Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

wowo.jonggrangAvatar border
TS
wowo.jonggrang
Aksi 4 November Dan Polemik Fatwa MUI
Aksi 4 November & Polemik Fatwa MUI


Aksi 4 November Dan Polemik Fatwa MUI

Metrotvnews.com, Jakarta: Sekira 200 ribu orang tumpah ke jalan. Sejak pagi pada Jumat 4 November, massa dari banyak organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam itu merapat ke Ibu Kota. Sebagian dari mereka menamakan diri Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI). Tentu saja, fatwa yang dimaksud adalah terkait dugaan penistaan Alquran dan ulama oleh calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama.


Fatwa, yang dalam kasus ini lebih bersifat ‘pendapat dan sikap keagamaan MUI’ itu diterbitkan secara khusus guna merespon dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki alias Ahok saat ia berpidato di Kepulauan Seribu, Jakarta pada Selasa, 27 September 2016. Dalam pidatonya, Ahok mengatakan lebih senang jika warga memilihnya atas dasar pertimbangan kinerja, bukan atas nama suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ahok dianggap melukai perasaan Muslim karena melengkapi pidatonya dengan kutipan Surat Al-Maidah ayat 51.


Aksi 4 November Dan Polemik Fatwa MUI


Reaksi pun muncul. Aksi unjuk rasa sebagian ormas Islam tidak cuma dilakukan sekali saja. Tiga hari setelah edaran MUI tersebut diterbitkan pada 11 Oktober 2016, ribuan massa menggeruduk Balai Kota DKI Jakarta. Merasa tak cukup, pengerahan massa dilakukan jauh lebih besar pada dua pekan berikutnya, Jumat, 4 November 2016. Aksi yang mulanya berlangsung tertib dan damai itu berakhir dengan kericuhan.


“Kelompok penyusup tidak senang aksi berjalan damai," kata GNPF-MUI Bachtiar Nasir di Restoran Dua Pulau, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (5/11/2016).


Kontroversi menistakan


Tidak seluruh ormas Islam bersepakat turun ke jalan. Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah lebih mempercayakan urusan ini kepada para penegak hukum. Pro-kontra serupa tidak pula hanya bertaut pada persoalan pengerahan masa, namun juga pada kategori menistakan agama atau tidak.


Tokoh senior Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif misalnya. Ia berpendapat, tidak ada sama sekali nuansa pelecehan terhadap Alquran dalam pidato Ahok. Tudingan bahwa Ahok secara tidak langsung mengatakan Alquran bohong tidak ditemukan oleh pria yang akrab dengan sapaan Buya Syafii tersebut.


"Ahok tidak mengatakan Al-Maidah itu bohong," ujar Syafii di Jakarta, Senin (7/11/2016).




Pendapat senada juga pernah dilontarkan mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nusron Wahid. Menurut dia, dari keseluruhan pidato di sebuah video yang ia lihat, Ahok hanya mengedukasi warga agar jangan mau dibohongi oknum yang mempolitisasi agama.  Dalam hal ini dengan menggunakan Surat Al Maidah.


"Jadi, yang dituju atau dimaksud Ahok adalah orang yang membohongi. Bukan berarti ayat Al Maidah yang bohong,”
kata Nusron Wahid, Jumat (7/10/2016).


Peneliti Senior Wahid Foundation Ahmad Suaedy mengatakan tidak ada yang istimewa dari pidato Ahok di Kepulauan Seribu tersebut. Apalagi, adanya nuansa penistaan Alquran dan ulama. Suaedy berpendapat, isu ini menjadi seksi lantaran ada yang menunggangi menjadi isu politik jelang Pilkada DKI Jakarta.


“Ada kelompok yang memanfaatkan pandangan MUI untuk mobilisasi massa. Bukan untuk kepentingan agama, lebih ke kepentingan politik,”
kata Suaedy kepada metrotvnews.com, Selasa (8/11/2016).


Bukan fatwa


Suaedy berpendapat ada hal yang jauh lebih penting ketimbang salah tidaknya Ahok dan aksi pengerahan massa yang dilakukan beberapa ormas Islam. Menurut dia, persoalan yang tengah hangat di Ibu Kota ini penting untuk segera diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku karena menyangkut semangat kebangsaan warga secara keseluruhan.


“Yang jauh lebih penting adalah penegakan hukum, keselamatan rakyat, kedamaian, terlebih kebangsaan Indonesia,” kata Suaedy.


