Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menggugat mutu angkatan kerja masa depan
Menggugat mutu angkatan kerja masa depan
Putus sekolah di tingkat SD, momok pembentukan tenaga kerja terdidik di masa depan
Indonesia diprediksi bakal mendapatkan bonus demografi pada 2020-2030. Itulah kabar baik yang diungkapkan Badan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Bonus demografi, adalah sebuah kondisi demografi tertentu, ketika jumlah usia angkatan kerja alias usia produktif (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen. Sedang 30 persen sisanya, adalah penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun).

Saat itu Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif, sedang usia tidak produktif sekitar 60 juta jiwa. Bila dirata-rata 10 orang usia produktif hanya menanggung 3-4 orang usia tidak produktif. Dampaknya tentu sangat positif dari aspek kesejahteraan rakyat. Diperkirakan akan terjadi peningkatan tabungan masyarakat, dan ujungnya tabungan nasional pun bertambah.

Namun mesti diingat, bonus demografi itu baru benar-benar bisa dinikmati, bila angkatan kerja Indonesia pada saat itu adalah tenaga-tenaga terdidik, kompeten, dan berkontribusi pada pembangunan. Bila tidak, yang terjadi malah bisa sebaliknya. Bencana. Yaitu orang berada di usia produktif, tapi malah menjadi beban, karena tidak bisa masuk dalam angkatan kerja.

Nah usia produktif pada tahun 2020-2030 adalah milik generasi yang saat ini tengah menempuh pendidikan dasar dan menengah. Presiden Joko Widodo, tahun lalu saat peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas), sudah mengingatkan tanggung jawab yang berat bagi keluarga Indonesia saat ini dalam menyiapkan generasi yang bakal menjadi bonus demografi tersebut.

Peringatan presiden tersebut, bukan tanpa dasar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penyerapan tenaga kerja 2015 masih didominasi penduduk bekerja berpendidikan rendah. Yaitu sekolah dasar (SD) ke bawah 54,6 juta orang atau 45,29 persen dan sekolah menengah pertama (SMP) 21,5 juta jiwa atau 17,77 persen.

Sementara penduduk yang berpendidikan tinggi hanya 13,1 juta orang mencakup 3,1 juta jiwa (2,60 persen) berpendidikan diploma, dan 10 juta orang atau 8,29 persen berpendidikan universitas.

Sejauh mana persiapan pendidikan dasar bagi generasi bonus demografi pada saat ini? Sepertinya memang baik-baik saja. Pemerintah seperti cukup puas dengan mengklaim Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah dasar yang mencapai lebih dari 90 persen.

Data BPS pun mendukung klaim tersebut. APM pada 2015 tingkat SD/ MI (Madrasah Ibtidaiyah) mencapai 96,20 persen. Sedang tingkat SMP/MTs (Madrasah Tsanawiyah) mencapai 77,45 persen.

Namun sebenarnya ada data lain yang menyedihkan, yaitu tingginya tingkat berhenti sekolah setelah tamat SD. Berdasarkan Ikhtisar Data Pendidikan Kemdikbud 2015/ 2016, jumlah siswa yang lulus SD tetapi tidak melanjutkan ke SMP ada sebanyak 946.013 orang.

Bila ditambah dengan jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan ke SMP tetapi tidak lulus (51.541 orang), maka terdapat 997.554 anak Indonesia yang hanya berijazah SD pada 2015/2016. Pada periode yang sama, juga terdata ada 68.066 anak yang tidak melanjutkan studi (putus sekolah) di SD.

Sementara data yang lain lagi juga menambah miris. Upaya pemerintah melalui Program Indonesia Pintar dalam menjaring warga miskin yang tidak bersekolah agar bisa bersekolah lagi pun menemui hambatan. Dari 4,5 juta warga miskin yang disasar Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk jalur pendidikan nonformal pada 2016, baru 17.000 orang yang menerima kartu itu.

Sasaran tersebut adalah bagian dari 25 persen warga termiskin yang tidak bersekolah lagi, berdasarkan data terpadu Program Penanganan Fakir Miskin 2015. Data tersebut dibuat oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

Anak-anak tersebut, semestinya mengikuti jalur pendidikan nonformal, misalnya kursus, atau masuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Kondisi seburuk itu, sebenarnya sudah sebuah peningkatan dibandingkan dengan tahun lalu. Pada 2015, hanya 12.290 penduduk usia 6-21 tahun yang terdaftar di PKBM. Mereka tersebar di tempat Kejar Paket A, B, dan C serta kursus yang menerima KIP.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD dan Dikmas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar, mengungkapkan beberapa faktor yang menghambat program ini. Antara lain, sulitnya menemukan domisili warga sasaran berusia 6-21 tahun tersebut.

Mereka tidak berada di rumah karena sudah bekerja. Kalaupun sempat ditemui, mereka tidak berminat lagi belajar karena sudah telanjur kenal uang. Selain itu, umumnya mereka tersebar di daerah terpencil.

