RifanXAvatar border
TS
RifanX
Khilafah Bisa Tegak di Indonesia
Baca Juga : Beginilah Kemuliaan Negara Khilafah Memperlakukan Warga Negara Non-Muslimhttp://www.kaskus.co.id/thread/57bfd...ara-non-muslim




oleh RifanX - Kaskuser 2011



Menanggapi tulisan Tsamara Amani -Juru Bicara Komunitas Pendukung Ahok (http://www.kompasiana.com/tsamaraama...273090575a7bc)yang mempertanyakan apakah khilafah bisa di Indonesia? jawaban saya adalah Bisa! tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau sebagai seorang perempuan yang sangat dijaga kehormatannya dalam Islam, saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan beliau dan mengkoreksi beberapa kekeliruan didalamnya serta memberikan solusinya dengan sebaik dan selembut mungkin.

Tsamara mengatakan, Namun, ada satu hal yang menjadi pertanyaan, konsep Khilafah semacam apa yang diinginkan HTI?
Saya langsung mengacu kepada kitab yang ditabani oleh Hizbut Tahrir di seluruh dunia, seperti yang di gambar begitulah Sistem Khilafah hasil Ijtihad dari Al-'Alamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah selaku pendiri Hizbut Tahrir





Tsamara mengatakan "Tugas yang diemban seorang Khalifah sangatlah berat. Berjalan atau tidaknya keadilan di suatu wilayah bergantung di tangan seorang Khalifah. Oleh karena itu seorang Khalifah haruslah bijaksana, demokratis,dan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri dan kelompoknya."

sebelum saya menanggapi kata demokratis tersebut, akan saya sampaikan tentang wewenang Khalifah. Khalifah memiliki wewenang sebagai berikut:

(a) Menetapkan hukum-hukum syariah yang diperlukan untuk memelihara urusan-urusan umat, yang digali dengan ijtihad yang sahih dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sehingga menjadi perundang-undangan yang wajib ditaati dan tidak boleh dilanggar.
(b) Bertanggung jawab terhadap politik negara, baik dalam maupun luar negeri; juga memegang kepemimpinan militer, dan yang berhak mengumumkan perang,mengadakan perjanjian damai, gencatan senjata serta seluruh perjanjian lainnya.
(c) Berhak menerima atau menolak duta-duta negara asing; juga berhak menentukan dan memberhentikan duta kaum Muslim.
(d) Mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin dan Wali; mereka semua bertanggung jawab kepada Khalifah sebagaimana mereka juga bertanggung jawab kepada Perwakilan Umat.
(e) Mengangkat dan memberhentikan Qadhi Qudhat dan seluruh qadhi, kecuali Qadhi Mazhalim yang sedang menangani kasus terkait Khalifah, Mu’awin atau Qadli Qudhat. Juga yang berhak mengangkat dan memberhentikan para kepala direktorat,komandan militer, dan para pemimpin brigade militer. Mereka bertanggung jawab kepada Khalifah dan tidak bertanggung jawab kepada Perwakilan Umat.
(f) Mengadopsi hukum-hukum syariah yang berhubungan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara. Juga yang menentukan rincian nilai APBN,pemasukan maupun pengeluarannya.”
(An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 151).

Tanpa niat dan prasangka buruk kepada Tsamara yang mungkin mengartikan demokratis sebagai syura atau musyawarah atau sebagai koreksi atas Khalifah, saya ingin memberikan pengertian demokrasi yang sebenarnya : Demokrasi adalah menetapkan hukum atas suatu negara dengan asas sekulerisme-liberalisme melalui lembaga legislatif yaitu DPR. Jelas sekali dengan definisi tersebut demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam karena dalam Islam yang berhak menentukan hukum adalah Allah. dan itu semua digali (ijtihad) dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Dalam Negara Khilafah mengkoreksi pemimpin tidaklah dilarang, dalam struktur negara Khilafah ada yang namanya Perwakilan Umat. Perwakilan Umat dalam sistem Khilafah jauh berbeda dengan DPR dalam sistem demokrasi. Fungsi legislasi tidak ada pada Perwakilan Umat, sementara DPR dalam sistem demokrasi adalah sebuah badan legislatif.

