- Beranda
- The Lounge
Bernostalgia Dengan Deportivo La Coruna: Klub Galicia Terbaik di Spanyol
...
TS
haikalsyarief
Bernostalgia Dengan Deportivo La Coruna: Klub Galicia Terbaik di Spanyol
Era Keemasan Deportivo
Kemunduran Deportivo
ah, ane ga tau mau ngomong apa lagi, yang jelas ane suka banget klub ini dari tahun 1996 gan
ane masih ingat djalminha, makaay, pauleta...
Barcelona dan Madrid dulu ga berkutik gan, ane kangen sama deportivo, semoga musim ini bisa berbicara banyak, Amin.
Quote:
Sebagian dari kita mungkin memang sudah lupa bahwa Deportivo sejatinya pernah menjadi sebuah kesebelasan besar di Spanyol. Sebelum Atletico Madrid menyaingi Real Madrid dan Barcelona di La Liga saat ini, Deportivo adalah salah satu tim yang menakutkan bagi dua penguasa Liga Spanyol itu.
Selain menjadi juara dan runner-up pada periode 1999/2002, Depor pun menjadi juara Piala Super Spanyol pada tahun 2000 dan 2002.Bahkan pada 2002, Depor juga berhasil meraih trofi Copa Del Rey keduanya.
Trofi kedua Copa Del Rey itu pun diraih Deportivo dengan menjungkalkan Madrid pada partai puncak. Dua gol Depor yang diciptakan oleh Sergio Gonzalez dan Diego Tristan hanya mampu dibalas sebiji gol oleh Raul. Depor pun berpesta di Santiago Bernabeu.
Madrid memang cukup kesulitan mengalahkan Depor pada masa kejayaannya itu. Di Riazor, empat kali mereka pulang dengan tertunduk lesu. Bahkan pada musim 1998/1999, Madrid dihempaskan Depor dengan skor telak 4-0.
Barcelona pun tak luput dari ‘Super Depor’. Tercatat tiga kali Blaugrana berhasil ditumbangkan di stadion kebanggaan mereka, Camp Nou.
Tak hanya di Spanyol, Depor pun unjuk kehebatan di kompetisi Eropa. Prestasi terbaiknya di Eropa adalah dengan menjuarai Piala Intertoto UEFA 2008.
Di Liga Champions, meski raihan terbaik Depor hanya mencapai babak semifinal, Depor terkenal sebagai tim yang menciptakan kemenangan-kemenangan historis. Sejumlah kesebelasan top Eropa pun banyak yang telah menjadi korbannya.
Saat mencapai babak semifinal Liga Champions 2004, dua raksasa Italia ditumbangkan Depor. Pada babak 16 besar, dua leg kontra Juventus masing-masing berakhir dengan skor 1-0 untuk Depor. Sedangkan di perempatfinal, Milan dikalahkan dengan agregat 5-4.
Laga melawan Milan ini merupakan salah satu yang paling dikenang. Leg pertama di San Siro yang berakhir dengan skor 4-1 untuk kubu tuan rumah membuat banyak pihak memprediksi Milan akan melenggang ke babak semifinal. Namun yang terjadi di Riazor justru sebaliknya, gol yang diciptakan Walter Pandiani, Juan Valeron, Albert luque dan Fran Gonzalez membuat langkah Milan terhenti karena tak mampu mencetak satu pun gol.
Soal comeback, laga Milan bukan yang pertama. Pada musim 2000-2001, Paris Saint-Germain pun pernah dibuat tak berdaya di Riazor. Sempat unggul 3-0 hingga menit ke-55, Depor balik unggul menjadi 4-3 lewat hat-trick Pandiani dan satu gol Tristan.
Stadion Riazor kala itu memang cukup angker bagi banyak kesebelasan Eropa.Selain tim-tim di atas, Arsenal, Manchester United, Bayern Munich, dan Borussia Dortmund pun pernah menjadi korban keganasan Depor di stadion berkapasitas lebih dari 34 ribu penonton ini.
