PROLOG
Sorot matanya menatap tajam hamparan gedung – gedung pencakar langit yang dilengkapi dengan cahaya gemerlapan dari atas sebuah rooftop gedung tertinggi di Metropolis. Sejenak ia menutup kedua matanya mencoba menikmati hembusan angin malam berhawa panas. Tidak ada kesejukan di kota ini kecuali penemuan brilian yang dinamakan
Air Conditioning (AC). Sumpek satu kata yang melintas dibenaknya.
Rambutnya telah memanjang, terakhir ia memangkasnya adalah sehari sebelum kelulusan SMA-nya. Masa – masanya sebagai remaja bengal langganan guru BP telah berakhir. Sekarang ia bingung dengan masa depan dihadapannya.
‘Apa yang harus aku lakukan?’
Pertanyaan itu seakan – akan selalu saja menganggunya. Memaksa untuk dijawab seolah – olah tidak akan ada hari esok. Realita seakan mengejarnya seperti seorang polisi mengejar penjahat. Dunia cukup kejam, huh?!
Seharusnya saat ini ia sedang duduk disofa rumahnya sambil meminum segelas susu cokelat hangat ditemani sosok ayah dan ibu. Membagi keluh kesahnya akan masa depan. Masa dimana ia harus berdiri dibawah kakinya sendiri. Masa dimana ia harus mulai menyadari tanggung jawabnya sebagai pria dewasa. Tapi semua itu hanya menjadi impian fana seorang Darren Pradipta yang takkan pernah terwujud. Orang tuanya bercerai dua hari setelah hari kelulusan dan setelah itu mereka sibuk dengan diri mereka sendiri.
Apa kau baik – baik saja?
Orang – orang disekitarnya tak berhenti menanyakan hal itu hingga Darren sampai pada limit dimana dirinya sudah tak mampu lagi menerima pertanyaan simple itu. Ingin sekali ia berteriak dengan kencang tepat didepan wajah orang – orang sok peduli itu.
I’m not fucking okay! I’m broken…
Tentu saja hal itu urung dilakukan. Buat apa ia harus buang energi untuk menceritakan isi hatinya pada orang – orang tak jelas seperti itu. Jadi disinilah ia! Rooftop sebuah gedung pencakar langit. Mencoba menjauh dari semua orang yang menatapnya dengan pandangan kasihan dan menghakiminya sebagai sosok broken home. Tak terlintas sedikit pun dipikirannya untuk menjadi anak emo yang akan menyayat pergelangan tangannya dengan silet tajam untuk mencari perhatian. Atau seorang junkies yang dengan tololnya menjatuhkan diri di kubangan obat – obatan terlarang hingga mati. Atau menggantung dirinya di langit – langit kamar hingga tewas dan akhirnya menjadi headline di koran kriminal.
I’m in pain but I’m not that stupid!
I just wanna be alone FOR A WHILE!
Ditengah – tengah renungannya, Darren dikejutkan dengan suara yang memang sudah familiar ditelinganya.
“Ternyata kau ada disini.”
Suara familiar itu milik sahabatnya Erick Alcander, anak si pemilik gedung pencakar langit. Seulas senyuman tercetak jelas diwajahnya. Darren pun berbalik dan melihatnya berdiri tak jauh di belakangnya.
“Rokok?”
Tanpa aba – aba ia melempar sebungkus rokok menthol kearahnya. Tangan kanannya menangkap sebungkus rokok menthol yang isinya sudah berkurang satu itu. Ia mengambil sesebatang rokok lalu menyelipkannya disela – sela sebelum menyalakannya dengan pemantik berwarna silver berlogo kuda yang selalu dibawanya disaku jeans-nya. Pemantik itu pemberian Donny Geraldine, anak angkat seorang mafia Italia yang juga sahabat baiknya.
“Waktu berlalu sangat cepat.” Ujar Erick setelah menghembuskan gumpalan asap putih dari mulutnya. “Aku masih merasa jika kemarin baru saja di MOS.”
Darren masih saja diam tak menanggapi perkataan Erick yang menurutnya terlalu sentimental. Ia menyibukkan dirinya dengan menghisap rokok putih itu hingga asap memenuhi paru – parunya lalu menghembuskannya dengan ekspresi nikmat tiada tara. Rokok memang membuatnya melupakan kesuraman hidupnya walau untuk sejenak.
“Apa rencanamu setelah ini?”
Ia mengedikkan bahunya karena tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin didunia ini cuma dirinya saja yang tidak punya rencana masa depan.
“Keichiro dan Donny telah memilih pilihan hidup mereka. Sekarang giliranmu Darren.”
Kali ini perkataan Erick benar – benar menohok ulu hatinya. Keichiro, pria keturunan Jepang yang penakut itu telah kembali ke Jepang untuk mengambil alih posisinya sebagai ketua Yakuza dari Klan Yamaguchi. Sedangkan Donny ditugaskan ayahnya, Don Geraldine, dalam misi penaklukan Golden Triangle dimana ia harus membangun kerajaan bisnis narkotiknya di perbatasan Thailand, Filipina dan Myanmar. Ia benar – benar merasa jika dirinya adalah seorang pecundang sejati yang tak punya masa depan.
“Ikutlah denganku ke Paris.”
Darren tersenyum kecut. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia terdiam cukup lama, berusaha untuk fokus mencari jawaban yang pas untuk menanggapi perkataan Erick.
“Dengan satu syarat.” Jawabnya dengan suara bariton yang selalu membuat lawan jenis terpesona. “Aku akan mencari pekerjaan. Tinggal di flat kecil dan menikmati waktuku sendiri. Intinya aku butuh waktu untukku sendiri Erick.”
“Baiklah kalau begitu!”
Dua hari kemudian, Darren berangkat ke Paris bersama Erick dan keluarga besar Alcander. Sementara itu Rafael Pradipta sang ayah mendengar kabar keberangkatan putra sulungnya dari Anthony Alcander, sahabat baik yang juga ayah dari Erick.
***