Sumber:
http://finance.detik.com/read/2016/0...terlalu-tinggi
APBN-P 2016 Dipangkas, Sri Mulyani: Target Pajak Terlalu Tinggi
Maikel Jefriando - detikfinance
Rabu, 31/08/2016 18:44 WIB
Foto by Lamhot Aritonang
Jakarta -Keputusan pemangkasan belanja negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 bukan secara tiba-tiba. Bila diusut, maka ini sebenarnya berawal dari target penerimaan pajak yang terlalu tinggi.
Demikian disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat kerja dengan Komisi XI, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Sri Mulyani menjelaskan, dalam perencanaan APBN, target pajak disusun berdasarkan APBN-P di tahun sebelumnya. Bukanlah proyeksi realisasi. Sehingga targetnya menjadi sangat tinggi. Untuk 2016, ada peningkatan sampai dengan 30% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu.
"APBN 2 tahun terakhir diproyeksikan dari sisi perencanaan itu basisnya APBN-P, bukan realisasinya. Sehingga 2016 dihadapkan situasi target penerimaan sangat tinggi dibanding realisasinya. Pertumbuhan mencapai 30% dibandingkan 2015," ujarnya.
Padahal menurut Sri Mulyani, penerimaan pajak cuma bisa meningkat sekitar 10-15%. Perhitungannya adalah realisasi pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi dan usaha tambahan dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).
"
Tahun ini seharusnya secara alamiah adalah sekitar 9%, ditambah dengan extra effort itu sekitar 6-7%. Tapi kenyataannya pajak diminta 30%," terang Sri Mulyani.
Meski demikian, APBN sudah disepakati menjadi Undang-undang (UU). Sekarang menjadi pilihan pemerintah adalah memangkas belanja negara sebesar Rp 137,2 triliun, karena ada
kekurangan penerimaan sebesar
Rp 219 triliun.
"Ini adalah implikasi. Dari sisi bagaimanapun kelola APBN ini, saya sebagai Menkeu harus jalankan APBN berstatus UU," pungkasnya.
(mkl/wdl)
Quote:
Original Posted By beduleuy►
Di Depan DPR, Sri Mulyani Paparkan Beratnya Kondisi APBN Sampai Harus Dipangkas
Maikel Jefriando - detikfinance
Rabu, 31/08/2016 18:00 WIB
Jakarta -Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengakui beratnya kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016. Sehingga, pemerintah harus kembali memangkas belanja.
Belanja negara dalam APBN-P 2016 ditetapkan Rp 2.082,9 triliun. Dengan pendapatan negara ditargetkan mencapai Rp 1.786,2 triliun, maka terdapat defisit anggaran yang ditutup melalui pembiayaan Rp 296,7 triliun.
Sri Mulyani menilai, postur tersebut penuh dengan risiko, karena target penerimaan diperkirakan tidak tercapai. Ada kekurangan penerimaan negara Rp 219 triliun, meskipun telah menyertakan program pengampunan pajak atau tax amnesty.
Dalam asumsi pemerintah, ada tambahan penerimaan negara Rp 165 triliun dari program tersebut.
"Kita memang memasukkan tax amnesty bersama keseluruhan APBN-P. Jadi dalam APBN itu di mana pendapatan perpajakan dianggarkan sekian, itu kemudian kita lakukan kajian dengan Kanwil Pajak dan hasilnya adanya shortfall," ungkap Sri Mulyani, dalam kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, (31/8/2016).
Dalam pengelolaan APBN, ada tiga pilihan yang bisa ditempuh oleh pemerintah. Terutama ketika realisasi penerimaan yang direncanakan lebih rendah atau ada situasi yang memaksa belanja melonjak dari yang seharusnya.
Pilihan pertama adalah pelebaran defisit. Batas defisit yang diperbolehkan dalam Undang-undang (UU) Keuangan Negara adalah 3%. Dalam APBN-P, defisit dipatok 2,35% yang kemudian diperlebar menjadi 2,5%.
"Kami perkirakan 2,5%, ada ruang sekitar 0,5% tambahan utang kalau memang diperlukan," jelasnya.