Selain menjadi juara dan runner-up pada periode 1999/2002, Depor pun menjadi juara Piala Super Spanyol pada tahun 2000 dan 2002.Bahkan pada 2002, Depor juga berhasil meraih trofi Copa Del Rey keduanya.
Trofi kedua Copa Del Rey itu pun diraih Deportivo dengan menjungkalkan Madrid pada partai puncak. Dua gol Depor yang diciptakan oleh Sergio Gonzalez dan Diego Tristan hanya mampu dibalas sebiji gol oleh Raul. Depor pun berpesta di Santiago Bernabeu.
Madrid memang cukup kesulitan mengalahkan Depor pada masa kejayaannya itu. Di Riazor, empat kali mereka pulang dengan tertunduk lesu. Bahkan pada musim 1998/1999, Madrid dihempaskan Depor dengan skor telak 4-0.
Barcelona pun tak luput dari ‘Super Depor’. Tercatat tiga kali Blaugrana berhasil ditumbangkan di stadion kebanggaan mereka, Camp Nou.
Tak hanya di Spanyol, Depor pun unjuk kehebatan di kompetisi Eropa. Prestasi terbaiknya di Eropa adalah dengan menjuarai Piala Intertoto UEFA 2008.
Di Liga Champions, meski raihan terbaik Depor hanya mencapai babak semifinal, Depor terkenal sebagai tim yang menciptakan kemenangan-kemenangan historis. Sejumlah kesebelasan top Eropa pun banyak yang telah menjadi korbannya.
Saat mencapai babak semifinal Liga Champions 2004, dua raksasa Italia ditumbangkan Depor. Pada babak 16 besar, dua leg kontra Juventus masing-masing berakhir dengan skor 1-0 untuk Depor. Sedangkan di perempatfinal, Milan dikalahkan dengan agregat 5-4.
Laga melawan Milan ini merupakan salah satu yang paling dikenang. Leg pertama di San Siro yang berakhir dengan skor 4-1 untuk kubu tuan rumah membuat banyak pihak memprediksi Milan akan melenggang ke babak semifinal. Namun yang terjadi di Riazor justru sebaliknya, gol yang diciptakan Walter Pandiani, Juan Valeron, Albert luque dan Fran Gonzalez membuat langkah Milan terhenti karena tak mampu mencetak satu pun gol.
Soal comeback, laga Milan bukan yang pertama. Pada musim 2000-2001, Paris Saint-Germain pun pernah dibuat tak berdaya di Riazor. Sempat unggul 3-0 hingga menit ke-55, Depor balik unggul menjadi 4-3 lewat hat-trick Pandiani dan satu gol Tristan.
Stadion Riazor kala itu memang cukup angker bagi banyak kesebelasan Eropa.Selain tim-tim di atas, Arsenal, Manchester United, Bayern Munich, dan Borussia Dortmund pun pernah menjadi korban keganasan Depor di stadion berkapasitas lebih dari 34 ribu penonton ini.
Kemunduran Deportivo
Quote:
Kehebatan Depor perlahan mulai menghilang setelah mengakhiri musim 2004/2005 La Liga di urutan delapan klasemen. Dan orang yang patut paling disalahkan atas kemunduran ‘Super Depor’ ini adalah orang yang berhasil menciptakan ‘Super Depor’ itu sendiri, Cesar Augusto Lendoiro, sang presiden klub.
Lendoiro adalah orang yang berhasil mengantarkan Depor kembali ke La Liga setelah 18 musim berkutat di Segunda Division, bahkan Tercera Division (divisi tiga). Mengakusisi Depor pada 1988, hanya butuh tiga tahun bagi Lendoiro untuk mempromosikan Depor ke La Liga.
