Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kretekusAvatar border
TS
kretekus
Santap siang. Tulisan ttg Kawasan Tanpa Rokok Gan..
Pada mulanya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 (PP No. 19/2013) tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Sejak PP ini ditandatangani oleh Presiden, banyak pemerintah daerah (Pemda) yang menerbitkan peraturan larangan merokok. Ya. Rokok adalah produk yang legal, tetapi mengkonsumsi rokok di larang-larang. Sangat aneh memang. Peraturan larangan merokok memang banyak ke’aneh’an, dan lahir dari ke’aneh’an—untuk tidak mengatakan “banyak dipaksakan”.

Dengan munculnya PP No. 19/2003, pemerintah telah mengijinkan Pemda untuk melarang warganya merokok dengan menerbitkan Perda. Pasalnya, PP No. 19/203 ini berlandaskan pada 3 konsideran, yakni Undang Undang (UU) No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan.[i] Inilah Peraturan Pemerintah pertama yang larang warganya mengkonsumsi tembakau.

Oleh banyak Pemda, PP No. 19/2003 dianggap bisa memberikan kewenangan kepada daerah untuk menerapkan larangan merokok karena pada memuat bagian tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Secara khusus, pada pasal 25 yang berbunyi, “Pemerintah Daerah wajib mewujudkan kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, di wilayahnya.” Pasal 25 inilah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok.

Namun jangan berhenti di situ, peraturan ini juga memuat aturan tentang Tempat Khusus untuk Merokok, yakni pada pasal 23 dan pasal 24. Pasal 23 mengenai ruang merokok di tempat umum dan tempat kerja. Sementara pasal 23, mengatur mengenai ruang merokok di angkutan umum.

Tak ayal, sejak lahirnya PP No. 19/2003, muncul berbagai Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Seperti: Di Jakarta, ada Perda No. 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara[ii] dan Peraturan Gubernur (Per-Gub) No. 75/2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok[iii].; di Kota Bogor ada Perda No. 8/2006 tentang Ketertiban Umum[iv], dan kemudian tahun 2009 di kota Bogor keluar Perda No. 12/2009 tentang KTR[v]; Di kota Surabaya ada Perda No. 5/2008 tentang KTR dan Kawasan Terbatas Merokok[vi]; Di Palembang ada Perda No. 07/2009 tentang KTR[vii]; serta beberapa kota lain seperti Cirebon, Padang Panjang, dan lain sejenisnya.

Pasal 23 dan pasal 24 PP No. 19/2003 meskipun mengatur adanya ruang merokok, tetapi tidak mewajibkan adanya ruang merokok di dalam KTR[viii]. Tidak diwajibkan, tetapi disarankan, karena keberadaannya diatur ruang merokok telah diatur dan diamanatkan melalui peraturan. Namun anehnya, beberapa Perda KTR yang lahir setelah PP itu, tidak menjamin adanya tempat untuk merokok di daerah KTR. Lagi-lagi aneh. Perda yang lahir atas nama hak asasi, dalam konteks ini non-perokok, tetapi malah justru menciderai hak asasi.

Kini, dengan adanya PP No. 102/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau, praktis PP No. 19/2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Peraturan Pemerintah ini merupakan turunan dari UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, di mana dalam Bagian Ketujuh Belas (pasal 113 s/d 116) tercantum mengenai “Pengamanan Zat Adiktif”. Ini juga lagi-lagi aneh. UU No. 36/2009 mengamanatkan pembentukan peraturan mengenai pengamanan zat adiktif, artinya semua zat adiktif. Dan dalam dunia kesehatan, penjelasan zat adiktif sangat bnayak, tidak hanya menyangkut tembakau, tetapi juga kopi dan lain sebagainya. Anehnya, kenapa hanya tembakau yang diatur di PP? Padahal UU No. 36/2009 memetintahkan untuk mengatir semua zat adiktif. Ya. Lagi-lagi aneh.

Tidak ada yang tahu, dan tidak ada yang menduga, bahwa amanat UU No.36/2009 akan digunakan untuk menghakkimi produk tembakau melalui terbitnya PP No. 109/20012. Baru setelah muncul Rancangan Peraturan Pemerintahnya, mulai banyak petani buruh rokok, seniman, dan berbagai elemen lain yang menolak disahkannya PP No. 109/2012. Tapi toh PP ini tetap ditandatangani oleh penguasa negeri ini. Dengan dibebaskannya zat adiktif selain tembakau dari PP 102/2009, maka bisa dibilang PP in tendensius, alias menghakimi, alias dipaksakan, alias punya maksud yang tidak baik. Padahal, kini PP No.36/2009 itulah yang kini digunakan untuk dasar diterbitkannya berbagai perda yang mengatur tembakau, dengan nama Perda KTR.

