Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uciiinAvatar border
TS
uciiin
Mengingat Gubernur Ke - 9 Djakarta, Bung Ali
Mengingat Gubernur Ke - 9 Djakarta, Bung Ali
Kali ini kami ingin mengangkat kembali wawancara yang dimuat Majalah MATRA dengan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta yang legendaris. Banyak orang kini mengenal Ali Sadikin hanya sebatas nama saja, tapi tidak mengetahui kiprah dan pemikirannya. Arsip wawancara ini kami pilih untuk diangkat kembali karena bisa menceritakan sosok dan pemikiran Bang Ali secara cukup komprehensif namun ringkas.

Membaca kiprah, pemikiran, keteguhan dan terobosan-terobosan yang pernah dibuat lelaki kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 ini, pasti menerbitkan decak. Sejumlah gubernur penggantinya pernah disebut sebagai “penerus Ali Sadikin”, yang menandai bagaimana dikenangkannya periode kepemimpinan si kepala suku kelompok Petisi 50 ini. Namun, roda waktu membuktikan bahwa cap itu kebanyakan hanya isapan jempol belaka. Sementara ini, hanya ada satu Ali Sadikin. Legendanya belum tergantikan. Dan legenda itu tak akan bisa digantikan, apalagi oleh sekadar “realitas kosmetik” dari para pemimpin yang dilambungkan dan dibesarkan oleh media.

Masakan lezat tidak pernah kelebihan bumbu. Dan jejak Ali Sadikin adalah contoh masakan yang tak kelebihan bumbu itu. Selamat menikmati sajian arsip pilihan kami. (Soedoet Pandang)

 

Pertemuan dengan Ali Sadikin pertama kali terjadi pada acara pemakaman kakak iparnya Ny. Djoewariah Sadikin binti Atma­dinata. Mengenakan batik lengan panjang berwarna kebiruan dan peci hitam, wajah bekas gubernur DKI yang terkenal keras ini terlihat lelah kurang tidur. Sejak dirawat di rumah sakit, Bang Ali—begitu panggi

Ketika kami datang kebetulan ada tukang pos yang mengantarkan setumpuk surat yang ditujukan kepada Ali Sadikin. “Setiap hari ada saja surat yang datang. Biasanya lebih banyak dari ini,” ujar Imam Maliki, 27 tahun, sopir pribadi Ali Sadikin, yang kebetulan berada di pos penjagaan.

 

Berapa banyak  surat yang Anda terima setiap hari?

Paling, sehari, belasan surat. Dulu lebih banyak. Sekarang sedikit.

 

Dari siapa saja?

Nggak tentu. Paling banyak dari orang yang meminta bantuan atau saran. Malah, kadang masalahnya nggak ada hubungannya dengan saya. Misalnya, baru-baru ini saya mendapat surat dari seorang anggota Yayasan Keluarga Adil Makmur (YKAM—Red).

 

Bang Ali masuk ke ruang dalam dan keluar dengan membawa sebuah surat. Surat itu lalu diberikannya kepada MATRA. Surat yang diketik itu antara lain berbunyi “… Dengan anggapan bahwa Bapak seorang tokoh ma­syarakat yang berpengaruh dan memikir­kan rakyat kecil, saya mohon dapat kiranya Bapak menerima permasalahan di bawah ini…” Isinya, pengirim surat tersebut berharap agar dia dan ribuan bekas anggota YKAM lainnya, dapat menerima kembali uang yang sudah mereka setorkan, yang dimanipulasikan oleh Yusuf Handy Ongkowijoyo, ketua yayasan itu. Tahun lalu pengirim surat itu beserta kawan-kawannya berusaha ke DPR, namun belum berhasil. Dia lalu mengatakan niatnya untuk datang dan meminta saran Ali Sadikin.

 

  

 




 

Dana untuk fasilitas itu dari judi ya?

Ya, antara lain dari judi.

 

Walau mereka ternyata suka mengkritik Anda sebagai gubernur?

Kalau tidak mau dikritik jangan jadi gubernur, jangan jadi walikota. Mereka itu kan  tokoh masyarakat. Kalau pejabat negara tidak mau dikritik, jangan jadi. Jadi saja rakyat bia­sa. Sebab, itulah konsekuensinya kalau orang menjadi tokoh. Dia harus mau dan siap dikritik. Jangan mau enaknya saja dong! Mereka toh bukan malaikat yang tidak membuat kesalahan.

 

Anda pernah merasa tersinggung oleh kritik yangdilontarkan?

Buat apa tersinggung? Kalau nggak mau dikritik, jangan jadi pejabat dong. Kan maksudnya baik itu. Jangan sampai Jakarta dijadikan kota maksiat.  Cuma, selanjutnya, bagaimana saya bisa mengontrol kegiatan itu.