Lendoiro yang lahir pada 6 Juni 1945 ini memang berbeda dengan para presiden Depor sebelumnya. Jika presiden lain lebih mementingkan keseimbangan sisi finansial atau peningkatan infrastruktur sehingga lebih dominan menggunakan talenta lokal, Lendoiro lebih memilih untuk mendatangkan pemain ‘asing’.
Saat pertama kali promosi ke La Liga, tujuh pemain anyar menjadi bagian dari skuat Depor. Jumlah pemain baru ini merupakan jumlah pemain baru terbanyak karena sebelumnya selalu mendatangkan kurang dari tiga pemain baru.
Di La Liga, pembelian-pembelian yang dilakukan Lendoiro pun lebih agresif. Pembelian Bebeto dan Mauro Silva di awal musim 1992/1993 langsung menebar ancaman bagi kandidat juara La Liga dengan menjadi peringkat ketiga, di musim keduanya kembali ke La Liga, yang kemudian dua kali berturut-turut menjadi runner-up dan menjuarai Copa Del Rey yang pertama pada 1994/1995.
Depor kemudian semakin kuat kala Lendoiro menunjuk Javier Irureta pada 1998/1999. Juru taktik asal Spanyol ini pernah mengantarkan Atletico dan Athletic Bilbao meraih trofi di kompetisi Eropa pada 70-an.
Irureta dengan segala pengalamaniya diberikan keleluasan dalam memilih pemain. Lendoiro selalu siap mengeluarkan uang dari sakunya untuk mendapatkan pemain yang diinginkan Irureta. Bahkan Lendoiro berani menyaingi (dan mengalahkan) Madrid saat Irureta menginginkan Tristan dari Mallorca.
Saat meraih trofi La Liga pertama, dan satu-satunya, Lendoiro memecahkan rekor transfer Depor, rekor transfernya sendiri. Jika pada musim sebelumnya hanya menghabiskan lebih dari 25 juta poundsterling untuk lebih dari 11 pemain, untuk menjadi juara Lendoiro menghabiskan lebih dari 40 juta pounds untuk 10 pemain, dengan Tristan yang dibanderol 15 juta pounds sebagai yang termahal.
Berada di puncak membuat Lendoiro semakin gemar mendatangkan pemain dengan nilai transfer yang cukup mahal. Dua musim berikutnya, total 65 juta pounds dikeluarkan Depor hanya untuk sekitar 10 pemain. Tak heran, Depor yang telah memiliki fondasi kuat semakin memiliki skuat yang hebat.
Namun Lendoiro tak selamanya memiliki uang. Dan kelemahan Lendoiro adalah tak pandai mengatur keuangannya. Maka ketika sang presiden mulai membutuhkan uang menghidupi Deportivo, di mana gaji pemain mahal semakin membengkak, ia pun kehabisan akal.
“Kesalahan saya adalah tak menjual para pemain ketika saya mampu,” ujar Lendoiro mengutip dari TheseFootballTimes pada 2009. Ya, kesalahan lain yang dilakukan Lendoiro adalah ia terlalu bersikukuh mempertahankan para pemain andalannya meski telah memiliki pemain baru yang lebih bisa diandalkan.
Misalnya saja ketika ia memiliki Aldo Duscher, Djalminha, Fran, Sergio, dan Mario Silva di saat bersamaan. Para pemain tersebut merupakan andalan Irureta yang menempati posisi gelandang bertahan. Karena tak rela melepasnya ke tim lain meski ada yang meminati, akhirnya para pemain tersebut terus dipertahankan.
Kelima pemain ini pun akhirnya dilepas dengan status free transfer atau pensiun. Padahal para pemain ini didatangkan dengan nilai transfer yang cukup mahal, Sergio misalnya yang mencapai 15 juta pounds.
Dengan satu per satu pemain pergi atau pensiun dan Lendoiro tak lagi jor-joran, Irureta pun memutuskan tak memperpanjang kontraknya yang habis pada akhir musim 2004/2005, atau semusim setelah mencapai babak semifinal Liga Champions.
