BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Inkonsistensi Ahok vs kegenitan PDIP

Pilkada DKI: Cepat atau lambat PDIP akan mendukung Ahok
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, akhirnya mendeklarasikan maju sebagai calon gubernur DKI dari jalur partai politik (27/7/2016). Alasannya sangat sederhana, menghormati parpol yang sudah mendukungnya.

Pengumuman tersebut memang bertolak belakang dengan penjelasan Ahok Juni lalu. Ketika itu, sepulang bersilaturahmi dari rumah Ketua Umum PDIP Megawati, Ahok menyatakan makin mantap maju melalui jalur independen, dalam Pilkada DKI 2017.

Untuk mendukung Ahok maju dari jalur independen, selama lebih setahun, komunitas Teman Ahok, mencari dukungan masyarakat. Lebih sejuta KTP dukungan "diberikan" masyarakat pada Ahok. Namun harus diakui, sejuta KTP dukungan bukanlah tiket tunggal untuk bisa maju menjadi calon gubernur.

Ada proses lain yang bisa menggagalkan dukungan tersebut. Misalnya saja verifikasi faktual dukungan. Ketentuan verifikasi yang diatur KPUD, ada 3 cara yang cukup rumit.

Petugas mendatangi langsung ke alamat sesuai KTP pendukung; Pendukung bisa dikumpulkan di tempat tertentu untuk diverifikasi; Pendukung mendatangi panitia verifikasi.

Nah, verifikasi ini berpotensi menggagalkan pencalonan Ahok. Bila gagal dalam verifikasi faktual, Ahok tak bisa banting setir pindah ke jalur parpol. Artinya punah harapan Ahok untuk maju dalam pilkada 2017.

Untuk mengamankan pencalonannya, komunikasi politik kepada parpol tetap dibangun. Ahok pun mendapat dukungan dari NasDem, Hanura dan Golkar. Ketiga parpol menyerahkan jalur pencalonan kepada Ahok.

Ketika pilihan Ahok sudah pasti melalui jalur parpol, ketiga parpol pun sudah siap mengusungnya, dengan surat dukungan. Persentase ketiga parpol tersebut juga sudah cukup untuk memenuhi syarat pencalonan.

NasDem memiliki 5 kursi, Golkar 9 kursi, dan Hanura 10 kursi. Sesuai UU Pilkada, calon gubernur DKI setidaknya diusulkan parpol atau gabungan parpol dengan 22 kursi, alias 20 persen dari 106 kursi DPRD DKI.

Masalahnya, 22 kursi belum menjadi mayoritas di DPRD. Disadari atau tidak, Ahok masih butuh dukungan beberapa parpol, agar suara pendukung cukup dominan di DPRD. Pengalaman Ahok selama dua tahun menjadi Gubernur DKI tanpa dukungan parpol, menunjukkan pekerjaannya kurang efektif.

DPRD seperti bukan menjadi mitra kerja tapi malah musuh. Perseteruan Ahok dengan DPRD terus berkecamuk. Persetujuan APBD DKI, termasuk paling alot pembahasannya. Persetujuan DPRD pun selalu terlambat.

Bahkan persetujuan Peraturan Daerah (Perda) bisa dipermainkan DPRD. Perda Reklamasi misalnya, tak kunjung disahkan, dengan alasan klasik: sidang tidak kuorum.

Memiliki dukungan yang signifikan di DPRD seperti menjadi keharusan, agar kebijakan Pemrov DKI, bisa berjalan lebih efektif. Pilihan dukungan parpol cukup banyak, PDIP, Demokrat dan Gerindra adalah parpol pemilik suara yang cukup tinggi di DPRD DKI.

Namun Gerindra, sudah pasti tidak mau. Kendaraan politik Ahok pada pilkada 2012, yang memiliki 15 kursi, sudah menyatakan tidak akan mendukung Ahok pada pilkada 2017. Gerindra sudah patah arang terhadap Ahok, setelah ia memutuskan keluar dari Gerindra pada 2014.

PDIP sangat memungkinkan. Ahok pun sebenarnya juga membutuhkan PDIP. Ia misalnya masih merasa nyaman berduet dengan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat, yang kader PDIP. Komunikasi politik Ahok-PDIP pun masih terjaga.

Masalahnya ada perbedaan prinsip politik antara PDIP dan Ahok. PDIP pernah mengecap munculnya calon independen adalah bentuk deparpolisasi. Karenanya, PDIP bersumpah tidak akan mendukung Ahok bila dia maju melalui jalur independen.

Ketika Ahok telah memutuskan maju melalui jalur parpol, bisa diduga komunikasi politik Ahok-PDIP akan lebih efektif. Tiga parpol pendukung Ahok pun berkepentingan untuk menarik PDIP sebagai bagian dari parpol pendukung Ahok. Golkar malah sudah melakukan pendekatan.

Elite PDIP pun memberi sinyal bahwa sangat terbuka kemungkinan PDIP mendukung Ahok. Sekjen PDIP Hasto Kristianto, misalnya menyatakan sikap Ahok positif.

Soal dukungan PDIP kepada Ahok, ini yang tetap jadi misteri, meskipun rasio politik akan menyimpulkan PDIP cepat atau lambat akan mendukung Ahok. Politikus PDIP Maruarar Sirait, tegas mengatakan Ahok adalah calon gubernur DKI paling ideal. Soal apakah PDIP akan mendukung Ahok, keputusannya ada di tangan Megawati, Ketua Umum PDIP.

PDIP sendiri sampai sekarang belum memunculkan nama calon gubernur untuk pilkada DKI 2017. Dari penjaringan yang dilakukan, ditemukan 6 orang yang layak, sayang nama-namanya tidak diumumkan.

Sementara Ahok sangat percaya diri PDIP akan mendukungnya. Dia dalam waktu dekat akan segera menemui Megawati, untuk melamar Djarot, sebagai calon wakil gubernur. Bila lamaran itu diterima, bisa diartikan pula PDIP telah mendukung pasangan Ahok-Djarot (petahana) sebagai calon gubernur DKI dalam pilkada 2017.

Dukungan PDIP terhadap Ahok, di atas kertas memang sangat ideal. Basis PDIP di DKI sangat besar. Suara PDIP di DPRD paling tinggi, 28 kursi. Dalam berbagai survei, Ahok memiliki elektabilitas tertinggi dibanding bakal calon gubernur yang lain. Dukungan PDIP terhadap Ahok-Djarot tentu akan memperbesar peluang incumbent untuk terpilih kembali.

Posisi PDIP saat ini mengingatkan pada pilpres 2014. Ketika itu, Megawati tak segera mengumumkan Gubernur DKI Joko Widodo sebagai calon presiden, meski desakan internal dan masyarakat sudah begitu kuat. Padahal saat itu masyarakat sangat tahu PDIP tidak punya calon lain yang elektabilitasnya bisa menandingi Jokowi.

Sekarang PDIP pun belum punya calon gubernur DKI yang elektabilitasnya setara Ahok. Artinya, PDIP mesti lebih peka dalam membaca aspirasi masyarakat. Meski punya suara yang cukup untuk mengusung calon sendiri, tanpa harus koalisi, PDIP sangat membutuhkan Ahok. Begitu sebaliknya Ahok.

Dengan mengusung Ahok, PDIP, bukan sekadar meraih keuntungan dalam pilkada DKI, tapi juga Pemilu Legislatif dan Presiden 2019. Bisa dikatakan pemilih Ahok pada pilkada 2017, adalah potensial pemilih legislator PDIP calon presiden dari PDIP dalam pemilu 2019. Artinya PDIP hanya perlu sedikit menekan gengsi dan kegenitan politiknya untuk bersalaman dan mendukung Ahok.

Sedang Ahok, meski pun berkeyakinan tinggi tanpa dukungan PDIP bisa meraih kemenangan, tetap perlu PDIP. Kebutuhan Ahok terhadap PDIP, lebih untuk membuat keseimbangan suara di DPRD, agar DPRD tidak memainkannya seperti saat ini.

Pilkada DKI memang belum berlangsung. Tapi popularitas Ahok, tak bisa dibantah. Dia seperti sudah memenangi 50 persen proses pilkada. Dia ibarat tinggal menunggu hari pemilihan untuk memastikan kemenangannya.

Boleh jadi Ahok memang figur paling ideal untuk kembali duduk sebagai Gubernur DKI saat ini. Sekalipun sesungguhnya dia tidak menjadi guru yang baik dalam proses politik pilkada.

Pernyataannya di awal yang menggebu mantap maju sebagai calon independen, sempat meraih simpati publik. Masyarakat disadarkan bahwa konstitusi membolehkan sosok pribadi yang didukung rakyat, untuk maju menjadi calon kepala daerah.

Masyarakat pun memuji Ahok, karena melihat cara tersebut akan menjadi koreksi bagi hegemoni partai politik dalam berbagai kontestasi. Parpol yang selama ini lebih mementingkan keinginan elite, seperti dipaksa mengakomodasi aspirasi masyarakat.

Namun dalam sebulan, niat maju dari jalur independen diralat tanpa permintaan maaf. Ahok inkonsisten? Boleh jadi. Dan masyarakat pun tersadar, dalam politik, konsistensi sesungguhnya hanya ada pada tujuan yang hendak dicapai, yaitu kekuasaan.

Sedang cara mencapai tujuan, halal hukumnya mengabaikan konsistensi. Dan inilah realitas politik yang bisa dicatat masyarakat.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...kegenitan-pdip

---

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
7.3K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread730Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.