- Beranda
- Berita dan Politik
Ambisi Sia-Sia Pemerintahan Jokowi
...
TS
fabian.goldmyer
Ambisi Sia-Sia Pemerintahan Jokowi
Quote:
isi beritanya uda pasti jelek karna gua ambil sumber panasbung kopongsenayan
mau dibaca atau kaga kaga penting karna gw bikin trit ini untuk menjawab rasa penasaran gua atas pertanyaan: kalau pilihannya hanya ada dua, lebih milih jokowi atau kader pks yang jadi presiden? dijawab pollnya ya bray
mau dibaca atau kaga kaga penting karna gw bikin trit ini untuk menjawab rasa penasaran gua atas pertanyaan: kalau pilihannya hanya ada dua, lebih milih jokowi atau kader pks yang jadi presiden? dijawab pollnya ya bray
Minggu, 28 Feb 2016 - 11:06:30 WIB
Salamudin Daeng (Pusat Kajian Ekonomi-Politik Universitas Bung Karno, Jakarta), TEROPONGSENAYAN
Quote:
Sulit dipercaya pemerintahan Jokowi-JK seolah menerima kutukan. Bayangkannketika pemerintahan ini tepat dimulai, peperekonomian global berada pada titik terburuk nya. Harga komoditas menurun, padahal merupakan andalan ekspor Indonesia. Harga minyak diramalkan oleh International Monetary Fund (IMF) akan menuju US $ 20/barel. Dengan demikian pemerintah terancam kehilangan seluruh penerimaan dari migas.
Sementara secara internal ekonomi Indonesia menghadapidua anomaly yang ekstrim sebagaimana dikatakan Bank Dunia yakni daya beli masyarakat yang menurun dan inflasi (kenaikan harga-harga) yang tinggi. Dua keadaan ini akan berimplikasi langsung kepada industry yang terpaksa harus membiayai bahan baku yang mahal sementara penjualan mreka jatuh. Kondisi ini merupakan sebab dari kaburnya beberapa perusahaan ke luar negeri dalam beberapa waktu terakhir. Jika in berlanjut maka pemerintah berpotensi kehilangan penerimaan pajak dalam jumlah besar.
Parahnya lagi langkah pemerintah menjawab persoalan dengan menaikkan harga energi primer yakni BBM dan listrik, menakkkan target pajak dan cukai. Kebijakan yang justru memukul industri nasional dan ekonomi rakyat sekaligus. Jika dampak pelemahan ini berlanjut maka dapat dipastikan bahwa target pajak pemerintah pada tahun 2016 tidak akan tercapai sebaimana yang terjadi pada tahun 2015 lalu.
Satu-satunya yang menjadi andalan pemerintah adalah utang, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri untuk menutup defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pilihan utang juga ditujukan untuk membiayai mega proyek infrastruktur yang menjadi ambisi utama pemerintahan ini. Strategi yang menyandarkan pada utang dan investasi asing akan menimbulkan masalah di masa depan yakni meningkatnya beban eksternal.
Tekanan Eksternal Meningkat
Sepanjang tahun 2015 hingga 2016 hingga kwartal 3 Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan senilai US $ - 12, 438 miliar. Defisit inj terutama bersumber dari defisit pendapatan primer yang mencapai US $ - 12, 316 miliar dikarenakan aliran keuntungan investasi asing yang masih besar dan cicilan utang serta bunga yang tinggi.
Cadangan devisa terus merosot karena digunakan untuk melakukan intervensi pasar dalam menjaga stabilitas rupiah. Meskipun itu tidak tercapai namun cadangan devisa jauh berkurang. Dalam satu tahun terakhir cadangan devisa berkurang dari US $ 111, 861 miliar menjadi US $ 100, 240 miliar pada Desember 2015 atau berkurang senilai US $ 10, 142 atau sekitar Rp 162 triliun hilang dengan sia-sia.
