purnama29wahyuAvatar border
TS
purnama29wahyu
sekilas: AKAR KEPEMIMPINAN YANG TERJAMINKAN MENURUT AL QUR'AN


Akar Tumbuh. Catatan terang-benderang dalam dinamika dan pergerakan sejarah umat Islam tatkala pergantian suksesi kepemimpinan masih sangat sportif dan dinamis hingga batas susksesi penuh pergolakan kepentingan yang diahiri dengan terbunuhnya Sayyidina Ali RA. Tidak semulus saat memulai estafeta pewarisan dan peralihan ke-Khalifahan dari Rosululloh Muhammad bin Abdullah SAW kepada Abu Bakar bin Siddiq RA.

Tak ada perdebatan panjang ketika Abu Bakar ibn Siddiq RA menjadi khalifah meneruskan apa yang telah dibangun Rasulullah SAW. Walau telah muncul riak-riak dari kaum munafik, seperti misalnya enggan menunaikan zakat, tapi Abu Bakar tetap tegas dalam segala urusannya. Di samping itu, Abu Bakar mempunyai seorang Umar bin Khattab yang sanggup menjadi penyelesai dari kerikil-kerikil penghalang dalam dakwah Diinul Islam ketika itu.

Ketika Abu Bakar mangkat, juga tak banyak debat kusir siapa yang harus menggantikannya. Karena Umar bin Khattab menjadi satu-satunya kandidat yang paling memenuhi syarat di antara kandidat lainnya. Namun ketika mencari dan memilih siapa sosok pengganti Umar bin Khattab, maka umat Islam kala itu mulai terbelah beda pandangan dengan muncul banyak keraguan sangat tinggi; Siapa di antara Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Saad bin Malik, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah ?

Berdasarkan pernyataan tegas Rasulullah Muhammad bin Abdulloh SAW sebelum wafat, beliau berkata; “Hai umatku, Abu Bakar sedikitpun tak pernah mengecewakanku, maka ketahuilah hak-haknya. Hai umatku, aku ridho kepada Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Malik, Abdurrahman bin Auf, serta Muhajirin yang mula pertama, maka ketahuilah hak-hak mereka itu”.´

Abu Bakar dan Umar wafat mendahului lainya. Maka tersisa enam orang yang disebut dalam pernyataan Rosulnya. Ditengah kegalauan suasana dan ke-vacum-an kepemimpinan tersebut, Abdurrahman bin Auf tiba-tiba dan dengan buru-buru mengundurkan diri seraya menyatakan; “Hendaknya aku hanya ingin memilih saja, bukan dipilih.” Sikapnya yang sangat konsisten dilandasi keimanan yang tinggi untuk tetap ikut berperan serta dalam melaksanakan dan menegakkan ke-Khalifahan Diinul Islam. Ia pun lalu turun-gunung ke penjuru pelosok negri mendatangi rakyat untuk mengumpulkan opini dan dan meneliti sampai dimana tingkat kecenderungan rakyat terhadap pentingnya seorang pemimpin.



Singkatnya, dari sinilah kira-kira mulai terkuak perjalanan yang kelak menjadi pengulangan sejarah beradab-abad kemudian bahkan terjadi sampai hari ini. Di antara keenam orang itu, jelas Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib menjadi yang paling diutamakan, ini karena kelebihan-kelebihan mereka berdua yang tentu saja melebihi potensi lainya. Tapi siapa: Ustman ataukah Ali ? Umat Islam kala itu akhirnya memilih Ustman ibn Affan