 
… waktu tanah untuk kuburan kurang dan biaya penguburan menjadi begitu mahal. Dengan santai saya bilang bakar saja itu mayat-mayat. Padahal, saya tahu, dalam agama Islam tidak boleh. Kontan masyarakat ribut. Saya diam saja, menunggu reaksi. Tak lama kemudian Buya Hamka datang. Dia bilang jangan dibakar, karena dilarang agama. Karena ini negeri tropis, kata Buya, dalam waktu enam bulan mayat akan hancur. Jadi, tumpang tindih saja. Saya setuju. Lalu saya umumkan mayat itu ditumpang saja. Bukan enam bulan, tapi setelah tiga tahun. Nah, saya kan dianggap gubernur yang baik. Soalnya Buya Hamka bilang enam bulan, saya tambah  menjadi tiga tahun, ha… ha… ha.

 

Bagaimana cara Anda mengontrolnya?

Kan ada dinas ketertiban dan keamanan. Daripada pramuria bergentayangan di mana-mana. Dulu, tahun 1965-an, cari pramuria di Jakarta kan gampang. Mereka seliweran di jalan-jalan dengan becak. Orang menyebutnya “becak komplit”, ha… ha… ha. Si abang becak dan pramurianya jadi satu tim. Mereka keliling Jakarta. Jadi kan kotor kota ini. Malu saya. Saya lalu ke Singapura, Manila, Bangkok, kota-kota “industri seks”. Tapi di sana saya tidak melihat pramuria-pramuria di jalan. Ternyata, mereka ditampung di lokalisasi.

 

Jadi, Kramat Tunggak itu peninggalan Anda juga?

Iya, Kramat Tunggak saya punya tuh, ha… ha. Kalau sekarang mereka diusir, sebenarnya bukan salah penghuni Kramat Tunggak. Itu karena penduduk lain yang mulai berdatangan dan tinggal di sekitar situ. Dulu di situ khusus lokalisasi, jauh dari warga masyarakat, jadi bisa dikontrol. Kriminalitas juga tidak menyebar ke mana-mana, cuma di situ saja, jadi mudah diatasi. Itu gagasan dari Bangkok.

 

Anda tampaknya bangga sekali sebagai Gubernur DKI?

Ya, dong! Dulu dalam pidato-pidato, saya suka bilang: di Jakarta ini banyak jenderal, tapi yang jadi gubernur cuma satu. Ada banyak menteri, tapi gubernurnya cuma satu. Siapa? Ali Sadikin! Saya kan wakil pusat yang sekaligus juga mewakili rakyat. Saya kan gubernur kepala daerah yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat. Tapi, saya juga dipilih oleh rakyat. Jadi, ada saatnya saya marah-marah kepada rakyat, ada sekali-sekali saya marah juga kepada pemerin­tah pusat. Jadi ada dua fungsi.

 

Sebagai gubernur, dulu, apakah Anda selalu minta pengarahan kepada atasan sebelum mengambil satu ke­bijaksanaan?

Tidak pernah. Bahkan waktu saya memutuskan untuk mengizinkan judi di Jakarta, saya putuskan sendiri. Saya tinggal datang untuk melaporkan bahwa saya butuh duit. Pemerintah pusat tidak punya duit. Pemda juga tidak punya duit. Sementara di luaran, di masyarakat, banyak uang yang bisa diperoleh melalui judi. Saya juga tidak minta izin DPRD. Sebab, saya berkeyakinan, kalau waktu itu saya meminta izin, dan izin saya peroleh, lembaga itu akan dicaci  maki masyarakat.

 

Jadi, biar yang kena caci maki Bang Ali sendiri?

Benar. Saya ingin agar kalau disalahkan, sayalah yang bertanggung jawab. Ali Sadikin yang salah. Di sini prinsip leadership. Jadi, hanya ada satu orang yang harus dipersalahkan. Tapi, seiring dengan itu, dia juga harus satu-satunya orang yang mempunyai kekuasaan.

 

Ketika baru diangkat sebagai gubernur, dua hari saya keliling Jakarta naik bis kota. Hujan-hujan saya ikut berdesak-desakkan dengan penumpang bis. Di situ baru saya tahu betapa runyamnya masalah transportasi ini. Dulu kan tidak ada sistem.

 

Soal keputusan Anda mengizinkan judi kan banyak ditentang?