Depor pun mengalami kemunduran secara perlahan-lahan. Setelah berhasil meraih posisi ketiga pada musim 2003/2004, satu musim sebelum Irureta hengkang, Depor terlempar dari papan atas La Liga. Hanya peringkat ketujuh yang merupakan prestasi terbaik Depor pasca kemunduran ini. Sementara itu, Real Madrid dan Barcelona pun kembali tak terhentikan.
Puncaknya adalah kala terdegradasi pada 2010/2011. ‘Super Depor’ yang hanya menyisakan Juan Valeron dan Manuel Pablo, tak sanggup bertahan di La Liga dan harus puas finis di peringkat 18. Depor pun terdegradasi setelah bertahan 20 musim di La Liga.
Depor pun kembali menjalani kehidupan sebagai kesebelasan kecil. Setelah berhasil kembali promosi pada musim berikutnya, mereka terdegradasi lagi di akhir musim 2012/2013, dan juga ditinggal Valeron yang kembali ke klub yang membesarkannya, Las Palmas.
Musim ini Deportivo kembali hadir sebagai tim promosi. Lendoiro pun melepaskan jabatannya sebagai presiden Depor dan berharap presiden Depor yang baru bisa kembali menjadi ‘Super Depor’ seperti sedia kala.
“Tentu saja, dalam beberapa tahun terakhir, kami melakukan banyak kesalahan.Kami tak memungkirinya,” tukas Lendoiro pada pengunduran dirinya tahun lalu. “Dan untuk mereka [pendukung Deportivo], kami memohon maaf. Tapi kami pun telah melakukan segalanya dan segala sesuatu yang kami lakukan adalah untuk menerbangkan Deportivo terbang setinggi mungkin.”
Mengarungi musim 2014/2015, Depor sempat tertatih di papan bawah sebelum kini berada di papan tengah La Liga hingga pekan ke-23. Kekalahan atas Real Madrid pekan lalu pun menyadarkan Pablo, kepingan terakhir ‘Super Depor’, bahwa Depor sudah bukan lagi Deportivo pada awal 2000an. Depor sudah tak lagi super.
Meskipun begitu, Riazor Blues –sebutan untuk pendukung Deportivo – menjadikan ‘Super Depor’ sebagai kenangan manis yang tak mungkin mereka lupakan.
Maka ketika Stadion Riazor bergemuruh, mereka takkan luputuntuk mengumandangkan nyanyian, “Como me voy a olvidar que el Deportivo gano la liga… como me voy a olvidar si es lo menjor que me paso en la vida”. ”Bagaimana bisa aku lupa, Deportivo pernah menjuarai La Liga… Bagaimana bisa aku lupa, itu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya”.
Lendoiro adalah orang yang berhasil mengantarkan Depor kembali ke La Liga setelah 18 musim berkutat di Segunda Division, bahkan Tercera Division (divisi tiga). Mengakusisi Depor pada 1988, hanya butuh tiga tahun bagi Lendoiro untuk mempromosikan Depor ke La Liga.
Lendoiro yang lahir pada 6 Juni 1945 ini memang berbeda dengan para presiden Depor sebelumnya. Jika presiden lain lebih mementingkan keseimbangan sisi finansial atau peningkatan infrastruktur sehingga lebih dominan menggunakan talenta lokal, Lendoiro lebih memilih untuk mendatangkan pemain ‘asing’.
Saat pertama kali promosi ke La Liga, tujuh pemain anyar menjadi bagian dari skuat Depor. Jumlah pemain baru ini merupakan jumlah pemain baru terbanyak karena sebelumnya selalu mendatangkan kurang dari tiga pemain baru.
Di La Liga, pembelian-pembelian yang dilakukan Lendoiro pun lebih agresif. Pembelian Bebeto dan Mauro Silva di awal musim 1992/1993 langsung menebar ancaman bagi kandidat juara La Liga dengan menjadi peringkat ketiga, di musim keduanya kembali ke La Liga, yang kemudian dua kali berturut-turut menjadi runner-up dan menjuarai Copa Del Rey yang pertama pada 1994/1995.