Saat ada perbedaan pendapat dalam memahami hukum syariah atas suatu masalah, khalifah-lah yang berwenang untuk membuat ketetapan, apakah masalah tersebut akan disatukan hukum syariahnya ataukah dibiarkan tetap berbeda ditengah-tengah umat. Perwakilan Umat hanya memiliki hak syura’(musyawarah) sekaligus memiliki kewajiban untuk melakukan muhâsabah terhadap penguasa. Musyawarah dalam sistem Khilafah jauh berbeda denganmusyawarah dalam sistem demokrasi. Suara mayoritas anggota Perwakilan Umat, permufakatan mereka, bahkan suara mayoritas rakyat tidak menjadi penentu pemberlakuan suatu aturan atau tidak.

Dalam masalah-masalah tasyri’ (legalisasi hukum syariah),pijakannya hanyalah kekuatan dalil. Kaum Muslim yang menjadi anggota Perwakilan Umat memiliki hak mendiskusikan itu dan menjelaskan pandangan yang benar dan yang salah dalam masalah tersebut. Namun demikian, pandangan mereka tidak mengikat. Rasulullah saw. memberikan contoh yang jelas dalam masalah ini. Saat kaum Muslim tidak sepakat dengan isi Perjanjian Hudaibiyah, bahkan Umar binal-Khaththab ra. terang-terangan menyampaikan keberatannya, namun ketetapan Nabi tidak berubah.

Begitu pula masalah-masalah pemikiran yang memerlukan pengkajian mendalam dan analisis, yang memerlukan keahlian dan berbagai pengetahuan spesifik. Masalah-masalahd emikian diambil pendapatnya dari para ahlinya masing-masing, bukan dari pendapat mayoritas. Demikian juga masalah finansial, pasukan dan politik luar negeri. Masalah-masalah ini ditangani sendiri oleh Khalifah menurut pendapat dan ijtihadnya, bukan menurut pendapat Perwakilan Umat. Khalifah dalam hal ini boleh merujuk kepada Perwakilan untuk meminta masukan. Perwakilan Umat juga berhak menyampaikan pendapatnya kepada Khalifah. Namun, pendapat Perwakilan dalam masalah-masalah ini tidaklah mengikat.

Dalilnya adalah saat Hubab bin al-Mundzir ra., dalam Perang Badar,mempertanyakan posisi pasukan kaum Muslim, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandanganmu tentang tempat ini? Apakah ini tempat yang diwahyukan oleh Allah kepada engkau sehingga kami tidak boleh bergeser maju atau mundur? Ataukah ini merupakan pendapat, peperangan dan tipudaya?”
Rasul saw. menjawab, “Ini merupakan pendapat, peperangan dan tipudaya.”

Kemudian Hubab menunjukkan suatu posisi yang lebihstrategis. Nabi saw. pun kemudian mengikuti pendapat Hubab tanpa mengambilsuara mayoritas kaum Muslim.

Pendapat mayoritas bersifat mengikat hanya dalam masalah-masalah praktis yang berkaitan dengan pengaturan urusan umat dalam masalah politik dalam negeri yang tidak memerlukan pengkajian dan analisis mendalam, seperti penyediaan berbagai pelayanan penting untuk rakyat; dalam aspek pemerintahan, pendidikan,kesehatan, ekonomi, perdagangan, perindustrian, pertanian, dll; penjagaan keamanan mereka; serta penghilangan bahaya musuh dari mereka, sebagaimana dalam kasus Perang Uhud, Nabi saw. mengikuti pendapat mayoritas untuk keluar Madinah menyongsong dan melawan musuh. Padahal beliau dan para sahabat senior tidak sependapat dengan hal tersebut. Namun kemudian, setelah sampai di medan Uhud Rasulullah saw. tidak menyerahkan strategi perang kepada pendapat mayoritas.Beliau mengatur sendiri strategi tersebut.