Oo, ya. Saya mengakui bahwa judi itu  haram. Agama apa pun mengatakan begitu. Tapi judi ini kan saya atur hanya untuk kalangan tertentu. Orang-orang yang dalam way of life mereka tak bisa hidup tanpa judi. Dan untuk itu mereka pergi ke Macao. Nah, saya pikir, untuk apa mereka menghambur-hamburkan uang di Macao. Lebih baik untuk pembangunan Jakarta saja. Dan, waktu itu saya jelaskan bahwa DKI memerlukan dana untuk membangun jalan, sekolah, puskesmas, pasar dan lain-lain. Tapi, yang tidak setuju toh tetap ada. Kepada mereka, saya bilang: “Bapak-bapak, kalau masih mau tinggal di Jakarta, sebaiknya beli helikopter. Karena jalan-jalan di DKI dibangun dengan pajak judi.” Nah, cara semacam itu, yang membuat orang kemudian  tertawa, yang biasa saya pakai.

 

Jadi tidak selamanya harus keras?

Tidak. Misalnya, waktu tanah untuk kuburan kurang dan biaya penguburan menjadi begitu mahal. Dengan santai saya bilang bakar saja itu mayat-mayat. Padahal, saya tahu, dalam agama Islam tidak boleh. Kontan masyarakat ribut. Saya diam saja, menunggu reaksi. Tak lama kemudian Buya Hamka datang. Dia bilang jangan dibakar, karena dilarang agama. Karena ini negeri tropis, kata Buya, dalam waktu enam bulan mayat akan hancur. Jadi, tumpang tindih saja. Saya setuju. Lalu saya umumkan mayat itu ditumpang saja. Bukan enam bulan, tapi setelah tiga tahun. Nah, saya kan dianggap gubernur yang baik. Soalnya Buya Hamka bilang enam bulan, saya tambah  menjadi tiga tahun, ha… ha… ha.

Saya sering melemparkan isu-isu dengan harapan masyarakat ikut memikirkan. Begitu ada jalan keluar yang  baik, saya ambil. Biasanya selalu diiringi caci maki. Tapi tidak apa. Toh, ini juga dalam rangka agar masyarakat juga merasa ikut memiliki Jakarta. Karena, 70 persen penduduk Jakarta ini pendatang.

 

Anda juga sering “turun” ke masyarakat?

Sudah tentu. Ketika baru diangkat sebagai gubernur, dua hari saya keliling Jakarta naik bis kota. Hujan-hujan saya ikut berdesak-desakkan dengan penumpang bis. Di situ baru saya tahu betapa runyamnya masalah transportasi ini. Dulu kan tidak ada sistem. Dari melihat inilah kemudian lahir shelter-shelter, terminal bus. Soalnya dulu kalau antre nunggu bis, masyarakat kepanasan dan kehujanan.

 

Anda yang menciptakan sistem terminal?

 Ya, dong. Itu terminal di Lapangan Banteng, Blok M, Cililitan, Pulogadung, Grogol, itu kan zaman saya. Jembatan penyeberangan juga. Waktu ikut berdesak-desakkan saya juga merasakan tidak enaknya. Bau! Saya lalu ke Bappenas. Saya bilang, saya perlu bis. Akhirnya, saya mendapat bantuan dari Amerika.

Kalau sebagai menteri, misalnya, rencana yang kita canangkan tidak bisa langsung diwujudkan karena dananya dari pusat, yang belum tentu ada. Kalau gubernur kan tidak. Saya punya rencana, saya cari sendiri dananya, langsung saya wujudkan.

 

Dalam menjalankan tugas sebagai gubernur, dulu Anda suka bersikap keras. Misalnya, memakidengan  kata-kata “bodoh, Tolol…” Bahkan dengan menempeleng. Apa begitu seharusnya memimpin Jakarta?

Ah, itu gaya saya saja. Kalau saya marah lalu saya bilang, “bodoh! Sontoloyo!” kan orang-orang yang mendengarnya jadi senang. Dulu kalau melihat ada polisi yang tidak benar, atau sopir yang ugal-ugalan, saya turun dari mobil lalu tangan ini langsung melayang. Juga kalau ada copet. Atau calo yang kepergok saya. Tapi sampai di rumah sebenarnya saya merasa kasihan juga. Besoknya calo itu saya panggil. Saya tanya, pekerjaan kamu apa. Dia bilang tidak ada. Nah, sana kamu saya jadikan tukang parkir.

 



Anda setuju emansipasi?

Setuju dong. Itu memang pantas. Menurut agama Islam, tak ada perbedaan antara wanita dan pria. Cuma masing masing harus tahu akan kodratnya. Ya laki-laki itu kepala keluarga, wanita itu istri dan ibu anak-anak.

 

Kalau emansipasi seperti diperjuangkan Womens Lib di Barat?

