia juga nggak tahu sama sekali tentang hak-hak apa yang seharusnya dia dapetin sebagai buruh migran. Saat masih di tempat penampungan, Eni juga mengaku dieksploitasi. Dia juga hanya mendapat upah standar dan nggak pernah libur. Bahkan ia nggak bisa ngelawan karena paspor ditahan oleh agen penyalur.

Waktu dia ditempatin di Hong Kong, gajinya dipotong dengan alasan biaya penempatan. Majikannya juga nggak ngasih dia makan dan tempat tidur yang layak. Akibat tidak tahan dengan perlakuan majikannya selama 6 bulan, akhirnya Eni kabur dan memperjuangkan haknya sampai menang di pengadilan.

Setelah itu, Eni ditampung di shelter Bethune House dan mulai mengorganisasi diri bareng sama buruh migran dari Indonesia. Di tahun 2000, akhirnya Eni dan teman-temannya membangun Asosiasi Buruh Migran Indonesia (ATKI-HK) dan jadi ketuanya selama 10 tahun.



Sejak tahun 2008 sampai sekarang, Eni terpilih jadi ketua International Migrants Alliance (IMA), aliansi global pertama yang mengumpulkan migran dan pengungsi di 32 negara. IMA selama ini aktif menyuarakan suara migran dan pengungsi di berbagai forum regional dan internasional.

Selain itu, Eni juga menjabat di berbagai organisasi serta jaringan sebagai koordinator Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR); pengurus JBMI; juru bicara Asian Migrants Coordinating Body (AMCB) yang merupakan aliansi organisasi migran dari Nepal, Srilanka, Thailand, Filipina dan Indonesia; Focal Person Migration Organizing Committee, Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (APWLD); bekas anggota dewan pendiri Global Alliance Against Trafficking of Women (GAATW), serta juru bicara Campaign for People's Goals for Sustainable Development (CPGSD).

Eni juga aktif menjadi pembicara di forum-forum akademisi, agama, masyarakat umum, bahkan PBB dan berbagai kalangan yang membahas masalah kondisi migran dan pembangunan.


Berkat aktivitasnya di IMA, Eni diundang berpidato dalam sesi pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Migran dan Pengungsi (High Level Summit on Migrant’s and Refugees) ke-71 di New York, Amerika Serikat, pada 21 September 2016. Ia berpidato di hadapan 1.900 hadirin, yang terdiri dari kepala negara seperti Presiden Amerika Barack Obama, menteri, pemimpin PBB, masyarakat sipil, sektor swasta, organisasi internasional, dan akademisi.