Berbeda dengan musyawarah dalam sistem demokrasi, apapun yang ditetapkan DPR, itulah yang diterapkan pada masyarakat tanpa memandang halal-haramnya ketetapan tersebut.

Tsamara bertanya "Kini pertanyaan kembali muncul. Adakah seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan seperti Ali sehingga pantas kita jadikan seorang Khalifah?"

Jawaban saya ada, saya yakin dunia tidak akan pernah kehilangan orang terbaik dalam kondisi segelap apapun. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita mencarinya dan mengangkatnya sebagai Khalifah? akan saya jelaskan, tolong diperhatikan baik-baik.

Garis besarnya seperti ini : Pemilihan Umum Majelis Wilayah -> Pemilihan Umum Perwakilan Umat -> Pemilihan Khalifah



Pemilu Perwakilan Umat dalam Negara Khilafah


Meski posisi Perwakilan Umat bukan sebagai lembaga legislatif, tetapi mereka tetap merupakan wakil rakyat, dalam konteks syura (memberi masukan)bagi yang Muslim, dan syakwa (komplain/pengaduan) bagi yang non-Muslim. Karena itu, anggota Perwakilan Umat ini terdiri atas pria,wanita, Muslim dan non-Muslim. Sebagai wakil rakyat, maka mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat. Mereka mencerminkan dua hal: Pertama,sebagai leader di dalam komunitasnya. Kedua, sebagai representasi.
Sebelum dilakukan Pemilu Perwakilan Umat, terlebih dahulu akan diadakan Pemilu Majelis Wilayah. Majelis Wilayah ini dibentuk dengan dua tujuan:

1. Memberikan informasi yang dibutuhkan wali (kepala daerah tingkat I)tentang fakta dan berbagai kebutuhan wilayahnya. Semuanya ini untuk membantu wali dalam menjalankan tugasnya sehingga bisa mewujudkan kehidupan yang aman, makmur dan sejahtera bagi penduduk di wilayahnya.

2. Menyampaikan sikap, baik yang mencerminkan kerelaan atau komplain terhadap kekuasaan wali. Dengan demikian, fakta Majelis Wilayah ini adalah fakta administratif untuk membantu wali, dengan memberikan guidance kepadanya tentang fakta wilayah, kerelaan dan komplain terhadapnya. Namun, Majelis Wilayah ini tidak mempunyai kewenangan lain, sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Perwakilan Umat.
Dengan demikian, fakta Majelis Wilayah ini adalah fakta administratif untuk membantu wali, dengan memberikan guidance kepadanya tentang fakta wilayah, kerelaan dan komplain terhadapnya. Namun, Majelis Wilayah ini tidak mempunyai kewenangan lain, sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Perwakilan Umat.

Pemilihan Perwakilan Umat didahului dengan pemilihan Majelis Wilayah, yang mewakili seluruh wilayah yang berada di dalam negara khilafah. Mereka yang terpilih dalam Majelis Wilayah ini kemudian memilih anggota Perwakilan Umat diantara mereka. Dengan demikian, pemilihan Majelis Wilayah dilakukan oleh rakyat secara langsung, sedangkan Perwakilan Umat dipilih oleh Majelis Wilayah.
Anggota Majelis Wilayah yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi anggota Perwakilan Umat. Jika suaranya sama, maka bisa dipilih ulang. Demikian seterusnya, hingga terpilihlah jumlah anggota Perwakilan Umat yang dibutuhkan. Masa jabatan mereka sama dengan masa jabatan Majelis Wilayah. Karena permulaan dan akhirnya bersamaan. Khalifah bisa menetapkan, masa jabatan mereka dalam UUPemilu, selama 5 tahun, atau lebih. Semuanya diserahkan kepada tabanni Khalifah.

