Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

metrotvnews.comAvatar border
TS
MOD
metrotvnews.com
Memprediksi Hubungan Politik RI-AS di Bawah Trump


Metrotvnews.com, Jakarta: Sosok yang dinilai agresif itu memenangkan pemilihan Presiden Amerika Serikat. Ya. Per Januari 2017 mendatang, Donald John Trump akan memasuki Gedung Putih dan memimpin negara adidaya tersebut. Lantas, pentingkah peristiwa politik itu bagi Indonesia?


Sejumlah kalangan menganggap kebijakan luar negeri berprinsip menomorsatukan negara adikuasa (America-First) yang diusung Trump itu, dapat mengancam kestabilan politik dan keamanan di beberapa regional, terutama di Timur Tengah, negara-negara konflik di Afrika, aliansi NATO dan Eropa Timur, Asia Timur, juga Asia Tenggara. 


Prinsip America-First ini menjanjikan tidak adanya intervensi apapun oleh AS dalam urusan keamanan negara lain, termasuk aliansi globalnya.


Baca: Donald Trump, Capres Republik yang Tidak Konservatif


Laut Cina Selatan


Pakar Hubungan Internasional Hikmahanto Juwana memprediksi, dengan prinsip America-First itu memungkinkan posisi Amerika Serikat tidak lagi sekuat sebelumnya dalam sengketa regional di Laut Cina Selatan.


Menurut dia, bila penarikan diri AS dari Laut Cina Selatan terjadi, dampaknya pada hubungan Indonesia dengan Tiongkok. Kedua negara ini sedang renggang lantaran klaim kedaulatan Tiongkok di perairan Natuna (nine-dash line).


"Soal Laut Cina Selatan, mungkin Partai Republik (pengusung Trump) tidak semasif Demokrat. Mereka tidak melihat bahwa dunia ini harus dipolisi, dijaga oleh AS," katanya kepada Metro TV, Senin (8/11/2016). 


Sebaliknya, ia melanjutkan, bila Hillary Clinton bersama Partai Demokrat-nya yang menang, Indonesia bisa meminta bantuan Amerika Serikat untuk selalu hadir di sana.


Namun, pernyataan Trump saat kampanye tidak bisa seratus persen dijadikan sebuah kepastian kebijakan. Kebijakan-kebijakan baru dari presiden baru belum tentu mudah diimplementasikan. Menurutnya, kebijakan juga tergantung pada birokratnya, apalagi bila perubahan kebijakan tersebut sangat signifikan.


"Di AS, politisi bisa datang dan pergi, presiden bisa berganti, tapi ada unsur lain yang juga penting, yaitu birokrat. Ini yang menjaga konsistensi AS dari waktu ke waktu," ucap Hikmahanto.


Artinya, bentuk-bentuk kampanye Donald Trump yang kontras dengan kebijakan AS hari ini, boleh jadi sulit diimplementasikan atau mungkin tidak merubah kebijakan luar negeri AS. "Saya melihat birokrasinya sangat intact," ujarnya.


Boleh jadi kemapanan birokrasi AS dan catatan konsistensi ini yang membuat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) tidak mengkhawatirkan hubungan Indonesia-AS. Jokowi meyakini kerjasama kedua negara akan tetap baik. "Tidak akan ada perubahan," katanya di Istana Negara, Rabu (9/11/2016).


Tetap cermat


Meski begitu, Indonesia juga harus mencermati segala kemungkinan perubahan kebijakan luar negeri AS. Alasannya, Indonesia juga memiliki kepentingan dalam negeri yang sangat terkait dengan kebijakan-kebijakan AS.


Pengamat Hubungan Internasional Alexius Jemadu menegaskan, negara-negara Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia di dalamnya, masih memerlukan kehadiran AS dalam rangka menciptakan kestabilan yang mendukung pertumbuhan ekonomi.


Karenanya, menurut Alexius, Indonesia tetap perlu meyakinkan Donald Trump bahwa Asia masih memerlukan kehadiran AS. Misalnya, dalam sengketa Laut Cina Selatan, konflik ini tidak bisa diselesaikan secara unilateral oleh Tiongkok saja.


"Kehadiran AS perlu untuk mengatur konflik yang ada supaya tidak terjadi eskalasi, yang pada akhirnya bisa memancing penggunaan militer yang tidak diinginkan," ujar Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan itu kepada Metro TV, Selasa (9/11/2016).


Di lain pihak, kata Alexius, sangat berat bagi AS untuk meninggalkan Asia Timur dan Tenggara karena akan merugikan AS sendiri. "Kepentingan AS juga ada di Asia. Sekutu dagangnya banyak di sini, juga sekutu militer," ucapnya.


Jadi, kata Alexius, Indonesia perlu meyakinkan AS bahwa negara adidaya itu memerlukan kemitraan yang kuat dengan negara lain demi kepentingan dalam negerinya.  "Tidak mungkin AS menarik diri begitu saja dari Asia ini," ujarnya.


Islamophobia


Menyoal kemitraan, Hikmahanto mengatakan ada pekerjaan rumah yang cukup berat bagi birokrat AS di seluruh dunia. Yaitu, membenahi citra negatif Trump yang terbangun selama masa kampanye, yang dianggap membangkitkan Islamophobia di kalangan masyarakat AS.


"Harus meyakinkan ke negara mitra, walaupun kampanye Trump seolah-olah anti Islam, tetapi bukan berarti AS anti terhadap Islam," kata Hikmahanto.


Sambungnya lagi, kemungkinan Indonesia menjadi salah satu negara yang akan didekati Trump secara intens. Harapannya adalah pemerintah dapat melanjutkan klarifikasi ini kepada masyarakat Indonesia, yang dalam konteks ekonomi merupakan salah satu pasar potensial AS.


Dalam hubungan saling membutuhkan ini, kata Hikmahanto, sangat besar kemungkinan terjadi negosiasi politik. AS memerlukan perbaikan citra atas kampanye Donald Trump yang agresif soal Islam, sebaliknya, Indonesia perlu kehadiran AS untuk stabilitas regional.


"Indonesia punya posisi tawar soal ini. Bisa meminta berbagai konsesi untuk berbagai kepentingan terkait kedaulatan," ucap Hikmahanto. 



Sumber : http://news.metrotvnews.com/read/201...di-bawah-trump

---

Kumpulan Berita Terkait DONALD TRUMP :

- Memprediksi Hubungan Politik RI-AS di Bawah Trump

- Setnov Ucapkan Selamat untuk Trump

- Donald Trump Menang Pilpres AS, Ariana Grande Menangis Kecewa

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
22K
31
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Medcom.id
Medcom.idKASKUS Official
23KThread601Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.