Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
PON sebaiknya ditiadakan

Buat apa PON bila mencederai sportivitas dan menafikan prestasi?
Indonesia memang nyaris tidak pernah becus menyelenggarakan hajatan akbar olahraga. Selalu ada saja cacatnya. Silakan lihat rekam jejak kompetisi (profesional) sepak bola di Indonesia, sebagai contoh.

Jadi, ketika PON XIX 2016 di Jawa Barat (Jabar) disebut kacau oleh para pengguna Twitter, jangan-jangan itu adalah pembuktian.

Kekacauan PON dari masa ke masa selalu terjadi. Bahkan pada edisi Jabar (resmi bergulir pada 17-29 September)--pada masa keterbukaan dan kemudahan informasi dewasa ini-- gaung kekacauannya menjadi lebih kencang.

Daftar kekacauan pun cukup panjang. Pada cabang olahraga (cabor) sepak bola, suporter DKI Jakarta dan Jawa Barat saling adu lempar benda. Hal seperti ini sebenarnya lazim dalam pertandingan sepak bola tanah air, tapi panitia PON justru gagal mengantisipasi.

Pada cabor polo air, kericuhan justru lebih parah. Pemain (Jabar vs Sumatera Selatan) adu jotos. Lalu beberapa prajurit militer yang bertugas menjaga keamanan justru menjadi suporter dan menganiaya para pemain polo air DKI Jakarta yang sebenarnya sedang menjadi penonton.

Pada cabang bola basket, kericuhan juga terjadi. Tim Papua Barat memprotes kepemimpinan wasit ketika melawan Jabar di GOR C-Tra Arena, Bandung, Rabu (21/9). Menurut laporan Detik Sport, wasit terpaksa meninggalkan gelanggang ketika tim Papua Barat melakukan protes. Pertandingan dalam babak Grup B itu dimenangi Jabar 73-59.

Masalah wasit juga menjadi keluhan di arena karate. Kontingen DKI Jakarta sempat mengancam mundur (walk out). Bahkan Pengurus Besar Federasi Olahraga Karate-do Indonesia (PB FORKI) menilai wasit/juri tidak objektif dalam memimpin pertandingan.

Ketua PB Forki, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, bahkan enggan memberi kalung medali kepada para juara lantaran kecewa pada kinerja wasit. Ia berjanji menurunkan tim untuk mengevaluasi kinerja wasit, seperti yang dikabarkan Manado Post (h/t Jawa Pos).

Kinerja wasit juga menjadi "dalang" aksi mundur kontingen judo Jawa Timur (Jatim) dan Jakarta. Bahkan Jatim menunjukkan protes kerasnya dengan tidak hadir pada hari terakhir pertandingan alias boikot, Senin (19/9).

Daftarnya belum berhenti di cabor judo. Nada miring terjadi pula di cabor berkuda. VIVA mengabarkan tujuh kontingen melakukan protes karena Jabar mendapat dua jatah gratis (wild card). Padahal, menurut manajer berkuda DKI Jakarta, Alex Asmasoebrata, di Pordasi (Persatuan Berkuda Seluruh Indonesia) tidak ada fasilitas wild card.

Tapi Wakil Ketua III PON 2016, Rudi Gandakusuma, kepada Merdeka.com, menegaskan masalah wild card sudah diatur dalam Technical Hand Book (THB) cabor berkuda pacuan khusus. Rudi menampik bila hal itu disebut kecurangan.

Dengan segala isu miring itu, tidak heran kontingen gulat Kalimantan Timur--juara bertahan di PON--meminta wasit mampu bekerja sportif.

Mengeluhkan kinerja wasit memang wacana klasik di dunia olahraga Indonesia. Paling mudah ditemui, lagi-lagi sebagai contoh, di kompetisi sepak bola nasional. Ketika tim A menyatakan tuan rumah curang, tim A akan berganti mendapat predikat curang saat menjadi tuan rumah. Dan begitu seterusnya.

Jadi, soal kecurangan ini bakal sulit dibuktikan. Dia tercium tapi tidak terlihat bentuknya. Pada akhirnya atlet mau tak mau harus legawa, meski itu bukan hal ringan.

Di negara mapan, wasit yang tidak memuaskan juga bisa berlaku. Tapi protes berlebihan, apalagi hingga menyerang wasit, sangat jarang terjadi. Para atlet (dan tim) tahu batasnya. Ini memang masalah sportivitas. Ya wasit, ya pengurus tim, dan para atlet. Semua harus bersama menjunjung itu. Mulai melakukannya pun harus bersamaan. Bukan lagi debat kusir, mana yang duluan antara ayam dan telur.

Jadi bila nilai sportivitas menuai cedera di PON 2016, termasuk beberapa PON edisi silam, lalu untuk apa sebenarnya ajang ini digelar?

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 17/2007 Tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga menjawab pertanyaan itu. Pasal 10 ayat 1 menjelaskan tujuan PON. Pertama, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, menjaring bibit atlet potensial. Dan ketiga, meningkatkan prestasi olahraga.