Tiap Muslim maupun non-Muslim, baik pria maupun wanita, yang berakal dan baligh mempunyai hak untuk dipilih dan memilih anggota Perwakilan Umat. Meski antara Muslim dan non-Muslim mempunyai hak yang berbeda. Bagi anggota Perwakilan Umat yang Muslim mempunyai hak syura dan masyura, yaitu menyatakan pandangan tentang hukum syara’, strategi, konsep dan aksi tertentu. Sementara bagi yang non-Muslim hanya mempunyai hak dalam menyatakan pendapat tentang kesalahan pelaksanaan hukum Islam terhadap mereka, tentang kezaliman dan komplain. Tidak lebih dari itu.

Pemilu Majelis Wilayah dan Perwakilan Umat

Secara teknis, negara khilafah bisa membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU)yang ada di setiap daerah. Komisi ini mempunyai hirarki struktural hingga kepusat. Di pusat, komisi ini dipimpin oleh seorang ketua, sebut saja ketua KPU Pusat. Dialah yang diberi tugas oleh khalifah untuk menjalankan pelaksanaan pemilu dalam tenggat waktu tertentu. Waktunya bisa sebulan, atau kurang.
Majelis Wilayah yang dipilih per wilayah ini dipilih, setelah penduduk wilayah tersebut mencalonkan nama-nama calon Anggota Majelis Wilayah. Nama-nama yang dicalonkan, baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri, kemudian diverifikasi terkait dengan kesediaannya menjadi calon, termasuk kriteria dan persyaratannya. Setelah terkonfirmasi, maka mereka ditetapkan oleh KPU setempat maju dalam pemilihan Anggota Majelis Wilayah.

KPU pun menyediakan ruang bagi mereka untuk melakukan kampanye, baik untuk mengampanyekan diri mereka sendiri, maupun orang lain. Kampanye ini bertujuan untuk memperkenalkan visi, misi dan agenda calon Anggota Majelis Wilayah tersebut. Selain itu, rakyat pun telah mengetahui rekam jejak mereka, sehingga mereka bisa menilai secara obyektif kelayakan calon tersebut.
Setelah itu, penduduk di wilayah tersebut memilih calon sesuai dengan kuota wilayahnya. Bisa berjumlah 1, 2, 3 atau 4 orang. Setelah selesai pemilihan,maka KPU menghitung hasil perolehan suara pemilihan di wilayahnya secara transparan dan terbuka, sehingga tidak terjadi kecurangan. Setelah itu, hasilnya dipublikasikan. Setelah dipublikasikan secara resmi dan terbuka, maka KPU membuka dimulainya “Masa Komplain”. Tujuannya untuk menampung keberatan, baik karena faktor kualifikasi, kecurangan maupun yang lain. KPU, dalam hal ini, diberi otoritas oleh UU untuk membatalkan calon, jika terbukti tidak memenuni kualifikasi, melakukan kecurangan atau faktor lain yang bisa mendiskualifikasinnya.

Begitu “Masa Komplain” ini berakhir, KPU akan mempublikasikan hasil pemilihan final Anggota Majelis Wilayah tersebut. Dengan demikian, mereka yang terpilih dan mendapatkan suara mayoritas ditetapkan oleh KPU sebagai Anggota Majelis Wilayah dalam periode 5 tahun, atau 6 tahun berikutnya, bergantung ketetapan UU yang diadopsi oleh khalifah.
Setelah Anggota Majelis Wilayah ini terpilih, maka mereka segera berkumpul untuk melakukan pemilihan Anggota Perwakilan Umat di antara mereka. Prosesnya hampir sama dengan pemilihan Majelis Wilayah di atas. Setelah semua tahapantadi dilalui, maka Perwakilan Umat ini pun terbentuk, yang diisi oleh merekayang menjadi Anggota Majelis Wilayah. Dengan terbentuknya Perwakilan Umat ini,maka Pemilu Perwakilan Umat ini telah berakhir dengan baik.