Depor kemudian semakin kuat kala Lendoiro menunjuk Javier Irureta pada 1998/1999. Juru taktik asal Spanyol ini pernah mengantarkan Atletico dan Athletic Bilbao meraih trofi di kompetisi Eropa pada 70-an.
Irureta dengan segala pengalamaniya diberikan keleluasan dalam memilih pemain. Lendoiro selalu siap mengeluarkan uang dari sakunya untuk mendapatkan pemain yang diinginkan Irureta. Bahkan Lendoiro berani menyaingi (dan mengalahkan) Madrid saat Irureta menginginkan Tristan dari Mallorca.
Saat meraih trofi La Liga pertama, dan satu-satunya, Lendoiro memecahkan rekor transfer Depor, rekor transfernya sendiri. Jika pada musim sebelumnya hanya menghabiskan lebih dari 25 juta poundsterling untuk lebih dari 11 pemain, untuk menjadi juara Lendoiro menghabiskan lebih dari 40 juta pounds untuk 10 pemain, dengan Tristan yang dibanderol 15 juta pounds sebagai yang termahal.
Berada di puncak membuat Lendoiro semakin gemar mendatangkan pemain dengan nilai transfer yang cukup mahal. Dua musim berikutnya, total 65 juta pounds dikeluarkan Depor hanya untuk sekitar 10 pemain. Tak heran, Depor yang telah memiliki fondasi kuat semakin memiliki skuat yang hebat.
Namun Lendoiro tak selamanya memiliki uang. Dan kelemahan Lendoiro adalah tak pandai mengatur keuangannya. Maka ketika sang presiden mulai membutuhkan uang menghidupi Deportivo, di mana gaji pemain mahal semakin membengkak, ia pun kehabisan akal.
“Kesalahan saya adalah tak menjual para pemain ketika saya mampu,” ujar Lendoiro mengutip dari TheseFootballTimes pada 2009. Ya, kesalahan lain yang dilakukan Lendoiro adalah ia terlalu bersikukuh mempertahankan para pemain andalannya meski telah memiliki pemain baru yang lebih bisa diandalkan.
Misalnya saja ketika ia memiliki Aldo Duscher, Djalminha, Fran, Sergio, dan Mario Silva di saat bersamaan. Para pemain tersebut merupakan andalan Irureta yang menempati posisi gelandang bertahan. Karena tak rela melepasnya ke tim lain meski ada yang meminati, akhirnya para pemain tersebut terus dipertahankan.
Kelima pemain ini pun akhirnya dilepas dengan status free transfer atau pensiun. Padahal para pemain ini didatangkan dengan nilai transfer yang cukup mahal, Sergio misalnya yang mencapai 15 juta pounds.
Dengan satu per satu pemain pergi atau pensiun dan Lendoiro tak lagi jor-joran, Irureta pun memutuskan tak memperpanjang kontraknya yang habis pada akhir musim 2004/2005, atau semusim setelah mencapai babak semifinal Liga Champions.
Depor pun mengalami kemunduran secara perlahan-lahan. Setelah berhasil meraih posisi ketiga pada musim 2003/2004, satu musim sebelum Irureta hengkang, Depor terlempar dari papan atas La Liga. Hanya peringkat ketujuh yang merupakan prestasi terbaik Depor pasca kemunduran ini. Sementara itu, Real Madrid dan Barcelona pun kembali tak terhentikan.
Puncaknya adalah kala terdegradasi pada 2010/2011. ‘Super Depor’ yang hanya menyisakan Juan Valeron dan Manuel Pablo, tak sanggup bertahan di La Liga dan harus puas finis di peringkat 18. Depor pun terdegradasi setelah bertahan 20 musim di La Liga.