Tidak hanya itu, untuk mengumpulkan uang dalam merealisasikan berbagai mega proyek , pemerintah telah memangkas habis subsidi. Bulan November 2014 menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar rata-rata 34 persen. Akibatnya, ekonomi Indonesia langsung lesu, bagai tubuh yang kehilangan darah. Kebijakan ini langsung menyebabkan kenaikkan harga barang-barang ( inflasi) yang tinggi dan langsung memukul daya beli masyarakat. Padahal konsumsi masyarakat menyumbangkan 57 persen PDB Indonesia.
Utang luar negeri swasta terus membengkak, melebihi utang pemerintah. Bank Indonesia melaporkan posisi jumlah utang luar negeri per November 2015 tumbuh 3, 2 persen secara year on year (yoy) atau tercatat senilai US $ 304,6 miliar. Peningkatan pertumbuhan utang didorong oleh pertumbuhan utang luar negeri berjangka panjang sebesar 6, 1 persen (yoy), sementara pada Oktober 2015 tercatat sebesar 5, 5 persen. Sebelumnya, BI melaporkan posisi utang luar negeri pada akhir kwartal III/2015 tercatat sebesar US $ 302, 4 miliar. Utang luar negeri swasta yang melebihi utang luar negeri pemerintah mengikuti pola krisis 1998. (FinancialBisnis.com, Senin, 18/02/2016).
Baru-baru ini Moody's mengeluarkan penilaian tentang utang Indonesia. Lembaga pemeringkat utang ini menyatakan bahwa Indonesia's growth to stabilize, but external vulnerabilities remain, dalam laporannya Moody's menyatakan bahwa utang luar negeri Indonesia secara keseluruhan sekitar 35 persen dari PDB pada tahun 2015, tapi depresiasi rupiah adalah menekan utang sektor swsta (Moody's, Februari 11, 2016). Penyebab utamanya adalah menurunnya harga komoditas yang selama ini menjadi andalan Indonesia.
Sementara pemerintah terus menumpuk utang untuk menambal fiskal, Data Bank Dunia (Desember 2015) menyebutkan utang pemerintah berdenominasi valuta asing mengalami peningkatan sebesar 80 persen. Disebutkan tanggal 2 Desember, pemerintah telah menerima Rp 510, 4 triliun dari penerbitan sekuritas dan US $ 3, 89 miliar (sekitar Rp 53 trilliun) dari pinjaman resmi luar negeri.
Sebelumnya Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah baik dari dalam negeri maupun luar negeri sampai dengan 31 Oktober 2015senilai Rp 3.021 triliun meningkat dari Rp 2.608 triliun dari 2014. Pemerintah telah menambah utang senilai Rp 412, 52 triliun sepanjang 2015. Terbesar tambahan dari penerbitan sekuritas yakni Rp 1.931 triliun menjadi Rp 2.291 trilliun atau senilai Rp 360, 57 triliun.
Kementerian Keuangan terus menggenjot utang dari penerbitan sekuritas dan akan menjadi pilihan utama pembiayaan APBN dalam tahun mendatang. Menteri Keuangan Bambanb S Brodjonegoro mengatakan bahwa 2016 pemerintah berencana akan menciptakan utang senilai Rp 600 triliun. Dalam rencana Kementerian Keuangan komposisi utang sekuritas tahun 2016 sebesar 71 persen dari utang pemerintah. Pada tahun 2015 utang sekuritas 41 persen dari utang pemerintah.
Apa yang melanda ekonomi Indonesia sesungguhnya bersumber dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sendiri. Banyak kebijakan yang dikeluarkan tidak mempertimbangkan realitas nasional dan perkembangan ekonomi global.
Pemerintahan Jokowi-JK terkesan sangat ambisius. Hal ini tergambar dalam berbagai megz proyek infrastruktur seperti pembangkit listrik 35 ribu MW, keeta cepat Jakarta-Bandung, mega proyek jalan tol, pelabuhan, airport dll yang dijanjikan oleh pemerintah ini kepada publik.
Untuk mencapai ambisi tersebut pemerintah menjalankan tiga garis kebijakan. Pertama, mengeruk sumber-sumber pajak dan penerimaan lainnnya dari dalam negeri. Kedua, memburu utang luar negeri dan investasi asing sebesar-besarnya. Ketiga, mengurangi sebesar-besarnya subsidi terhadap perekonomian nasional.