Kedua adalah dengan pemotongan anggaran, Rp 137,2 triliun. Ini terdiri atas belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan transfer ke daerah. "Pemotongan anggaran kita tempuh seperti yang sudah disampaikan," sebut Sri Mulyani.
Ketiga adalah manajemen arus kas. Ini lebih banyak diarahkan kepada proyek infrastruktur yang di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Misalnya yang tadinya satu tahun, dijadikan dua atau tiga tahun anggaran.
"Jadi di proyek oleh Kementerian PUPR, dari yang tadinya 1 tahun dijadikan 2-3 tahun. Jadi pencairan proyek itu tidak frontloading," pungkasnya.
Sri Mulyani memastikan, keputusan ini diambil setelah mempelajari kondisi APBN dengan sangat rinci. Termasuk berbicara dengan pihak-pihak terkait.
"Sekarang diperkirakan kekurangan Rp 219 triliun dan kemudian pemotongan Rp 137,2 triliun. Itu adalah proyeksi, berdasarkan best effort. Itu sudah dengan melihat secara detil. Ini yang kemudian menyebabkan hadirnya keputusan bagaimana mengelola risiko," paparnya.
(mkl/wdl)
Sumber:
http://finance.detik.com/read/2016/0...arus-dipangkas
Quote:
Sri Mulyani Temukan Kesalahan Jokowi Beri Anggaran Hingga 23, 3 Triliun
31 Agustus 2016
Komisi XI DPR rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membahas soal pemangkasan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016. Beragam dukungan dan kritik diluncurkan kepada Sri Mulyani.
Sri Mulyani memangkas anggaran belanja sebesar Rp 137,2 triliun yang meliputi belanja Kementerian Lembaga (KL) dan transfer ke daerah. Beberapa komponen yang termasuk yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan tunjangan profesi guru.
Kritik datang salah satunya dari Anggota Komisi XI Evi Zainal Abidin.
Alasan pemangkasan tunjangan profesi guru sebesar Rp 23,4 triliun, dikarenakan banyaknya anggaran fiktif. Menurutnya, b
erarti selama ini pemerintah kecolongan dalam penganggaran.
"Kalau benar ada, berarti data guru dan anggaran yang dicarikan harus diaudit, ke mana lari uangnya," ujar Evi dalam rapat kerja di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Evi juga meminta adanya rapat kerja yang melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sehingga dapat menjelaskan lebih lengkap tentang jumlah guru yang bersertifikasi dan seharusnya mendapatkan tunjangan.
Selanjutnya adalah Sarmuji, yang menuturkan pemangkasan anggaran seharusnya berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2016. Akan tetapi, menurut Sarmuji bahwa pemerintah masih tetap optimis dengan target asumsi 5,2%.
"Bagi saya tidak masuk akal terjadi pemangkasan, sementara asumsi lain tidak berubah, terutama pertumbuhan ekonomi," ujar Sarmuji.
Pada sisi lain, Anna Mu'awanah justru mendukung langkah yang ditempuh oleh Sri Mulyani. Menurutnya ini salah satu cara untuk membongkar adanya inefisiensi dalam penganggaran APBN. Audit bisa diserahkan sepenuhnya kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Menurut saya ibu Brilian, akhirnya bisa membuka kalau ternyata ada inefisiensi selama ini. Kita bisa lanjutkan dalam audit oleh BPK," terang Anna.
Quote:
Muncul Usulan Aspirasi Daerah, Raker Sri Mulyani dan DPR Memanas
Maikel Jefriando - detikfinance
Rabu, 31/08/2016 20:55 WIB
Jakarta -Rapat kerja (Raker) antara Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang tax amnesty dan pemangkasan anggaran, mendadak panas di saat-saat akhir penentuan kesimpulan rapat.