Depor pun kembali menjalani kehidupan sebagai kesebelasan kecil. Setelah berhasil kembali promosi pada musim berikutnya, mereka terdegradasi lagi di akhir musim 2012/2013, dan juga ditinggal Valeron yang kembali ke klub yang membesarkannya, Las Palmas.
Musim ini Deportivo kembali hadir sebagai tim promosi. Lendoiro pun melepaskan jabatannya sebagai presiden Depor dan berharap presiden Depor yang baru bisa kembali menjadi ‘Super Depor’ seperti sedia kala.
“Tentu saja, dalam beberapa tahun terakhir, kami melakukan banyak kesalahan.Kami tak memungkirinya,” tukas Lendoiro pada pengunduran dirinya tahun lalu. “Dan untuk mereka [pendukung Deportivo], kami memohon maaf. Tapi kami pun telah melakukan segalanya dan segala sesuatu yang kami lakukan adalah untuk menerbangkan Deportivo terbang setinggi mungkin.”
Mengarungi musim 2014/2015, Depor sempat tertatih di papan bawah sebelum kini berada di papan tengah La Liga hingga pekan ke-23. Kekalahan atas Real Madrid pekan lalu pun menyadarkan Pablo, kepingan terakhir ‘Super Depor’, bahwa Depor sudah bukan lagi Deportivo pada awal 2000an. Depor sudah tak lagi super.
Meskipun begitu, Riazor Blues –sebutan untuk pendukung Deportivo – menjadikan ‘Super Depor’ sebagai kenangan manis yang tak mungkin mereka lupakan.
Maka ketika Stadion Riazor bergemuruh, mereka takkan luputuntuk mengumandangkan nyanyian, “Como me voy a olvidar que el Deportivo gano la liga… como me voy a olvidar si es lo menjor que me paso en la vida”. ”Bagaimana bisa aku lupa, Deportivo pernah menjuarai La Liga… Bagaimana bisa aku lupa, itu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya”.
Quote:
Musim itu adalah musim 1999/2000 di mana Liga Spanyol tengah bergairah. Sejumlah pengamat sepakbola pada masa tersebut hampir semua keliru dalam menebak peta persaingan juara liga dan kesebelasan yang terdegradasi.
Anda barangkali sepakat dengan saya yang berpendapat bahwa Atletico Madrid dan Sevilla adalah bagian dari kesebelasan elit di Liga Spanyol bersama Barcelona, Real Madrid, Villareal, Athletic Bilbao dan Valencia. Pada musim 1999/2000 Atletico dan Sevilla menyentuh titik terendah dalam sejarah sepakbola mereka. Kedua kesebelasan tersebut mesti menyicipi divisi kedua Liga Spanyol yaitu Segunda Divison.
Tidak seperti Barcelona, Real Madrid dan Athletic Bilbao yang belum pernah terdegradasi, Sevilla sebelumnya pernah terdegradasi tiga kali dan Atletico dua kali.
Pada musim tersebut, uniknya, Atletico berhasil maju ke partai final Copa del Rey menghadapi Espanyol. Ini terjadi karena Barcelona mengundurkan diri pada babak semifinal. Barcelona enggan bermain karena berbenturan dengan jeda pertandingan internasional. Akibatnya cuma tujuh pemain saja yang tersedia di tim utama. Pada saat itu, aturan Copa del Rey cuma mengijinkan tiga pemain dari tim muda yang bisa disematkan ke tim utama. Barcelona pun mengundurkan diri.
Di final, Atletico kalah dari Espanyol 1-2. Gol semata wayang Hasselbaink tak mampu mengobati luka mereka yang terdegradasi.
Meski terdegradasi, Atetico dan Sevilla nyata-nyatanya mampu mengambil hikmah dan bisa mengorbitkan pemain muda serta merombak susunan manajemen mereka. Fernando Torres yang merupakan produk asli Atletico mulai diorbitkan, sementara Sevilla, mereka menunjuk Ramon Monchi Rodriguez menjadi direktur olehraga mereka. Ia ditugaskan menegmbangkan pemain muda serta membuat jaringan pencari bakat ke seluruh dunia.