Pemilihan Khalifah


Dalam kondisi terjadinya kekosongan kekuasaan, dimana Khalifah meninggal dunia, diberhentikan oleh Mahkamah Mazalim atau dinyatakan batal kekuasaannya, karena murtad atau yang lain, maka nama-nama calon Khalifah yang telah diseleksi oleh Mahkamah Mazalim, dan dinyatakan layak, karena memenuhi syarat:Laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu, diserahkan kepada Perwakilan Umat.
Perwakilan Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk ditetapkan sebagai calon Khalifah. Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang ditetapkan pada zaman ‘Umar, atau dua, sebagaimana pada zaman Abu Bakar. Ketetapan Perwakilan Umat dalam pembatasan calon Khalifah ini bersifat mengikat, sehingga tidak boleh lagi ada penambahan calon lain, selain calon yang ditetapkan oleh Perwakilan Umat ini.

Baik Mahkamah Mazalim maupun Perwakilan Umat, dalam hal ini akan bekerja siang dan malam dalam rentang waktu 2 hari 3 malam. Mahkamah Mazalim dalam halini bertugas melakukan verifikasi calon-calon Khalifah, tentang kelayakan mereka; apakah mereka memenuhi syarat in’iqad di atas atau tidak. Setelah diverifikasi, maka mereka yang dinyatakan lolos oleh Mahkamah Mazalim diserahkan kepada Perwakilan Umat.

Selanjutnya, Perwakilan Umat akan melakukan musyawarah untuk menapis mereka yang memenuhi kualifikasi. Pertama, hasil ketetapan Perwakilan Umat akan menetapkan 6 nama calon. Kedua, dari keenam calon itu kemudian digodok lagi hingga tinggal 2 nama saja. Ini seperti yang dilakukan oleh ‘Umardengan menetapkan 6 orang ahli syura, kemudian setelah itu mengerucut pada dua orang, yaitu ‘Ali dan ‘Utsman.

Perlu dicatat, pengangkatan Khalifah ini hukumnya fardhu kifayah, sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian ditetapkan, bahwa Perwakilan Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi. Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka Khalifahb isa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib memba’atnya dengan bai’at tha’ah.
Gambaran dan mekanisme di atas berlaku jika Khilafah sudah ada, dan Khalifah meninggal, berhenti atau dinyatakan batal. Namun, ini akan berbeda jika Khilafah belum ada, dan kaum Muslim belum mempunyai seorang Khalifah, dimana bai’at belum ada di atas pundak mereka.

Bila Khilafah Belum Ada

Dalam kondisi sekarang, ketika Khilafah belum ada, maka solusi untuk mengangkat seorang Khalifah tentu bukan melalui Pemilu. Karena pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan Khilafah. Juga bukan metode untuk mengangkat Khalifah. Namun, ini hanyalah uslub (cara). Bisa digunakan, dan bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Islam telah menetapkan,bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah (PenyerahanKekuasaan - seperti Auz dan Khazraj di Madinah yg menyerahkan kekuasaannya kepada Rasulullah SAW). Sedangkan metode baku untuk mengangkat Khalifah adalah bai’at. Meski dalam praktiknya, bisa saja dengan menggunakan uslub pemilu.

Karena itu, mengerahkan seluruh potensi untuk melakukan uslub yang mubah, namun meninggalkan metode baku yang wajib, yaitu thalab an-nushrah dan bai’at, jelas tidak tepat. Meski harus dicatat, bahwa thalaban-nushrah tidak akan didapatkan begitu saja, tanpa proses dakwah dan adanya jamaah (partai politik Islam idelogis) yang mengembannya.


Berarti sekarang adalah tinggal menunggu thalab an-nusrah untuk mendirikan Khilafah. HT British Taji Mustafa mengatakan saat Muktamar Khilafah 2013 di Stadion Gelora Bung Karno " Look Today, Look at the solution, That we Hizbut Tahrir put forward to the Ummah, We Have Constitution for a State, Ready to be Implemanted!" Bila rakyat Indonesia siap maka Khilafah akan segera berdiri, bila belum siap? Maka tugas kita mempersiapkannya. Dan itu bukanlah sebuah utopia.


Quote:


Baca Juga : Harmonisasi Islam dan Pancasila http://www.kaskus.co.id/thread/5731e...-dan-pancasila
Diubah oleh RifanX 27-08-2016 01:59
1
23K
223
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.8KThread82.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.