Rimanews – Satuan tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) yang diresmikan pemerintah pada akhir Oktober lalu memberikan secercah harapan untuk memberantas berbagai kutipan ilegal yang menjamur dan mencekik masyarakat.
Pungli identik dengan korupsi berskala kecil yang dilakukan oleh oknum pejabat kecil dengan sasaran rakyat kecil. Sementara itu, praktik korupsi berskala lebih besar kerap ditangani KPK. Baik kecil maupun besar, nilai korupsi sama-sama merusak sistem dan menistakan tujuan berbangsa dan bernegara.

Saat Saber Pungli ini dibentuk, sebagian orang pesimistis jika satgas ini bakal bekerja efektif mengeliminasi praktik haram yang seolah sudah menjadi bagian dari sistem birokrasi kita: oknum petugas Dishub sudah biasa menerima kutipan dari pengendara, pegawai di kelurahan dengan mudahnya minta uang rokok kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan, oknum Polantas terbiasa menerima suap dari pelanggar lalu lintas. Apalagi jika terlibat mengurus perizinan (di semua instansi pemerintahan), pungli seolah sudah menjadi hukum.

Masyarakat pun tidak ada yang berani protes, atau unjuk rasa besar-besaran menolak penistaan terhadap hukum ini.

Oleh karena itu, sebagian pihak meragukan prakarsa tersebut. Ketidakyakninan ini muncul karena melihat anggota satgas yang didominasi unsur dari Polri dan Kejaksaan. Mereka menilai instansi tersebut justru menjadi sarang terjadinya aneka jenis praktik pungli.

Akan tetapi, terutama sebagai warga negara, kita patut mengapresiasi pemerintahan Jokowi yang setidaknya mau terbuka untuk mengakui bahwa pungli sudah menjadi seperti nyamuk yang berada di mana-mana dan harus dilakukan fogging—meskipun lingkungan tempat tinggal tukang fogging sendiri belum tentu bebas nyamuk.

Gara-gara satgas pungli, setidaknya bakal membuat pelaku berpikir tujuh kali untuk melakukannya secara terang-terangan seperti yang sudah-sudah. Kita belum melihat hasilnya dalam skala luas, tapi beberapa oknum sudah mulai terkena jaring satgas pungli ini.

Kita lihat misalnya penangkapan petugas imigrasi yang melakukan pungutan liar di Kantor Imigrasi Kelas 1 Yogyakarta. Petugas Imigrasi berinisial BDP tertangkap dengan barang bukti uang tunai Rp 11.550.000 pada OTT, pada 4 November. Uang tunai tersebut bersumber dari dana pengurusan paspor. Penangkapan tersebut berdasarkan dari laporan masyarakat. BDP adalah pejabat setingkat Kepala Seksi (Kasi).

BDP, sebagaimana terjadi di beberapa imigrasi, menggunakan orang lain untuk meminta uang haram. Setelah terkumpul banyak barulah disetor ke Oknum Berinisial BDP tersebut.

Teranyar adalah Kepala Unit di Direktorat Tipidkor Bareskrim Polri AKBP Brotoseno, yang terjaring operasi. Perwira yang sempat tenar karena disebut-sebut dekat dengan Angelina Sondakh itu ditangkap saat melakukan pemerasan terhadap seorang tersangka cetak sawah di sebuah BUMN tahun 2012 yang kasusnya tengah diproses. Barang bukti yang disita dari mantan penyidik KPK itu antara lain uang senilai Rp3 miliar.

Tertangkapnya Brotoseno memberikan harapan bahwa polisi pun bisa menangkap polisi. Artinya, masih ada harapan bahwa penegak hukum tidak pilih kasih. Kita patut optimis dalam hal ini bahwa Saber Pungli bisa berkolaborasi dengan KPK dan penegak hukum lainnya untuk mewujudkan cita-cita Indonesia bebas korupsi.

Jika korupsi terjadi, sendi-sendi pembangunan akan digerogoti oleh praktik keji ini dan pemerintah tak 100% bisa menentukan kebijakannya karena setiap pengambil keputuasan dapat saja diarahkan oleh para penyuap. Maka, wajar dikatakan bahwa korupsi adalah salah satu musuh utama pembangunan dan pemerintahan. Oleh sebab itu, korupsi sekecil apa pun harus ditangani secara serius, termasuk pungli ini.

Sumurrr

Mantap pake de