Regulasi anti rokok di Indonesia dirancang secara sistematis, pelan-pelan, dikerjakan bertahap seperti sudah ada yang memberikan guideline. Khas seperti model penguasaan asing atas berbagai asset di negeri kita. Mari kita lihat pergeserannya. PP No. 19/203 lahir dari UU No 32/2002 tentang Penyiaran, UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan. Sehingga secara sederhana bisa dikatakan, pertama-tama isu penyiaran dan isu perlindungan konsumen diarahkan untuk menyoroti tembakau. Kenapa tembakau? Ini juga aneh. Kalau masalahnya asap, kenapa tembakau? Bukannya kendaraan justru lebih banyak. Penggunaan isu perlindungan konsumen untuk melarang rokok juga aneh, bukannya perlindungan konsumen itu harusnya malah melindungi konsumen rokok sebagai produk legal. Kemudian yang terakhir, PP ini menggunakan dasar UU No 32/1992 tentang kesehatan.

Dalam UU Penyiaran, hanya satu kali menyebut kata rokok, yakni dalam pasal 46 tentang siaran iklan “c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;”[ix]. Sementara dalam UU Perlindungan Konsumen[x] dan UU Kesehatan[xi] tersebut, tidak ada satu pasal pun yang menyebut kata ‘rokok’ dan ‘tembakau’. Tidak ada. Sehingga kalau kemudian menjadi konsideran terbitnya PP yang secara spesifik berjudul “Pengamanan Rokok bagi Kesehatan”, ini jelas sangat aneh.

UU No. 23/1992 tentang Kesehatan justru memuat pasal 44 tentang Pengamanan Zat Adiktif secara umum. Artinya, ini diberlakukan untuk semua produk, yang oleh bidang kesehatan dikategorikan sebagai zat adiktif. Dalam terminologi kesehatan, beberapa zat adiktif yang secara hukum legal dikonsumsi oleh masyarakat diantaranya[xii]: (a) Caffeine (kafein), contohnya : kopi, teh, soda, dan minuman suplemen; (b) Nikotin, contohnya : rokok, cerutu, potongan nikotin , kopi dan produk stimulant untuk meningkatkan dopamine dan adrenaline; (c) Alkohol, contohnya : Wine (anggur), bir, (beer), Liquor, dan lain sebagainya; (d) Inhalants, contohnya : erosol, solvents (bahan untuk pembersih) dan gas nitrat, yang biasa dipakai untuk produk cat thinner, hair spray, dan lain sebagainya; (e) Amphetamine, contohnya speed, crystal meth, dan produk lain yang dipakai untuk meningkatkan konsentrasi; (f) Sedative-hypnotic, atau obat-obat hipotik, contohnya Benzodiazepines Xanax, Valium, barbiturates, Seconol, phenobarbital; (g) Opioids, contohnya: Heroin, morfin, oxycodone, kodein dan obat bius lainnya.

Dengan demikian, sesuai dengan amanat pasal 44 UU No. 23/1992, seharusnya pengamanan zat-zat adiktif melingkupi semua produk yang mengandung zat adiktif di atas. Tetapi faktanya, hanya rokok yang diatur, sementara kopi, soda, teh, dan sejenisnya, tidak diatur. Seharusnya, sebagai peraturan, Peraturan Pemerintah harus konsisten. Seharusnya lho ya. Tetapi kalau dari awal sudah dibarengi dengan tendensi tertentu, asal ada uang, aturan apapun bisa dibuat, begitu konon kata orang. Pun demikian dengan PP No. 19/2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Ya, peraturan ini lahir tanpa orang tua, demikian kiranya kalimat yang pas untuk PP No. 19/2003. Peraturan pertama di Indonesia yang melahirkan regulasi-regulasi larangan mengkonsumsi rokok.

Dengan pola yang sama, di tahun 2012, muncul PP No. 102/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau. Saya tidak akan membahas regulasi ini. Karena telah banyak tulisan yang mengulas PP 102/2012. Meskipun demikian, regulasi compang-camping ini tetap diterapkan di banyak daerah. Ini yang akan saya bahas di bagian dua tulisan ini.

Oleh Rifqi Muhammad
Pegiat Masjid, Perum Sawitsari, Condong Catur, Sleman

[i] http://www.hukumonline.com/pusatdata...bagi-kesehatan

[ii] http://gaikindo.or.id/download/indus...RDA-2-2005.pdf

[iii] http://bplhd.jakarta.go.id/01_kdmartikel.php

[iv] http://www.jdih.setjen.kemendagri.go...GOR_8_2006.pdf

[v] http://siskum.kotabogor.go.id/index....o12-tahun-2009

[vi] http://www.slideshare.net/depkominfo...r-5-tahun-2008

[vii] http://www.jdih.setjen.kemendagri.go...ANG_7_2009.PDF

[viii] http://www.depkes.go.id/downloads/PP..._Kesehatan.pdf

[ix] http://www.kpi.go.id/download/regula...0Penyiaran.pdf

[x] http://www.djlpe.esdm.go.id/modules/...1493296471.pdf

[xi] http://dinkes.jogjaprov.go.id/files/..._Kesehatan.pdf

[xii] http://know.about.com/Addictive_Substances
0
2.9K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.2KThread83.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.