Wah, nggak benar tuh. Itu menghilangkan kodrat wanita dari Allah. Kita punya tanggung jawab meneruskan keturunan kita. Jadi, dari segi ini, posisi wanita penting sekali. Ikut menentu­kan. Bahwa wanita ingin punya profesi, ilan. Gaji kapten marinir waktu itu berapa sih, ha… ha…

Dari ruang tengah kami kembali ke ruang tamu. Di dinding ruangan tersebut, persis di atas kursi tamu, tergantung foto Bung Karno dan Bung Hatta

Orang yang sebelumnya benci, begitu bertemu dan bergaul dengan Bung Karno, pasti berbalik mengaguminya. Soalnya kita dianggap sebagai manusia yang sama derajatnya. Kita tidak kikuk berhadapan dengan dia. Tidak ada rasa takut. Pokoknya bisa bebas. Caranya juga enak  gitu. Tidak harus resmi-resmian. Kalau kita ketemu di resepsi, dan dia merasa sudah lama nggak bertemu, dia datang menghampiri dan kasih tangan. “Apa kabar kamu?”

 

Anda hanya menggantung foto Bung Karno dan Bung Hatta.

Ya. Mereka Proklamator. Bapak Bangsa.

 

Yang Anda kagumi dari Bung Karno?

Dia berhasil menyatukan bangsa. Saya kagum, tapi saya tidak menutup mata, telinga dan perasaan. Dia juga punya kesalahan. Tapi, kalau dihitung-hitung lebih banyak jasanya ketimbang kesalahannya.

 

Semasa menjadi menteri atau gubernur, Anda pernah membantah Bung Karno?

Oh, pernah. Waktu saya menjadi menteri. Mertuanya punya keperluan dan saya disuruh membantunya. Setelah saya periksa, semua ketentuan  yang berkaitan dengan permohonan itu, saya bilang sama Bung Karno, menurut ketentuan, ternya­ta tidak boleh tuh? Bung Karno menjawab, ya sudahlah, kalau ketentuannya tidak membolehkan.

 

Bung Karno tidak marah?

Nggak tuh. Dia malah bilang, “Baik Ali. Baik.”

 

Bagaimana ceritanya sampai Anda dipilih Bung Karno sebagai gubernur DKI?

Menurut Pak Leimena (salah seorang Wakil Perdana Menteri di zaman Bung Karno—Red), yang waktu itu ikut dalam proses pembicaraan soal gubernur, ada empat nama yang diajukan. Semua nama ditolak oleh orang tua ini (tangannya menujuk ke foto Bung Karno di dinding). Kata Bung Karno, Jakarta membutuhkan seorang yang keras kepala, orang yang berani. Kemudian Pak Leimena nyeletuk, Oh, kalau begitu Bung membutuhkan orang seperti Ali Sadikin.” Bung Karno kontan setuju. “Panggil dia besok,” ujar Bung Karno. Prosesnya begitu saja.

 

Secara pribadi Anda akrab dengan Bung Karno?

Tidak begitu akrab. Kalau perlu saja baru saya bertemu Bung Karno. Saya tidak pernah jadi murid Bung Karno. Karena waktu revolusi saya ada di sekitar Pekalongan. Setelah pengakuan kedaulatan, saya di Surabaya. Kalau ada orang tanya apakah saya murid Bung Karno?  Tidak. Cuma, saya mengerti saja. Tahu jalan pikiran Bung Karno.

 

Apa kehebatan Bung Karno yang Anda rasakan?

Kemanusiaannya. Orang yang sebelumnya benci, begitu bertemu dan bergaul dengan Bung Karno, pasti berbalik mengaguminya. Soalnya kita dianggap sebagai manusia yang sama derajatnya. Kita tidak kikuk berhadapan dengan dia. Tidak ada rasa takut. Pokoknya bisa bebas. Caranya juga enak  gitu. Tidak harus resmi-resmian. Kalau kita ketemu di resepsi, dan dia merasa sudah lama nggak bertemu, dia datang menghampiri dan kasih tangan. “Apa kabar kamu?”

 

Bung Karno sendiri bilang Anda orang keras.Benarkah?

Nggak tahu.  Apa kelihatannya begitu? Kalau ngomong memang keras.  Tapi itu memang sifat saya. Orang mengira saya pemarah. Keras itu memang sifat saya. Lha, mau apa lagi, masak mau pura-pura?!

 


Kabarnya Anda dulu memang suka main telepon menteri. Konon Anda yang pertama kali berani menelpon Sultan Hamengkubuwono IX, WakilPresiden RI waktu itu?

Oh, ya. Waktu itu hanya Presiden yang belum saya coba telepon untuk urusan urusan dinas, ha… ha…

 

Ali Sadikin melirik jam di pergelangan tangannya. Di luar, sinar matahari sore yang lembut menembus dari celah-celah pohon rindang di halaman depan. Kamipun pamit, setelah berjanji akan bertemu lagi untuk pemotretan Sabtu mendatang.
Diubah oleh uciiin 17-11-2016 04:07
0
2.6K
21
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.