Seperti kita ketahui, Umar bin Khattab memimpin dengan ketat. Ia tak akan segan menyeret gubernurnya yang hidup mewah, bahkan memecatnya. Cara yang ditempuh oleh Umar adalah mengurangi keinginan untuk bersenang-senang, bahkan dalam hal-hal yang terhitung halal. Ini dilakukannya agar tidak terlena pada kenikmatan duniawi, bayangkan; Umar adalah seorang khalifah, dan ia mungkin tinggal menjentikan jari jika menginginkan sesuatu, tapi itu tidak ia lakukan. Umar memulai dari dirinya sendiri, keluarganya, serta karib kerabatnya. Jika terdengar seorang pembesar yang hidup mewah, dengan segera dipanggilnya ke Madinah, kemudian diperkarakan. Bila di kemudian hari, pembesar itu masih melakukan hidup seperti itu juga, Umar memecatnya. Tujuan Umar jelas, agar umat menemukan pada pribadi pembesar mereka sebuah teladan yang membantu mereka untuk tidak terpikat oleh gelimang harta dan silau dunia dan lupa serta lalai terhadap tugas dan tujuan hidup di dunia.

Beberapa hari setelah diangkat jadi khalifah, Ustman teringat akan sebuah kejadian. Ketika hari yang panas menyengat, Ustman tengah berada dalam rumahnya, memandang keluar jendela dan dilihatnya seseorang yang menyusuri jalan. Ustman berpikir orang itu adalah seorang musafir, maka ia sudah menyiapkan diri untuk memanggilnya jika sudah dekat rumahnya, agar lelaki itu menepi dan berteduh dahulu, dan Ustman akan diberinya pertolongan dari kesusahan yang dialaminya.

Namun alangkah terkejutnya Ustman ketika mendapati lelaki itu adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Umar sempoyongan menghela seekor unta yang berjalan di belakangnya. Matahari jelas telah menyengat Umar sedemikian rupa. Ustman bergegas menghampiri Amirul Mukminin; “Dari mana engkau Amirul Mukminin ?”. Sebagaimana yang kau lihat; jawab Umar tersenyum. “Ada seekor unta dari hasil zakat yang lepas dan melarikan diri. Hingga aku segera menyusulnya, kemudian membawanya pulang kembali. Ustman mengerutkan keningnya; “Bukankah masih ada orang lain selain engkau yang bias melakukan pekerjaan itu?. Tetapi..; tukas Umar lagi, ..”siapakah yang bersedia menggantikan aku di pengadilan Illahi, kelak ?.

Ustman meminta Umar untuk beristirahat sejenak menunggu panas matahari mereda. TapiUmar bin Khattab menolak; “Kembalilah ke tempatmu, hai Ustman”; ujarnya. Umar melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Ustman, “sungguh, engkau telah menyusahkan orang yang akan menjadi penggantimu, Amirul Mukminin”; gumam Ustman dalam hati seraya tertunduk. Ustman sadar sepenuhnya, bahwa orang-orang menyokongnya untuk menjadi khalifah bukannya Ali bin abi Thalib. Itu disebabkan keinginan umat yang ingin bebas dari aturan dan gaya hidup yang diterapkan dan dijalani Umar bin Khattab selama ini. Jika Ali yang menjadi khalifah, maka akan merupakan kelanjutan sistem yang ditempuh Umar, yaitu; tegas dan ketat.

Ustman berpendirian bahwa; harta itu diciptakan untuk mempermudah dan memperlancar kehidupan. Selama harta itu halal dan diperbolehkan menikmatinya, ia mempersilakan umat untuk memperoleh kebahagian hidup dan kenikmatan dunia tidak peduli ia pejabat, pembesar, atau rakyat biasa. Bagi Ustman, tidak ada alasan untuk memecat seorang gubernurnya yang hidup mewah dan mereguk kehidupan duniawi, selama ia tidak melakukan dosa dan berbuat salah. Ustman tidak seperti Umar yang menganggap harta kekayaan akan menimbulkan bahaya layaknya minuman keras. Sejak kepimpinan Ustman, dimulailah kehidupan umat yang bergelimang harta dan sedikit demi sedikit, dan akhirnya sepenuhnya menjadi terbuka pada berbagai kecenderungan harta duniawi selama beratus tahun, dan mungkin sampai kini mereka berpegang, bahwa Ustman pun, salah satu yang dikasihi oleh Rasulullah saw membolehkan hidup mewah.

