Lima belas tahun lalu pada 11 September 2001, menara kembar World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, binasa. Gedung setinggi lebih dari 400 meter itu menjadi target serangan teror oleh kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Hampir 3000 orang tewas setelah 19 pelaku bom bunuh diri yang terafiliasi dengan Al-Qaeda membajak empat pesawat dan menabrakkannya ke menara kembar, Pentagon di Washington, dan sebuah tanah lapang di Shanksville, Pennsylvania.

Akibat serbuan serba mendadak itu pula, Amerika Serikat pun meluncurkan kampanye militer bertajuk Perang Melawan Terorisme (War on Terror). Melaluinya, AS, Inggris, dan negara-negara sekutunya menggelar serbuan atas kelompok maupun pemerintahan yang mereka labeli teroris.

Di dalam negeri, problem yang menyeruak dari kehancuran tak tepermanai itu masih belum sudah. Dilansir laman USA Today, para penyintas--yakni orang-orang yang berhasil selamat dari tragedi--mesti bergelut dengan hidup yang compang-camping. Banyak yang masih belum bisa mendapatkan pekerjaan kembali karena menderita stres pascatrauma (PTSD).

Keluarga 1.113 korban meninggal--dari total 2.753 tewas--masih harus menunggu hasil dari pihak berwenang yang terjun dalam identifikasi jenazah. Hingga kini, kepastian biologis mengenai kematian anggota keluarga mereka tidak kunjung dirilis.

"Sekitar 40 persen hingga 50 persen keluarga tidak mendapatkan bagian tubuh anggota keluarganya. Hanya sedikit saja yang mendapatkan jasad utuh. Kadang, keluarga cuma menerima cincing kimpoi yang masih menempel di jari, atau tulang rahang bergigi belaka," ujar seorang pengelola milis tragedi 11 September, Arnold Korotkin dikutip USA Today.

Menjelang hari perayaan, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, seperti ditulis oleh NBC News, secara bulat meloloskan legislasi yang bakal memungkinkan para keluarga koran untuk menggugat pemerintah Arab Saudi. Peluang terbuka jika negeri kaya minyak itu terbukti bertanggung jawab dalam menyokong aksi teror di tanah Amerika.

Rancangan Undang-undang itu saat ini menunggu persetujuan Presiden Barack Obama. Namun, menurut NBC News, posisi Gedung Putih atas RUU tersebut berseberangan dengan DPR. Pasalnya, pemerintah AS khawatir gugatan serupa dapat pula dilayangkan kepada mereka.

"Sulit membayangkan Bapak Presiden menandatangani legislasi itu," ujar sekretaris urusan pers Gedung Putih, Josh Earnest, pada Mei.

Obama memiliki waktu 10 hari untuk memveto RUU tersebut untuk mencegah keberlakuannya secara otomatis menjadi Undang-undang.

Dalam pidato mingguannya yang dapat disimak lewat radio dan Internet, Presiden Obama angkat topi atas keberanian para penyintas dan petugas tanggap darurat yang ada di lapangan.

"Ketika berhadapan dengan terorisme," ujarnya dikutip Al Jazeera, Minggu (11/9), "cara kita bereaksi atasnya sungguh berarti. Kita tidak boleh menyerah terhadap orang-orang yang ingin mencerai-beraikan kita. Kita tidak boleh menanggapi dengan cara yang dapat mengoyak" kesatuan masyarakat.

"Keberagaman kita, keterbukaan kita atas para pendatang, cara kita memperlakukan orang dengan adil--apa pun ras, gender, suku, atau agamanya--menjadi bagian dari hal membuat negara kita besar. Hal-hal demikianlah yang membuat kita tahan banting," ujar sosok yang bakal mengakhiri masa jabatannya pada Januari 2017.

Obama pada kesempatan itu juga berjanji bakal terus memerangi kelompok Al-Qaeda dan ISIS yang bergerak di Timur Tengah dan Eropa.

"(Al-Qaeda dan ISIS) akan kita hancurkan. Dan kami akan terus berupaya keras melindungi tanah air kita," kata Obama.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...ara-kembar-wtc

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Mobil-mobil yang pernah berperan dalam film Warkop DKI

- Usaha menjadi Dono, Kasino, Indro dalam Warkop DKI Reborn

- RioAlvansyah: Aku ingin jadi juara bulutangkis buatmama