Hasilnya, meski tak instan seperti Atletico yang berhasil mengorbitkan Torres dalam dua musim, kini Sevilla menikmati jerih payah dengan mampu berbicara banyak di kancah Eropa dan mendapatkan pundi-pundi berlimpah dari hasil penjualan pemain bebakat yang ditemukan Monchi baik dari akademi sendiri ataupun dari kesebelasan lain.
Dominasi Barcelona di La Liga pada musim 1997/1998 dan 1998/1999 membuat mereka kembali diunggulkan untuk meraih titel ketiga secara berturut-turut. Apalagi Barcelona masih diperkuat Rivaldo, Pep Guardiola, Luis Enrique, Patrick Kluivert, hingga Luis Figo. Wajar rasanya jika Blaugrana begitu diunggulkan.
Namun, Deportivo La Coruna mematahkan semua prediksi para pengamat sepakbola. Sejak partai pertama, mereka sudah memuncaki tabel klasemen dengan menggulingkan Alaves 4-1.
Deportivo yang dinakhodai oleh Javier Irureta dan diperkuat oleh pemain seperti Roy Makaay, Djalminha, Flavio Conceciao sampai sang penyerang Portugal, Pauleta, membuat skuat mereka mampu bersaing dengan kontestan lainnya di La Liga.
Bahkan dengan skuat tersebut mereka menumbangkan Barcelona di Riazor, markas mereka dengan skor tipis 2-1 berkat kegemilangan Makaay. Penampilan konsisten mereka pun mengantarkan kesebelasan asal Galicia tersebut menjuarai Liga Spanyol musim 1999/2000.
Dari ibukota, sang raksasa Real Madrid yang kelimpungan di awal musim ternyata berdampak pada pemecatan John Toshack dari kursi kepelatihan yang digantikan oleh Vicente Del Bosque. Namun, posisi persaingan di La Liga yang sudah sangat menjauh ternyata membuat Los Merengues mengalihkan fokus mereka ke Liga Champions.
Hasilnya tak sia-sia, Real Madrid yang sebetulnya hanya finish di peringkat kelima nyata-nyatanya mampu menghadirkan trofi "si kuping besar" kedelapannya menuju Santiago Bernabeu. Lebih spesial lagi karena final Liga Champions 1999/2000 ini menyertakan dua kesebelasan Liga Spanyol di final yaitu Real Madrid dan Valencia.
Secara posisi klasmen di liga, Valencia memang finish setingkat lebih baik daripada Real Madrid saat itu. Namun pengalaman segudang Los Merengues di kancah Eropa membantu mereka untuk mengandaskan mimpi-mimpi Los Che di final lewat aksi brilian dari Raul Gonzales, Morientes dan McManaman.
Anda barangkali sepakat dengan saya yang berpendapat bahwa Atletico Madrid dan Sevilla adalah bagian dari kesebelasan elit di Liga Spanyol bersama Barcelona, Real Madrid, Villareal, Athletic Bilbao dan Valencia. Pada musim 1999/2000 Atletico dan Sevilla menyentuh titik terendah dalam sejarah sepakbola mereka. Kedua kesebelasan tersebut mesti menyicipi divisi kedua Liga Spanyol yaitu Segunda Divison.
Tidak seperti Barcelona, Real Madrid dan Athletic Bilbao yang belum pernah terdegradasi, Sevilla sebelumnya pernah terdegradasi tiga kali dan Atletico dua kali.
Pada musim tersebut, uniknya, Atletico berhasil maju ke partai final Copa del Rey menghadapi Espanyol. Ini terjadi karena Barcelona mengundurkan diri pada babak semifinal. Barcelona enggan bermain karena berbenturan dengan jeda pertandingan internasional. Akibatnya cuma tujuh pemain saja yang tersedia di tim utama. Pada saat itu, aturan Copa del Rey cuma mengijinkan tiga pemain dari tim muda yang bisa disematkan ke tim utama. Barcelona pun mengundurkan diri.