Ini berawal dari usulan Komisi XI yang disampaikan Ketua Komisi Melchias Marcus Mekeng saat rapat di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Bunyinya adalah 'terkait dengan rencana pembangunan/proposal/aspirasi yang disampaikan pemda yang merupakan Dapil Anggota Komisi XI DPR RI kepada Kemenkeu. Komisi XI DPR RI meminta kepada Menteri Keuangan untuk mengkomunikasikan kepada anggota dari Dapil tersebut sesuai peraturan perundang-undangan'.
"Poin ini menjadi sangat penting agar ada hal yang lebih konkret untuk kita bawa ke daerah pemilihan (dapil), nggak cuma asumsi makro, inflasi," terang Melchias.
Atas poin tersebut, Sri Mulyani menolak secara halus. Menurutnya hal tersebut sudah keluar dari ruang lingkup Undang-undang (UU) MD3 yang disepakati beberapa tahun lalu.
"Harusnya sesuai dengan MD3 dilaksanakan saja. Kemenkeu sebagai mitra komisi XI, dimana Komisi XI memiliki Daerah Pemilihan (Dapil) dan akan mengusulkan program pembangunan yang dilakukan sama dengan komisi lain. Artinya bapak ibu sama seperti komisi lain," jawab Sri Mulyani.
Mantan Direktur Bank Dunia tersebut menambahkan bahwa memang dalam fungsi ini, tugas yang harus dijalankan terkait dengan makro ekonomi. Berbeda dengan komisi lain yang memang lebih spesifik kepada program.
"Jadi sebagai Komisi XI kan membawa asumsi makro, bukan sesuatu yang konkret. Pak Melchias di sana ternyata butuhkan bendungan silakan disampaikan. Itu tidak ada masalah. Kan di sini semua memperjuangkan bukan masalah calo, tapi rakyatnya memang butuh air. Kami akan melakukan seperti yang lain. Kan daerah pasti membutuhkan sesuatu untuk prioritas," paparnya.
Melchias sempat meminta agar persoalan ini dibahas lebih lanjut esok hari. Diharapkan dapat disertakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017. Akan tetapi ada pergantian format pembahasan.
"Ini usul saja, kalau kita bicara terus jadi panjang. Mungkin kita bahas besok. Nanti kita masukkan ke kesimpulan tapi ganti dengan bahasa yang lebih baik, supaya kita nggak bawa asumsi saja ke daerah," tutur Melchias.
Namun, anggota Komisi XI Edison Betaubun, tidak terima dengan penolakan halus Sri Mulyani. Menurut Edison, Kementerian Keuangan memiliki peran untuk masuk ke dalam anggaran instansi lain.
"Apakah tidak mungkin Kemenkeu tidak bisa membantu Komisi XI di daerah pemilihannya kalau ada pembangunan. Sebab, tidak mungkin Komisi XI bicara di Komisi IV atau V. Semua pengambilan keputusan terlibat Kemenkeu di situ. Kalau mau dibilang seperti tadi, mudah-mudahan terjadi di Banggar seperti itu. Supaya jelas. Kalau tidak, apa manfaatnya komisi XI," kata Edison.
"Kalau perlu anggaran KL lain juga bisa ditolak di sini, biar fair. Ini yang perlu menjadi perhatian kita. Karena kita juga di Banggar DPR dan mengamati permain-permainan yang ada di sini," terang Edison dengan nada yang semakin tinggi.
Sri Mulyani kemudian menjawab bahwa fungsi yang dijalankan antara pihaknya dengan Komisi XI sebenarnya jauh lebih besar dari yang dibahas komisi lain.
"Sebenarnya saya sedih sekali kalau dibilang asumsi makro nggak ada gunanya, gunanya besar sekali pak. Kalau kita punya. APBN yang baik, memang tidak sulit menjelaskan ke dapil. tapi ya kadang-kadang memang dibutuhkan kenegarawanan. Jadi itu penting sekali," ungkapnya.
"Saya paham, sedikit frustasi untuk menjelaskan ke daerah. Kami di Kemenkeu terikat dengan UU Keuangan Negara, bapak ibu terikat dengan MD3. Kalau hal bapak terikat dengan seluruh pasal di MD3. Ini merupakan suatu debat yang akan panjang," tegas Sri Mulyani.
(mkl/hns)