Dalam situasi pelemahan ekonomi, pemerintahan Jokowi-JK justru menetapkan target APBN-P 2015 yang sangat tinggi. Target pajak naik menjadi Rp 1.484.589,3 miliar atau naik senilai Rp 104.597,7 miliar atau 7,6 persen dibandingkan dengan target APBN tahun 2015. Selanjutnya target pendapatan cukai naik senilai Rp 141, 739, 9 miliar, atau naik sebesar 11, 8 persen jika dibandingkan dengan target dalam APBN 2015. Padahal APBN 2015 sendiri ditargetkan naik 30 persen tidak tercapai. Dengan demikian target APBN P juga tidak akan mungkin tercapai.
Tidak hanya itu. Untuk mengumpulkan uang dalam merealisasikan berbagai mega proyek pemerintah telah memangkas habis subsidi. Bulan November 2014 menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar rata-rata 34 persen. Akibatnya, ekonomi Indonesia langsung lesu, bagai tubun kehilangan darah. Kebijakan ini langsung menyebabkan kenaikan harga-harga atau inflasi yang tinggi dan langsung memukul daya beli masyarakat. Padahal konsumsi masyarakat menyumbangkan 57 persen PDB Indonesia.
Ambisi mega proyek pemerintah akan menambah ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri dan modal asing. Jokowi yang agresif membuat MOU dengan Cina dalam hal investasi dan utang. Puluhan MOU dibuat untuk mendapatkan utang Cina dan investasi Cina. Langkah Jokowi memburu utang adalah membahayakan mengingat besarnya beban utang luar negeri Indonesia saat ini.
Hal yang paling membahayakan dari strategi pembangunan infrastruktur yang mengandalkan investasi asing, utang luar negeri dan barang barang impor adalah akan semakin parahnya nerac eksternal Indonesia karena membengkaknya kewajiban luar negeri. Mengingat infrastruktur tidak menghasilkan barang barang ekspor atau pendapatan ekspor. Bayangkan investasi ini mengeruk rupiah dari rakyat unuk membayar kewajiban luar negeri dalam bentuk mata uang Dollar. Sanggupkah?
Kalau diibaratkan satu tahun pemerintahan Jokowi-JK "seperti mendaki gunung yang tinggi hanya untuk mengejar pelangi". Sebuah ambisi yang sia-sia! Jokowi bisa saja membawa rakyat terjun ke dalam jurang penderitaan yang semakin dalam. (*)
http://www.teropongsenayan.com/32305...tahan-jokowi-1
Sementara secara internal ekonomi Indonesia menghadapidua anomaly yang ekstrim sebagaimana dikatakan Bank Dunia yakni daya beli masyarakat yang menurun dan inflasi (kenaikan harga-harga) yang tinggi. Dua keadaan ini akan berimplikasi langsung kepada industry yang terpaksa harus membiayai bahan baku yang mahal sementara penjualan mreka jatuh. Kondisi ini merupakan sebab dari kaburnya beberapa perusahaan ke luar negeri dalam beberapa waktu terakhir. Jika in berlanjut maka pemerintah berpotensi kehilangan penerimaan pajak dalam jumlah besar.
Parahnya lagi langkah pemerintah menjawab persoalan dengan menaikkan harga energi primer yakni BBM dan listrik, menakkkan target pajak dan cukai. Kebijakan yang justru memukul industri nasional dan ekonomi rakyat sekaligus. Jika dampak pelemahan ini berlanjut maka dapat dipastikan bahwa target pajak pemerintah pada tahun 2016 tidak akan tercapai sebaimana yang terjadi pada tahun 2015 lalu.
Satu-satunya yang menjadi andalan pemerintah adalah utang, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri untuk menutup defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pilihan utang juga ditujukan untuk membiayai mega proyek infrastruktur yang menjadi ambisi utama pemerintahan ini. Strategi yang menyandarkan pada utang dan investasi asing akan menimbulkan masalah di masa depan yakni meningkatnya beban eksternal.