Di final, Atletico kalah dari Espanyol 1-2. Gol semata wayang Hasselbaink tak mampu mengobati luka mereka yang terdegradasi.
Meski terdegradasi, Atetico dan Sevilla nyata-nyatanya mampu mengambil hikmah dan bisa mengorbitkan pemain muda serta merombak susunan manajemen mereka. Fernando Torres yang merupakan produk asli Atletico mulai diorbitkan, sementara Sevilla, mereka menunjuk Ramon Monchi Rodriguez menjadi direktur olehraga mereka. Ia ditugaskan menegmbangkan pemain muda serta membuat jaringan pencari bakat ke seluruh dunia.
Hasilnya, meski tak instan seperti Atletico yang berhasil mengorbitkan Torres dalam dua musim, kini Sevilla menikmati jerih payah dengan mampu berbicara banyak di kancah Eropa dan mendapatkan pundi-pundi berlimpah dari hasil penjualan pemain bebakat yang ditemukan Monchi baik dari akademi sendiri ataupun dari kesebelasan lain.
Dominasi Barcelona di La Liga pada musim 1997/1998 dan 1998/1999 membuat mereka kembali diunggulkan untuk meraih titel ketiga secara berturut-turut. Apalagi Barcelona masih diperkuat Rivaldo, Pep Guardiola, Luis Enrique, Patrick Kluivert, hingga Luis Figo. Wajar rasanya jika Blaugrana begitu diunggulkan.
Namun, Deportivo La Coruna mematahkan semua prediksi para pengamat sepakbola. Sejak partai pertama, mereka sudah memuncaki tabel klasemen dengan menggulingkan Alaves 4-1.
Deportivo yang dinakhodai oleh Javier Irureta dan diperkuat oleh pemain seperti Roy Makaay, Djalminha, Flavio Conceciao sampai sang penyerang Portugal, Pauleta, membuat skuat mereka mampu bersaing dengan kontestan lainnya di La Liga.
Bahkan dengan skuat tersebut mereka menumbangkan Barcelona di Riazor, markas mereka dengan skor tipis 2-1 berkat kegemilangan Makaay. Penampilan konsisten mereka pun mengantarkan kesebelasan asal Galicia tersebut menjuarai Liga Spanyol musim 1999/2000.
Dari ibukota, sang raksasa Real Madrid yang kelimpungan di awal musim ternyata berdampak pada pemecatan John Toshack dari kursi kepelatihan yang digantikan oleh Vicente Del Bosque. Namun, posisi persaingan di La Liga yang sudah sangat menjauh ternyata membuat Los Merengues mengalihkan fokus mereka ke Liga Champions.
Hasilnya tak sia-sia, Real Madrid yang sebetulnya hanya finish di peringkat kelima nyata-nyatanya mampu menghadirkan trofi "si kuping besar" kedelapannya menuju Santiago Bernabeu. Lebih spesial lagi karena final Liga Champions 1999/2000 ini menyertakan dua kesebelasan Liga Spanyol di final yaitu Real Madrid dan Valencia.
Secara posisi klasmen di liga, Valencia memang finish setingkat lebih baik daripada Real Madrid saat itu. Namun pengalaman segudang Los Merengues di kancah Eropa membantu mereka untuk mengandaskan mimpi-mimpi Los Che di final lewat aksi brilian dari Raul Gonzales, Morientes dan McManaman.
ah, ane ga tau mau ngomong apa lagi, yang jelas ane suka banget klub ini dari tahun 1996 gan
ane masih ingat djalminha, makaay, pauleta...
Barcelona dan Madrid dulu ga berkutik gan, ane kangen sama deportivo, semoga musim ini bisa berbicara banyak, Amin.
0
7.1K
Kutip
42
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.2KThread•83.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru