Jakarta, CNN Indonesia -- Saya tak mudah lupa kepingan waktu ketika meliput persoalan pajak pertama kalinya sepanjang 2008—2010. Saat itu, tiga pemeriksa pajak yang diduga terima suap menjadi berita utama pelbagai media. Nama mereka pun mencuat: Yudi Hermawan, Raden Handaru dan Agi Sugiono. Kasus itu merebak ketika Yudi menempatkan uang sekitar Rp4,5 miliar di satu bank di Karawang, Jawa Barat pada 2007.
Cerita pun mengalir dari sana.
Polda Jawa Barat mulai mengendus dugaan pencucian uang. Ketiganya akhirnya diproses pidana. Saya sempat bertemu Yudi di rumahnya, Desa Kalangsari, Rengasdengklok, Karawang, untuk satu wawancara pada 2010. Dalam tahap kasasi, Yudi dihukum 5 tahun penjara.
Aliran uang itu pun ke mana-mana. Mulai dari membeli tanah, ruko, mobil hingga pembangunan pesantren. Ketika saya ke Rengasdengklok, saya melihat pembangunan pesantren yang belum rampung.
Kasus itu bermula ketika dibentuknya tim pemeriksa pajak di DJP Kantor Khusus, di Jakarta Selatan. Ketiganya akan memeriksa pajak kurang bayar PT Broadband Multimedia Tbk, yang kini bernama PT First Media Tbk. Ini adalah perusahaan di bawah Grup Lippo. Perusahaan itu juga menyewa konsultan pajak Asri Harahap.
“Setelah berakhir pemeriksaan pajak, terdakwa menyampaikan kepada Handaru dan Agi, ada dana dari Pak Asri sebesar Rp6 miliar,” demikian putusan pengadilan. “Dalam selang beberapa waktu, terdakwa menempatkan harta kekayaan berupa uang dengan membuka rekening deposito.”
Saat itu, saya kira perkara Yudi menjadi titik balik pembenahan sistem pajak.
Namun, saya keliru. Kasus yang lebih besar pun mencuat. Ada nama Gayus Tambunan yang bergema pada 2010 lalu.
Gayus terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan pengurusan pajak pelbagai perusahaan. Aset pribadinya pun beraneka rupa. Mulai dari simpanan dolar Amerika Serikat, dolar Singapura, apartemen hingga logam mulia. Pada 2012, dia divonis 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Gayus pun jadi olok-olok. Mulai dari meme ‘Gayus dan Fulus’ hingga lagu satire soal permainan aparat pajak: ‘Andai Ku Gayus Tambunan’.
“'Dampak kasus Gayus pada masyarakat itu dampaknya besar sekali,” kata Muhammad Tjiptardjo, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, saat itu.
“Kementerian Keuangan segera mengantisipasi akar permasalahannya.”
Kementerian Keuangan berbenah. Lembaga itu mengidentifikasi sembilan persoalan yang akan diperbaiki. Ini terdiri dari tata nilai dan budaya kerja, pemeriksaan, keberatan, banding, ekstensifikasi, pengawasan kepatuhan, sumber daya manusia, teknologi informasi serta organisasi.
Namun, masalahnya tak sesederhana itu.
Apa yang diharapkan Tjiptardjo sejak 6 tahun lalu—hingga pimpinan direktorat jenderal saat ini, mungkin belum jua menuai hasil.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru menemukan piutang pajak macet sedikitnya Rp38,22 triliun yang belum dilakukan tindakan penagihan. Temuan itu disampaikan pada audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2015.
Lembaga itu menyatakan ketetapan pajak dengan kategori macet mencapai Rp44,95 triliun yang terdiri dari piutang non-Pajak Bumi Bangunan (PBB) Rp38,21 triliun dan piutang PBB sebesar Rp6,7 triliun. Dari nilai total tersebut, terdapat piutang yang daluwarsa penagihannya yakni mencapai Rp14,68 triliun. Ini terdiri dari piutang nonPBB Rp10,50 triliun dan piutang PBB Rp4,17 triliun.
Di sisi lain, BPK juga menyatakan potensi penagihan dan penyitaan masih bisa dilakukan.
Ini adalah piutang pajak nonPBB yang belum daluwarsa sebesar Rp23,53 triliun. Pajak nonPBB di antaranya adalah dari PPh Final, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26 dan Pajak Pertambahan Nilai. Lembaga auditor negara tersebut mencatat pelbagai persoalan penagihan itu mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan pajak minimal Rp23,53 triliun, bila tak dilakukan penagihan segera. BPK menemukan adanya kelalaian petugas pajak dalam hal ini.
“Pegawai dan pemeriksa pajak terkait dengan penerbitan ketetapan pajak daluwarsa, lalai dalam tugasnya,” demikian BPK. “Belum ada pengendalian sistem otomatis yang memberikan notifikasi atas pajak daluwarsa.”
Saya kira masalah macam ini, akan kembali dihadapi Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan yang baru ditunjuk—lagi—oleh Jokowi akhir Juli.
Dalam kasus Yudi Hermawan hingga Gayus Tambunan, Sri Mulyani pun saat itu menjadi nakhoda Kementerian Keuangan. Dan kini, dia akan menghadapi problema yang relatif tak berubah.
Atas temuan BPK, Kementerian Keuangan menyatakan sikap resminya yakni melakukan validasi ulang. Tak hanya itu, namun juga menyaring atas temuan lembaga auditor negara tersebut.
“Direktorat Jenderal Pajak akan memfilter temuan tersebut khusus daluwarsa pada 2015 karena telah dilakukan Berita Acara atas temuan yang sama pada 2014,” demikian keterangan kementerian itu.
Tetapi, ini bukan hanya persoalan penagihan pajak. Ada pula soal kelakuan Wajib Pajak.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya, mencatat 3.966 Izin Usaha Pertambangan (IUP) bermasalah, dengan perizinan yang cacat dan juga tak punya Nomor Pokok Wajib Pajak. Lembaga itu menuturkan terdapat potensi pendapatan negara yang belum diperoleh yakni sekitar Rp25 triliun.
Ketua Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Sumber Daya Alam KPK Dian Patria pun meminta Direktorat Jenderal Pajak melakukan penagihan. Di sisi lain, pihaknya menyerahkan data itu ke bagian Penindakan KPK—yang melakukan penyelidikan ketika terdapat indikasi pidana korupsi.
"Saya juga sudah menyerahkan masalah ini ke bagian Penindakan KPK,” kata Dian pada saya, Mei lalu.
Pada 13 Maret 2014, Direktur Utama PT EDMI Indonesia Ratu Febriana mencuitkan keluhannya di Twitter. “Hanya di Indonesiakah kelebihan bayar pajak malah kena ‘pajak’?”
Cuitan itu ternyata bagian dari masalah yang dihadapi perusahaan tersebut. Pada Maret lalu, KPK menyatakan tiga pemeriksa pajak KPP Pratama Kebayoran Baru diduga memeras, setelah memeriksa permohonan restitusi PT EDMI Indonesia. Ini adalah satu perusahaan teknologi yang dimiliki EDMI Ltd di Singapura. Para pemeriksa pajak itu adalah Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho, dan Slamet Riyana.
Sidang pertama pun digelar pada Rabu pekan lalu.
Jaksa Penuntut Umum KPK menyatakan ketiganya meminta ‘uang capek’ sebesar Rp450 juta setelah memeriksa permohonan pajak kelebihan bayar sekitar Rp3 miliar. Ini terdiri dari PPh pada 2012 dan PPN pada 2013. Namun, permintaan uang itu menurun perlahan. Dari Rp450 juta hingga menjadi Rp150 juta—yang akhirnya diberikan separuh.
“Terdakwa mengancam,” demikian jaksa saat membacakan surat dakwaan, “PT EDMI tidak akan bertahan lama di Indonesia.”
Saya mewawancarai Ratu Febriana pada suatu siang, Maret lalu di pelataran Gedung KPK. Ini dilakukan usai dirinya diperiksa penyidik lembaga antikorupsi tersebut.
Dia meminta sebagian uang—Rp75 juta—yang diberikan kepada tim pemeriksa pajak, dikembalikan ke PT EDMI Indonesia.
Kasus Herry, tentu mengingatkan saya tentang perkara Yudi Hermawan dan Gayus Tambunan pada 2008—2010 silam.
Pajak memang persoalan kompleks. Dari soal sistem Pengampunan Pajak yang kontroversial, macetnya piutang pajak, hingga ‘uang capek’ ala Herry Setiadji serta kawan-kawannya. Tentu, persoalan utama: potensi tak tercapainya target penerimaan pajak tahun ini Rp1.355 triliun.
“Pengampunan Pajak memperlihatkan pemerintah dan DPR terserang pragmatisme jangka pendek,” demikian Forum Pajak Berkeadilan, satu kelompok yang mengadvokasi reformasi pajak. “Pemerintah lebih memihak warga negara super kaya yang tidak patuh.”
Dan saat pelbagai masalah ini tak kunjung usai, saya kira, di saat yang sama pula jurang kemiskinan—terasa—semakin dalam.
http://www.cnnindonesia.com/nasional...penilik-pajak/
berapapun target pajak .. sebenarnya perlu yang dipertanyakan lebih jauh adalah apakah internal perpajakan kita sudah demikian baiknya sehingga sudah memiliki minimal MIS (management information system) internal yang memadai? dan proses pengawasan yang baik?
apakah di lapangan sudah tidak ada lagi pegawai pajak yang terima duit dari wajib pajak?
disamping itu pemerintah harus membenahi SISTEM PENERIMAAN NEGARA menjadi lebih baik; penerimaan pusat dan daerah harus sudah 1 pintu dan tidak boleh lagi dilakukan dengan uang tunai ...
tidak boleh lagi ada bandar udara di daerah yang tidak mengintegarasikan pungutan di daerah terhadap sistem penerimaan negara.
dan tidak bolelh lagi ada pungutan kepada UMKM dengan sistem tunai, semua harus melalui perbankan, sehingg akses terhadap perbankan meningkat, mengurangi kemungkinan kebocoran penerimaan dan sistem penerimaan menjadi lebih baik.