Merujuk pada kasus dugaan penistaan Alquran oleh Ahok, Suaedy menegaskan bahwa yang dikeluarkan MUI bukan merupakan fatwa yang patut dijadikan rujukan tunggal. Surat sikap keagamaan itu memiliki kekuatan dan konsekuensi satu tingkat di bawah fatwa.


“Bukan fatwa. Itu pendapat sebagian anggota yang oleh sebagian orang dianggap fatwa,” kata dia.


Dalam merumuskan fatwa, MUI harus menempuh berbagai mekanisme yang telah ditentukan. Setelah diputuskan, kata Suaedy, itu pun bersifat tidak mengikat.


“Juga satu fatwa tidak menggugurkan fatwa lainnya,” kata dia.


Setelah Reformasi 1998, Suaedy mengakui bahwa fatwa MUI kerap memicu persoalan sosial di tengah masyarakat. Sayangnya, kata dia, MUI seolah tidak menimbang aspek tersebut sebagai pertimbangan utama dalam merumuskan pandangan keagamaan.


“Meskipun ada perkembangan lebih baik. Pada 2000-an, kesannya jauh lebih provokatif. Dalam setiap menerbitkan fatwa mereka selalu mengakhiri dengan kalimat bernuansa mengancam. Semisal kalimat ‘jika pemerintah tidak melaksanakan fatwa ini maka akan ada demikian dan demikian,”
kata Suaedy.


Ketua Ketua Pengurus Pusat (PP) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Rumadi Ahmad mengatakan meski bersifat tidak mengikat, fatwa MUI mampu memberikan gejolak di tengah masyarakat karena terpengaruhi pada dua hal.


Pertama, orientasi keagamaan masyarakat yang cukup tinggi. Kedua, hadirnya kelompok-kelompok yang mengkapitalisasi energi fatwa menjadi berlipat-ganda.


“Kemudian dijadikan basis argumentasi hukum untuk melakukan sebuah tindakan. Seperti pada kasus fatwa sesat Ahmadiyah atau Syiah di Jawa Timur,”
kata Rumadi kepada metrotvnews.com, Selasa (8/11/2016).


MUI, kata Rumadi, bukan berarti tidak menyadari bahwa apa yang hendak dikeluarkannya bisa berbuntut panjang dan fatal di ranah siosial. Oleh sebab itu, kata dia, MUI kerap menuai kritik karena diaggap menyiram bensin dalam kobaran api. 


“Tapi memang tugas mereka hanya membuat fatwa. Tapi soal dampak, argumentasi yang diungkapkan MUI sejak 2005 tetap seperti itu. Yakni, selebihnya tugas penegak hukum,” kata dia.


Menurut Rumadi, sudah waktunya mekanisme fatwa MUI dirancang lebih dewasa. Berfatwa, harus melibatkan pertimbangan aspek sosial. “Apa yang benar secara istinbat (pengambilan hukum), belum tentu bagus dari sisi sosial,” kata dia.


“Kearifan dan kebijaksanaan juga harus dihadirkan sebagai pertimbangan pokok,” lanjut Rumadi.


Mengenai proses hukum Ahok, baik Suaedy maupun Rumadi menyarankan agar MUI mengambil peran aktif guna meredam gejolak yang tidak diinginkan. MUI, kata Suaedy, lebih elok secara pro-aktif mengimbau umat Islam untuk memberikan kepercayaan kepada para penegak hukum. 


“MUI harus menghormati hukum. Hukum harus ditegakkan sesuai prosedur. Misal Ahok tidak bisa dibuktikan bersalah secara hukum maka harus dimengerti, begitu pun sebaliknya,” kata dia.



Sumber : http://news.metrotvnews.com/read/201...emik-fatwa-mui

---

Kumpulan Berita Terkait PENISTAAN AGAMA :



- Aksi 4 November Dan Polemik Fatwa MUI Jokowi Berharap Tidak Ada Demo Lagi


----

Kalo Ahok ngutip Ayat Suci Alqur'an lalu dia dituduh sbg Penista Agama,

Lalu bagaimana dgn para Ustadz, Ulama & Habaib yg mengutip Ayat dari Kitab Suci milik Non-Muslim ?? Apakah mereka juga Penista Agama juga ??


emoticon-Bingung
Nasbungers yg masih bisa mikir, silahkan jawab
emoticon-Leh Uga emoticon-Leh Uga
Diubah oleh wowo.jonggrang 11-11-2016 22:10
0
11.2K
112
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.7KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.