Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Listrik mangkrak, harus ada yang bertanggung jawab

Proyek pengadaan listrik di masa lalu mangkrak
Berawal dari rapat terbatas tentang perkembangan proyek pembangkit listrik 35.000 Megawatt di Kantor Presiden, pekan lalu. Presiden Joko Widodo mengungkapkan kekecewaannya, karena perkembangan proyek tersebut lambat.

Mega proyek penyediaan listrik 35.000 Megawatt (MW), yang direncanakan harus rampung pada 2025, saat ini baru selesai 29,4 persen. Presiden mempertanyakan penyebab keterlambatannya, apakah perizinannya berbelit-belit, pembebasan lahan, atau pendekatan keuangannya? Sebab menurut presiden, investor proyek ini antre.

Untuk mencapai target ketersediaan listrik baru 35.000 MW pada 2019, PT PLN merencanakan membangun 109 pembangkit baru. Sebanyak 35 pembangkit dengan kapasitas 10.681 MW akan dibangun PLN, sedangkan 74 pembangkit akan dibangun pihak swasta dengan kapasitas 25.904 MW.

Sementara direktur Utama PT PLN Sofyan Basir menjelaskan, kemajuan proyek listrik 35.000 MW sebenarnya sudah sesuai target. Hingga akhir Oktober, pencapaiannya sudah sekitar 40 persen. Data yang dirujuk presiden adalah data sampai September.

Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, memang tak bisa bila hanya bertumpu pada proyek pembangunan 35.000 MW saja. Sebelumnya ada proyek pembangkit listrik yang kapasitasnya lumayan besar, yaitu 7.000 MW. Sayangnya proyek yang diatur dengan Perpres Nomor 71 Tahun 2006 dan Perpres Nomor 4 Tahun 2010, ini mangkrak.

Jenis pembangkit yang mangkrak tersebut terdiri dari 32 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan 2 pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM). Keseluruhan pembangkit tersebut tersebar di Sumatera (5 proyek), Kalimantan (10 proyek), Sulawesi dan Nusa Tenggara (14 proyek), serta Maluku dan Papua (5 proyek).

Pemerintah sudah mengeluarkan dana yang tidak kecil untuk pembangunan 34 proyek listrik tersebut. Menurut hasil pemeriksaan Badan Keuangan (BPK), proyek tersebut sudah menelan biaya hingga Rp4,94 triliun.

Dari proyek sebanyak itu, ada 12 proyek yang tidak bisa dilanjutkan, karena berkarat. Ke-12 proyek tersebut, nilai kontraknya mencapai Rp3,76 triliun. BPK memperkirakan kerugian negara yang muncul setidaknya sebesar nila proyek yang tidak bisa dilanjutkan itu.

Parahnya, menurut Sofyan Basir, proyek-proyek yang bermasalah itu dibuat dengan perjanjian yang menguntungkan pengembang. Posisi PLN saat membuat perjanjian sangat lemah. Misalnya, dalam perjanjian dinyatakan, kalau kontrak diputus lantaran pengembang wanprestasi, mereka tidak bisa dituntut sama sekali.

Sofyan pun memastikan PLN tidak akan melakukan upaya hukum apa pun terhadap perusahaan konstruksi yang menjadi eksekutor proyek.

Sedangkan 22 proyek lainnya, bisa dilanjutkan. Artinya masih bisa menghasilkan listrik, namun perlu tambahan biaya baru sebesar Rp4,68 triliun.

Mangkraknya proyek listrik ini tentu sangat ironis. Uang negara dikeluarkan begitu banyak, namun tidak ada hasil yang bisa dimanfaatkan. Potensi kerugian negara sudah jelas, tapi belum ada pihak yang bertanggung jawab.

Apakah terbengkalainya proyek tersebut hanya karena kesalahan manajemen, atau ada unsur korupsi? Ini yang harus ditelusuri. Kerugian negara di atas Rp3,7 triliun bukan angka yang kecil. Itu setara dengan APBD 2016 Kabupaten Garut. Pemerintah bisa meminta KPK atau Kejaksaan Agung untuk melakukan penyelidikan terhadap proyek ini.

Pemerintah juga harus ekstra hati-hati dalam memutuskan penambahan dana untuk melanjutkan proyek ini. Apakah manfaat yang akan didapat lebih besar atau justru menambah banyak kerugian negara. Bukan rahasia, di masa lalu terlalu banyak proyek listrik yang arusnya justru mengalir ke tindak pidana korupsi.

Saat ini saja, Kejaksaan Agung tengah menangani kasus korupsi terkait proyek pengadaan listrik berupa pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tahun 2011-2013. Proyek tersebut senilai Rp1,06 triliun. Sebanyak 15 pegawai PLN hingga pihak swasta tengah diadili.

Modus lemahnya pengawasan manajemen mewarnai korupsi di proyek ini. Posisi pemerintah sebagai pemilik proyek sangat lemah. Pencairan anggaran sudah dilakukan terhadap pembangunan 21 gardu induk tersebut. Namun, hanya lima gardu yang dapat diselesaikan. Sebanyak 13 gardu dinyatakan bermasalah. Sementara tiga gardu lainnya tak punya kontrak.

Menyelesaikan proyek-proyek mangkrak di masa lalu melalui jalur hukum, adalah sebuah keharusan. Sekali pun ada pihak yang ingin membawa persoalan ini ke ranah politik. Misalnya saja muncul pendapat bahwa pemerintah Jokowi sengaja mengungkit-ungkit proyek pemerintahan masa lalu.

Upaya politisasi penyelesaian hukum, sebenarnya hanyalah jurus berkelit agar lepas dari tanggung jawab. Dalam penegakan hukum, apalagi korupsi, tidak perlu ada keseganan politik.

Tak satu kekuatan politik pun bisa menghalangi penegakan hukum. Bila pun kemudian ada pejabat di pemerintahan masa lalu yang tersangkut, itu sama sekali tidak berhubungan dengan politik, atau mengolok-olok pemerintahan masa lalu.

Kerugian negara akibat mangkraknya proyek-proyek di masa lalu, harus ada yang bertanggung jawab. Bila pun kerugian negara terjadi karena kesalahan manajemen, harus ada hukuman administrasi untuk kesalahan tersebut.

Namun bila penyebab kerugian negara adalah korupsi, tentu mengembalikan kerugian negara menjadi kewajiban.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...tanggung-jawab

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Pengakuan penjarah toko di Penjaringan

- Kenapa Ahok enggan mundur dari pencalonannya?

- Badai politik dari Cikeas

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
6.5K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread739Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.