Pasal 3 ayat b dan d pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16/2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan juga mengatur masalah pembinaan ini. Pemerintah pusat dan daerah punya tugas pembinaan dan pengembangan (pelaku) olahraga.

Selama ini pembinaan tak berdaya lantaran pemerintah daerah dengan bebas mengambil atlet dari daerah lain. Ini memang legal karena diatur dalam Surat Keputusan (SK) Komite Olahraga Nasional lndonesia No. 56/2010.

Tapi mutasi atlet dimaksud bukan berarti mudah dilakukan. Pasal 3 SK tersebut menyatakan mutasi atlet menganut azas domisili. Untuk pindah ke provinsi lain, seorang atlet harus menyertakan KTP dan Kartu Keluarga. Tapi pada praktiknya, atlet sedemikian mudah berpindah dari satu provinsi ke provinsi lain saat PON mendekati hari-H.

Ini juga isu pelik. Seorang atlet mengatakan bonus atau bayaran menjadi atlet PON sebuah provinsi cukup sulit ditolak.

Peraih medali perak angkat besi Olimpiade Rio 2016, Eko Yuli Irawan, misalnya, mengaku bisa mengantongi uang Rp150 juta hingga Rp250 juta untuk tampil di PON. Eko, atlet asal Lampung yang tampil mewakili Jatim di PON 2016, membenarkan ada jurang besar antara pembinaan dan PON. Dengan kata lain PON relatif gagal. PON sebagai etalase hasil pembinaan bisa dipertanyakan.

Andai diurus serius, PON bisa memamerkan hasil positif. Contohnya, hujan rekor pada cabor renang di PON 2016. Tapi hasil positif tak bergema karena dilindas kabar negatif dengan segala kericuhan yang ada. Jadi, lumayan lengkap. PON gagal menjadi ajang pameran prestasi pembinaan atlet dan sportivitas. Ini belum termasuk sejumlah catatan miring soal manajemen penyelenggaraan.

Tengok saja dana PON masa lalu yang justru jadi sumber korupsi. Kemudian mayoritas arena (venue) PON masa lalu (Kaltim 2008 dan Riau 2012) yang terbengkalai. Harian Kompas punya laporannya. Padahal biaya total pembangunan arena itu tidak murah. Arena PON Kaltim memakan biaya Rp3,5 triliun. Sedangkan arena PON Riau menghabiskan sedikitnya Rp1,18 triliun.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), perlu memikirkan apakah PON memang masih layak diadakan atau direvisi atau justru dihapus total. Daripada demi kebanggaan daerah, lebih baik membesarkan klub.

Ryan Gozali, CEO Liga Mahasiswa, kepada Beritagar.id, mengatakan bahwa PON dalam dunia ideal tidak lagi dibutuhkan. Para pemain justru membutuhkan kompetisi yang rutin digelar. Bila pun harus digelar, buat saja batasan usia dan kategori. Atlet profesional dilarang ikut, misalnya.

PON yang digelar empat tahun sekali justru seperti tak punya dasar pembinaan. Anda bisa membayangkan seorang atlet dibina selama bertahun-tahun kemudian tampil singkat dalam satu pekan olahraga.

Lihatlah Olimpiade yang juga digelar setiap empat tahun sekali. Para atlet yang tampil di sana tampil rutin di ajang olahraga yang mereka geluti dari waktu ke waktu.

Ambil contoh pemain bulu tangkis yang tampil rutin dari satu turnamen ke turnamen lain sepanjang tahun. Begitu pula pemain atletik (dunia) yang bersaing rutin dari satu sirkuit ke sirkuit lain.

Di Indonesia justru sebaliknya. Berapa kali turnamen karate nasional berlangsung sepanjang tahun? Begitu pula ajang berkuda, polo air, dan banyak cabor lain. Seberapa rutin?

Jumlah cabor yang banyak di PON juga tidak selaras dengan perjalanan Indonesia di ajang internasional; SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Jadi untuk apa menambah banyak cabor di PON? Misalnya untuk PON XX 2020 di Papua yang akan mempertandingkan 44 cabor dan 12 cabor ekshibisi.

Ajang olahraga nasional lebih baik dibagi ke masing-masing cabor dan diawasi ketat sesuai aturan main oleh Kemenpora dan Komite Olahraga Indonesia (KOI). Masing-masing pengurus cabor tahu bagaimana melakukan pembinaan yang sistematis, berjenjang, rutin, dan konsisten.

Dan dalam wacana ideal, PON memang tidak lazim. Dunia kini mengenal sebuah konsep kompetisi antarklub atau sebuah liga. Bahkan para pemain yang mewakili negara sekalipun (bukan klub), masih bisa tampil dengan format liga. Contohnya Liga Atletik Diamond.

PON jelas menabrak kelaziman masa kini. Bahkan andaikata kompetisi cabor mulai rutin berjalan dan rapi, keberadaan PON justru merusak kalender.

Jadi, buat apa PON digelar?



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...nya-ditiadakan

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Made Sandy Salihin: Pelit banget bunuh orang dengan segelas kopi

- Irman Gusman diberhentikan

- Saat promosi GrabBike dituding mengekspos kekerasan

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
18K
65
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread733Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.