Tekanan Eksternal Meningkat
Sepanjang tahun 2015 hingga 2016 hingga kwartal 3 Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan senilai US $ - 12, 438 miliar. Defisit inj terutama bersumber dari defisit pendapatan primer yang mencapai US $ - 12, 316 miliar dikarenakan aliran keuntungan investasi asing yang masih besar dan cicilan utang serta bunga yang tinggi.
Cadangan devisa terus merosot karena digunakan untuk melakukan intervensi pasar dalam menjaga stabilitas rupiah. Meskipun itu tidak tercapai namun cadangan devisa jauh berkurang. Dalam satu tahun terakhir cadangan devisa berkurang dari US $ 111, 861 miliar menjadi US $ 100, 240 miliar pada Desember 2015 atau berkurang senilai US $ 10, 142 atau sekitar Rp 162 triliun hilang dengan sia-sia.
Tidak hanya itu, untuk mengumpulkan uang dalam merealisasikan berbagai mega proyek , pemerintah telah memangkas habis subsidi. Bulan November 2014 menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar rata-rata 34 persen. Akibatnya, ekonomi Indonesia langsung lesu, bagai tubuh yang kehilangan darah. Kebijakan ini langsung menyebabkan kenaikkan harga barang-barang ( inflasi) yang tinggi dan langsung memukul daya beli masyarakat. Padahal konsumsi masyarakat menyumbangkan 57 persen PDB Indonesia.
Utang luar negeri swasta terus membengkak, melebihi utang pemerintah. Bank Indonesia melaporkan posisi jumlah utang luar negeri per November 2015 tumbuh 3, 2 persen secara year on year (yoy) atau tercatat senilai US $ 304,6 miliar. Peningkatan pertumbuhan utang didorong oleh pertumbuhan utang luar negeri berjangka panjang sebesar 6, 1 persen (yoy), sementara pada Oktober 2015 tercatat sebesar 5, 5 persen. Sebelumnya, BI melaporkan posisi utang luar negeri pada akhir kwartal III/2015 tercatat sebesar US $ 302, 4 miliar. Utang luar negeri swasta yang melebihi utang luar negeri pemerintah mengikuti pola krisis 1998. (FinancialBisnis.com, Senin, 18/02/2016).
Baru-baru ini Moody's mengeluarkan penilaian tentang utang Indonesia. Lembaga pemeringkat utang ini menyatakan bahwa Indonesia's growth to stabilize, but external vulnerabilities remain, dalam laporannya Moody's menyatakan bahwa utang luar negeri Indonesia secara keseluruhan sekitar 35 persen dari PDB pada tahun 2015, tapi depresiasi rupiah adalah menekan utang sektor swsta (Moody's, Februari 11, 2016). Penyebab utamanya adalah menurunnya harga komoditas yang selama ini menjadi andalan Indonesia.
Sementara pemerintah terus menumpuk utang untuk menambal fiskal, Data Bank Dunia (Desember 2015) menyebutkan utang pemerintah berdenominasi valuta asing mengalami peningkatan sebesar 80 persen. Disebutkan tanggal 2 Desember, pemerintah telah menerima Rp 510, 4 triliun dari penerbitan sekuritas dan US $ 3, 89 miliar (sekitar Rp 53 trilliun) dari pinjaman resmi luar negeri.
Sebelumnya Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah baik dari dalam negeri maupun luar negeri sampai dengan 31 Oktober 2015senilai Rp 3.021 triliun meningkat dari Rp 2.608 triliun dari 2014. Pemerintah telah menambah utang senilai Rp 412, 52 triliun sepanjang 2015. Terbesar tambahan dari penerbitan sekuritas yakni Rp 1.931 triliun menjadi Rp 2.291 trilliun atau senilai Rp 360, 57 triliun.
