BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Membangun harmoni pusat dan daerah

Dishormoni orkestra pembangunan antara pusat dan daerah
Ada disharmoni dalam irama orkestra pembangunan, antara pusat dengan daerah. Itulah yang tersirat dalam pertemuan Presiden Joko Widodo, dengan jajaran Kepolisian dan Kejaksaan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/7/2016) pagi.

Presiden mengumpulkan seluruh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) dan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati). Ia meminta Polisi dan Kejaksaan melakukan evaluasi, apa yang sudah dilakukan sepanjang tahun lalu.

Dalam pengarahannya, Jokowi meminta polisi dan jaksa memperhatikan beberapa hal. Yaitu: Kebijakan diskresi tidak bisa dipidanakan dan jangan dipidanakan. Begitu pula dengan tindakan administrasi.

Presiden meminta dibedakan mana yang berniat mencuri, alias nyolong, dengan tindakan admnistrasi. Mal-administrasi bukanlah tindak pidana.

Selain itu, Jokowi juga meminta kedua aparat penegak hukum itu memperhatikan aturan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kerugian negara harus konkret. BPK memberi kesempatan 60 hari untuk memberikan tanggapan atas temuan kerugian negara.

Bagian yang juga diingatkan presiden, adalah jangan mengekspos berlebihan ke media, sebelum penuntutan. Ekspos berlebihan akan berdampak buruk bila kemudian dugaan kerugian negara itu ternyata tidak benar.

Pesan tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, setahun lalu Presiden juga menyampaikan pesan yang sama. Ketika itu, Jokowi menerima keluhan dari para kepala daerah, yang ketakutan dikriminalisasi bila melakukan inovasi pembangunan pemerintahan daerah.

Akibat kekhawatiran itu, penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hampir di seluruh daerah sangat rendah. Nah evaluasi kali ini dilakukan, karena Jokowi mengaku masih mendengar keluhan yang sama oleh kepala daerah.

Berikutnya, Presiden meminta dukungan aparat kepolisian dan kejaksaan di daerah dalam pelaksanaan pembangunan pemerintahan. Pemerintah pusat menurut presiden sudah melakukan banyak terobosan, untuk melakukan percepatan pembangunan.

Nah terobosan tersebut tidak akan berdampak di daerah bila tidak mendapatkan dukungan baik di pemerintah daerah, jajaran Kejati, Kejari, Polresta, serta jajaran Polda.

Presiden menginginkan semua kebijakan dan kepentingan pembangunan harus segaris. Semuanya harus seirama, sehingga orkestrasinya menjadi sebuah suara yang baik.

Namun kenyataannya, harus diakui, irama pembangunan di pusat dengan di daerah, ternyata tidak selaras. Di pusat, upaya percepatan pembangunan dilakukan sangat optimistis bahkan cenderung ambisius. Deregulasi ekonomi, sudah dikeluarkan dalam 12 paket kebijakan.

Pembangunan infrastruktur diprioritaskan. Konektivitas antardaerah yang akan menjadi nadi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dikebut. Jalan trans Sumatera, trans Sulawesi, trans Jawa, sampai tol laut dan konektivitas di berbagai kota di Papua dikebut.

Bayaran yang harus ditanggung dengan ambisi pembanguan infrastruktur yang serentak ini, adalah tekornya APBN. Ada kekurangan dana pembangunan sekitar Rp290 triliun.

Upaya untuk menutup kekurangan tersebut pun dilakukan. Amnesti pajak untuk menarik dana warga Indonesia yang terparkir di luar negeri, sudah disahkan dalam bentuk Undang-undang. Harapannya kekurangan biaya pembangunan bisa ditutup dengan pelaksanaan amnesti pajak ini.

Cara yang lain juga dilakukan. Contohnya menggandeng swasta dalam pembangunan infrastruktur. Meskipun hal ini bukan tanpa kendala. Sebab swasta tidak bisa masuk sepenuhnya dalam pembangunan infrastruktur.

Terobosan disiapkan, misalnya ditawarkan opsi PPP (Public-Private Partnership). Nah kerja sama BUMN, atau BUMD dengan swasta, dan PPP dapat juga digunakan untuk membangun infrastruktur yang kritis bagi wilayah publik, namun pada dasarnya sudah layak secara komersial.

Sementara di daerah, seperti diungkapkan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, ada Rp246 triliun dana APBD dari provinsi, kabupaten dan kota yang terparkir dalam tabungan dan deposito di Bank.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, jika dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, jumlah dana parkir tersebut lebih rendah senilai Rp9,1 triliun. Akhir Mei tahun lalu, uang daerah yang mengendap di Bank sebesar Rp255,3 triliun.

Itu artinya ada penambahan penyerapan, namun angka penambahan tersebut sebenarnya belum signifikan. Konkretnya, meski terjadi penambahan penyerapan, tetap belum bisa disebut terjadi percepatan pembangunan di daerah.

Lambannya penyerapan APBD di daerah ini sesungguhnya adalah adegan ulang tahun lalu. Dalih kelambatan penyerapan pun sama persis: Takut dikriminalisasi, saat melakukan inovasi maupun diskresi dalam kebijakan pengalokasian dana pembangunan.

Benarkah penyerapan APBD rendah hanya karena ketakutan kepala daerah terhadap kriminalisasi kebijakan? Ini yang mesti dibuktikan. Sebab, sesungguhnya sejak 2014 sudah ada UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU ini cukup efektif melindungi eksekutif dalam melakukan diskresi kebijakan.

Pasal 6 UU ini antara lain menyebutkan, Pejabat Pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan, termasuk menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya.

Kehadiran UU ini memang diharapkan bisa menjadi landasan hukum untuk mengenali sebuah keputusan dan atau tindakan sebagai kesalahan administrasi atau penyalahgunaan wewenang bermotif tindak pidana. Artinya penegak hukum tidak bisa sembarangan melakukan kriminalisasi kebijakan. Sebaliknya pejabat pemerintah juga tidak bisa seenaknya membuat kebijakan.

Bila tindakan diskresi kebijakan sudah dijamin UU tidak bisa dikriminalisasi, tapi penyerapan anggaran masih tetap rendah, berarti masalah utamanya bukan di situ. Bisa jadi, persoalan sesungguhnya pada kualitas birokrasi, dan manajemen pemerintah daerah.

Bila itu yang terjadi, tentu mengevaluasi jaksa dan polisi di daerah, bukanlah solusi. Yang diperlukan justru peningkatan kapasitas birokrasi serta manajemen pemerintahan daerah. Model penganggaran dari pusat ke daerah dan sebaliknya, menjadi salah satu keharusan untuk dipahami.

Melalui peningkatan kapasitas birokrasi dan manajemen pemerintahan yang lebih baik, ke depan perdebatan bukan lagi pada rendahnya kuantitas penyerapan anggaran. Tapi bergeser pada kualitas penyerapan anggaran yang bermuara pada fiskal. Kualitas penganggaran yang baik, akan mampu menjadi stimulasi pertumbuhan ekonomi daerah.

Dengan begitu harapan Presiden Jokowi, agar terjadi harmoni irama orkestra pembangunan dari pusat sampai ke daerah, bukan lagi harapan, tapi bisa jadi kenyataan.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...sat-dan-daerah

---

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.4K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread730Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.