Namun umat lupa bahwa; Ustman yang membolehkan kehidupan mewah, namun tidak menjalani hidup dengan mewah, hanya sedikit berkecukupan. Ustman adalah seorang yang peka terhadap keadaan dan kebutuhan lain pihak, mendahulukan kepentingan banyak orang, tetap lemah lembut, cermat dan sangat cerdas. Inilah yang tidak dicontoh dari umat berikutnya; mereka mengambil yang diperbolehkan syar’i. Tidak seperti yang kita saksikan hari ini; banyak perilaku pemimpin muslim yang mengabaikan sifat Ustman yang demikian agung dan mulia. Mereka membolehkan diri hidup mewah namun sama sekali tidak peka terhadap kesulitan yang diderita umatnya.


Akar Simpul.

Sesuai kebutuhan zamannya, gaya kepemimpinan dimasa ke-khalifahan para sahabat nabi, sesungguhnya telah tumbuh subur dengan tegaknya carakter building yang sangat kuat dan mengagumkan, sebagaimana tercatat dalam bangunan sejarah perjalanan panji-panji Diinul Islam yang dinubuwahkan oleh Rosuululloh Muhammd bin Abdullah kala itu. Gambaran terang-benderang itu antara lain bisa di tarik akar simpulnya dari empat sudut pandang, antara lain ;Motivator Dinamisator Fasilitator Konseptor.

Dalam diri sohabat Abu Bakar Ash Siddiq, tercermin ketauladanan sebagai MOTIVATOR yang penuh semangat tinggi dalam kondisi usia diatas rata-rata para sohabat nabi. Dari ‘sesepuh’ inilah lahir dan tumbuh kembali jiwa kepemimpinan yang tiada tara sehingga Umar ibn Khatab sanggup menjadi DINAMISATOR bagi tumbuhnya pergaulan masyarakat yang memiliki sportivitas tinggi diantara kentalnya persaingan clan, geng-geng ke-suku-an yang sangat dominan mewarnai kultur masyarakatnya namun ditangan dingin Umar ibn Khatab mind-set tersebut berubah menjadi tumbuh suburnya rasa persatuan dan persaudaraan.

Dalam kondisi masyarakat yang dinamis dan penuh motivasi untuk hidup harmonis, lahir dan tumbuhlah jiwa usahawan yang dermawan seorang Ustman ibn Affan yang setiap saat kapan saja sanggup berdiri tegak untuk mewujudkan semua kepentingan masyarakat dan bahkan tidak lengah dari menyantuni kebutuhan-kebutuhan pribadi. Maka dalam diri Ustman tumbuh subur jiwa seorang FASILITATOR handal yang terbukti tatanan kehidupan madrasah, perekonomian berkembang pesat. Dan pada akhirnya, buah dari fasilitas dukungan kemajuan demi kemajuan itulah mencuat pula potensi yang sebelumnya memang sudah diperhitungkan keberadaanya, jiwa pemikir, ahli hikmah, KONSEPTOR ulung bergelar Gerbangnya ‘Ilmu dari sahabat nabi yang paling muda bernama ‘Ali ibn Abu Thalib. Dari empat karakter sahabat nabi inilah sesungguhnya terkumpul simpul-simpul embrio yang ditumbuhkan sekaligus dihujamkan dan di-duplikasi-kan secara sengaja oleh Alloh SWT atas jiwa kepemimpinan suri tauladan dari Rosuululloh Muhammad Ibn Abdulloh SAW. Wallohu alam bishawwab. ::

:: Dicatat kembali oleh Slamet Muja :: dari sumber-sumber majlis ‘ilmu dan kitab-kitab rujukan mutawwatir.


Bagus banget, bacalah. Ketimbang ruwet membahas siapa yang paling bisa menyelamatkan negeri ini. Karena yang bisa menyelematkan negeri ini ya cuma Allah, dan jika kita layak ya bisa dititipi sedikit kekuatan-Nya sebagai salah satu karyawannya Allah untuk penyelamatan tersebut.
0
2K
12
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.7KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.