Meski muncul berbagai masalah, Direktur Pendidikan dan Agama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Hadiat menegaskan, peningkatan SDM melalui pendidikan tetap jadi komitmen pemerintah. Lewat berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah, Ia tetap optimistis dalam hal perluasan akses dan kualitas pendidikan akan tercapai.

Sekadar mengingatkan, KIP adalah program pemerintah yang diluncurkan pada 2014. Ini merupakan program bantuan sosial dari pemerintah pusat. Tujuannya adalah menjamin kehadiran pemerintah dan memastikan semua anak Indonesia usia 6-21 tahun dari keluarga kurang sejahtera, mendapatkan bantuan sampai lulus SMA sederajat.

Besarnya bantuan untuk tingkat SD sebesar Rp225 ribu satu semester; Tingkat SMP Rp375 ribu tiap semester dan tingkat SMA Rp500 ribu per semester. Bantuan ini disalurkan melalui Kemendikbud untuk jalur pendidikan SD-SMA/SMK. Serta Kementerian Agama untuk jalur pendidikan MI-MA (Madrasah Aliyah) dan sederajat.

Targetnya sangat besar. Pada 2015, menyasar 20,37 juta anak dengan anggaran Rp12,81 triliun. Sedang pada 2016, sasarannya 19,54 juta anak dengan anggaran Rp11,56 triliun.

Situs kepresidenan, melaporkan anggaran program KIP untuk periode 2015, di Kemendikbud dan Kemenag masing-masing Rp9,77 triliun dan Rp1,72 triliun. Sehingga totalnya mencapai Rp11,49 triliun. Realisasi ini sedikit di bawah alokasi, yaitu Rp9,24 triliun (Kemendikbud) dan Rp1,31 triliun (Kemenag) atau jika dijumlah mencapai Rp10,55 triliun.

Solusi pemerintah dengan KIP, ternyata belum cukup ampuh menuntaskan pendidikan dasar bagi generasi yang akan dipertaruhkan pada era bonus demografi. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Sebab KIP sebenarnya baru membahas soal pemerataan pendidikan saja. Belum membahas lebih mendalam pada persoalan mutu pendidikan.

Mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul dan berdaya saing, menuju 2020-2030, tentu tidak cukup hanya dengan pemerataan pendidikan yang seadanya. Persaingan di era pasar bebas membutuhkan kompetensi SDM yang tinggi.

MEA misalnya, membolehkan tenaga-tenaga profesional dari negara-negara ASEAN berkompetisi secara fair di kawasan. Karut-marut pelaksanan KIP tentu saja menjadi momok dalam penyiapan SDM di masa depan.

Keengganan anak usia sekolah yang sudah bisa mencari uang untuk kembali belajar, sesungguhnya bukan hanya persoalan pendidikan, tapi banyak dimensi yang menyertainya. Kesadaran orang tua tentang arti penting pendidikan anak, juga mesti diselesaikan.

Kemiskinan juga penyokong yang sangat besar. Kemiskinan terstruktur dalam keluarga membuat anak-anak usia sekolah menjadi bagian dari mesin kehidupan keluarga yang mesti mendapatkan uang.

Pendidikan memang menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun bukan berarti pemerintah mesti berjalan sendiri. Sudah seharusnya pemerintah terbuka dan berani membuat terobosan dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat yang peduli pada pendidikan dasar ini.

Membangun sinergi dengan kelompok masyarakat yang selama ini rajin melakukan aktivitas menanamkan pentingnya literasi pendidikan bagi anak dan orangtua, mesti disegerakan. Mencapai level literasi yang baik akan membuat orang memahami manfaat pendidikan. Dari situ program KIP akan lebih mudah diterima masyarakat.

Jika tidak berhasil dalam menyiapkan tenaga kerja terdidik, bukan saja pemerintah luput dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) namun juga gagal meningkatkan daya saing global. Sebagaimana diketahui, Forum Ekonomi Dunia (WEF) akhir September lalu mengumumkan Indeks Daya Saing Global 138 negara.

Pada edisi 2016-2017, Indonesia menempati urutan ke-41, turun dari urutan ke-37 pada periode sebelumnya. Indeks ini memperhitungkan berbagai macam aspek, termasuk kepesertaan pendidikan dasar (7-12 tahun) yang nilainya turun dari 92,2 persen menjadi 89,7 persen.

Kita tentu tidak ingin tren penurunan indeks daya saing global terus berlangsung, dan bonus demografi justru menjadi petaka.
Menggugat mutu angkatan kerja masa depan


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...rja-masa-depan

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Menggugat mutu angkatan kerja masa depan Dokumen kematian Munir lenyap, siapa yang bertanggung jawab?

- Menggugat mutu angkatan kerja masa depan Pernyataan Ahok soal surat Al Maidah memicu debat netizen

- Menggugat mutu angkatan kerja masa depan Ahok minta maaf kepada umat muslim, apa kata netizen?

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.8K
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread743Anggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.