Kementerian Keuangan terus menggenjot utang dari penerbitan sekuritas dan akan menjadi pilihan utama pembiayaan APBN dalam tahun mendatang. Menteri Keuangan Bambanb S Brodjonegoro mengatakan bahwa 2016 pemerintah berencana akan menciptakan utang senilai Rp 600 triliun. Dalam rencana Kementerian Keuangan komposisi utang sekuritas tahun 2016 sebesar 71 persen dari utang pemerintah. Pada tahun 2015 utang sekuritas 41 persen dari utang pemerintah.
Apa yang melanda ekonomi Indonesia sesungguhnya bersumber dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sendiri. Banyak kebijakan yang dikeluarkan tidak mempertimbangkan realitas nasional dan perkembangan ekonomi global.
Pemerintahan Jokowi-JK terkesan sangat ambisius. Hal ini tergambar dalam berbagai megz proyek infrastruktur seperti pembangkit listrik 35 ribu MW, keeta cepat Jakarta-Bandung, mega proyek jalan tol, pelabuhan, airport dll yang dijanjikan oleh pemerintah ini kepada publik.
Untuk mencapai ambisi tersebut pemerintah menjalankan tiga garis kebijakan. Pertama, mengeruk sumber-sumber pajak dan penerimaan lainnnya dari dalam negeri. Kedua, memburu utang luar negeri dan investasi asing sebesar-besarnya. Ketiga, mengurangi sebesar-besarnya subsidi terhadap perekonomian nasional.
Dalam situasi pelemahan ekonomi, pemerintahan Jokowi-JK justru menetapkan target APBN-P 2015 yang sangat tinggi. Target pajak naik menjadi Rp 1.484.589,3 miliar atau naik senilai Rp 104.597,7 miliar atau 7,6 persen dibandingkan dengan target APBN tahun 2015. Selanjutnya target pendapatan cukai naik senilai Rp 141, 739, 9 miliar, atau naik sebesar 11, 8 persen jika dibandingkan dengan target dalam APBN 2015. Padahal APBN 2015 sendiri ditargetkan naik 30 persen tidak tercapai. Dengan demikian target APBN P juga tidak akan mungkin tercapai.
Tidak hanya itu. Untuk mengumpulkan uang dalam merealisasikan berbagai mega proyek pemerintah telah memangkas habis subsidi. Bulan November 2014 menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar rata-rata 34 persen. Akibatnya, ekonomi Indonesia langsung lesu, bagai tubun kehilangan darah. Kebijakan ini langsung menyebabkan kenaikan harga-harga atau inflasi yang tinggi dan langsung memukul daya beli masyarakat. Padahal konsumsi masyarakat menyumbangkan 57 persen PDB Indonesia.
Ambisi mega proyek pemerintah akan menambah ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri dan modal asing. Jokowi yang agresif membuat MOU dengan Cina dalam hal investasi dan utang. Puluhan MOU dibuat untuk mendapatkan utang Cina dan investasi Cina. Langkah Jokowi memburu utang adalah membahayakan mengingat besarnya beban utang luar negeri Indonesia saat ini.
Hal yang paling membahayakan dari strategi pembangunan infrastruktur yang mengandalkan investasi asing, utang luar negeri dan barang barang impor adalah akan semakin parahnya nerac eksternal Indonesia karena membengkaknya kewajiban luar negeri. Mengingat infrastruktur tidak menghasilkan barang barang ekspor atau pendapatan ekspor. Bayangkan investasi ini mengeruk rupiah dari rakyat unuk membayar kewajiban luar negeri dalam bentuk mata uang Dollar. Sanggupkah?
Kalau diibaratkan satu tahun pemerintahan Jokowi-JK "seperti mendaki gunung yang tinggi hanya untuk mengejar pelangi". Sebuah ambisi yang sia-sia! Jokowi bisa saja membawa rakyat terjun ke dalam jurang penderitaan yang semakin dalam. (*)
http://www.teropongsenayan.com/32305...tahan-jokowi-1
Polling
0 suara
kalau pilihannya hanya ada dua, lebih milih jokowi atau kader pks yang jadi presiden
0
3.2K
Kutip
37
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
681KThread•48.9KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya