Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Masjid Pathok Nagara dulu dan kini

Matahari masih satu jam lagi menggelincir tepat di atas kepala. Tiga bocah usia sekolah dasar buru-buru menanggalkan baju atas mereka di pinggir kolam. Lalu melompat dan...byuuuur! Air muncrat ke segala arah. Mereka kegirangan. Seorang laki-laki tua, berbelit kain sarung dan mengenakan peci menegurnya. "Berenangnya jangan ke arah sini. Tikarnya jadi basah," kata laki-laki tua itu yang tengah menggelar tikar panjang di lantai bangunan di atas kolam untuk persiapan salat Jumat pada 10 Juni 2016 lalu. Salat Jumat? Ya, bocah-bocah itu bukan berenang di kolam pemandian. Mereka berenang di kolam kecil yang dibangun mengelilingi Masjid Ploso Kuning. Sebuah masjid yang menjadi salah satu pathok nagara alias penanda batas wilayah ibukota Kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Lantaran sebagai penanda batas, letak masjid-masjid pathok nagara sesuai dengan arah mata angin.

Masjid Jami' Ploso Kuning (berdiri pada 1724 dengan pengelola pertama Kiai Mursada) di Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik dan sisi barat ada Masjid Jami' An Nur (berdiri pada 1758 dengan pengelola pertama Kiai Nur Iman) di Dusun Mlangi, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping. Keduanya terletak di Kabupaten Sleman. Sedangkan dua masjid lainnya di Kabupaten Bantul meliputi sisi timur Masjid Ad Darojat (berdiri pada 1774 dengan pengelola pertama Kiai Ageng Karang Besari) di Desa Babadan, Kecamatan Banguntapan dan sisi selatan ada Masjid Nurul Huda (berdiri pada 1775 dengan pengelola pertama Kiai Syihabbudin) di Dusun Dongkelan, Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan.

Selama Sultan Yogyakarta bertahta hingga saat ini telah mendirikan puluhan masjid keraton sebagai simbol kerajaan Islam. Selain empat masjid pathok nagara, ada Masjid Gedhe (besar) Kauman di Kota Yogyakarta yang dibangun sekitar 100 meter dari keraton. Berdasarkan strata lebih tinggi ketimbang masjid pathok nagara. Pembedaan strata bisa dilihat dari atap masjid yang bertumpang atau bertingkat tiga. Sedangkan atap masjid pathok nagara bertingkat dua dan masjid-masjid keraton lainnya beratap satu.

Keempat masjid keraton itu mulai dibangun pada zaman Raja Sri Sultan Hamengku Buwono I. Lokasinya sekitar 5-10 kilometer dari kerajaan sebagai kutanegara atau pusat pemerintahan. Tak sekedar sebagai penanda batas wilayah, keempat masjid itu juga menjadi tempat pertahanan dan menyelenggarakan pemerintahan. Ada pengadilan surambi alias pengadilan agama, kantor pangulon alias kantor penghulu, tempat latihan perang, juga untuk berdakwah.

"Masjid saat itu tidak hanya untuk salat," kata Ketua Takmir Masjid Ad Darojat di Babadan, Harsoyo (60 tahun) saat ditemui di kediamannya yang berjarak sekitar 10 meter dari pintu gerbang masjid.

Istilah "pathok nagara" sendiri sebenarnya merupakan nama jabatan dalam struktur pemerintahan di keraton yang bertugas memimpin masjid-masjid tersebut. Mereka yang berstatus abdi dalem itu juga memimpin jemaah masjid yang dibangun di atas tanah kasultanan (Sultan Ground) dengan status tanah perdikan alias tanpa ditarik pajak. "Tanah itu diwakafkan kasultanan untuk masjid dan makam," kata Harsoyo.

Tak heran, salah satu ciri masjid pathok nagara adalah ada makam di sisi barat masjid. Pintu makam berada di sisi kanan masjid yang saat awal dibangun beratap sirap dan bertiang kayu. Keberadaan makam di kawasan masjid, menurut Ketua Takmir Masjid An Nur di Mlangi Muhammad Aban Ikhwan juga memudahkan pelayat untuk mensalatkan jenazah secara berjemaah. Baru kemudian jenazah dimakamkan di barat masjid.

"Jadi satu rangkaian. Pelayat datang ke masjid untuk mensalatkan, lalu memakamkan," kata Aban (70 tahun) saat disambangi di toko busana muslimnya yang terletak sekitar 10 meter dari pintu gerbang masjid.

Orang-orang yang dimakamkan di sana, selain yang hidup pada awal masjid didirikan, juga penduduk sekitar. Seperti Kiai Nur Iman alias Raden Mas Sandiyo yang mengawali memimpin jamaah di Masjid Mlangi yang kemudian diberi nama Masjid An Nur. Kiai Nuriman adalah kakak dari Pangeran Mangkubumi alias Sultan Hamengku Buwono I. Kemudian Raden Mas Kiai Mursada di Masjid Ploso Kuning yang merupakan anak dari Kiai Nuriman.

"Seharusnya Kiai Nuriman dimakamkan di Imogiri (lokasi makam raja-raja Mataram). Tapi sejak muda memilih meninggalkan keraton," kata Aban.

Lantas bagaimana kondisi bangunan masjid-masjid pathok nagara itu setelah hampir 300 tahun didirikan? Rasanya tak cukup waktu 2-3 hari blusukkan untuk mengulik kekunoan dan membandingkannya dengan kekinian empat masjid itu. Namun usai saya mendatangi empat masjid itu ternyata mempunyai kesamaan struktur dan arsitektur bangunannya.

Sayangnya, mayoritas telah berulang kali mengalami perubahan, baik restorasi (memperbaiki untuk mengembalikan bangunan ke bentuk semula) maupun rekonstruksi (membangun kembali bangunan seperti bentuk semula). Tinggal Masjid Ploso Kuning yang masih awet dan gagah berdiri dengan struktur dan arsitektur sesuai aslinya. Baik Harsoyo maupun Aban mengamininya. Mayoritas kayu penyangganya masih dari kayu jati yang sama ketika dibangun. Hanya ada penggantian daun pintu karena keropos.

Struktur bangunan terdiri dari bangunan utama yang terletak di ujung barat. Ada mihrab atau mimbar untuk khotbah serta tempat untuk imam memimpin salat di dalamnya. Empat kayu berukuran besar sebagai soko guru atau pilar utama menyangga bangunan di sisi tengah. Empat tiang lainnya yang lebih kecil ditambahkan di kiri kanan pilar utama.

Atap bangunan utama bertumpak dua dengan mustaka atau mahkota berbentuk gada bersulur dari tanah liat di bagian ujungnya. Berbeda dengan mustaka masjid umumnya yang berbentuk kubah. Mustaka asli ini masih dipasang di Masjid Ploso Kuning, sedangkan sejumlah masjid pathok nagara lainnya sudah diganti dari tembaga.

"Tapi yang dari tanah liat masih disimpan," kata Barzan, warga yang tengah berbenah di Masjid Nurul Huda di Dongkelan.
Masjid Pathok Nagara dulu dan kini
Masjid Nurul Huda Dongkelan 3: Mustaka atau mahkota berbentuk gada bersulur yang terbuat dari tanah liat yang masih disimpan di Masjid Pathok Nagara Nurul Huda di Dongkelan, Kabupaten Bantul, Kamis, 9 Juni 2016. Mahkota dari tanah liat itu yang tersisa setalah masjid dibakar tentara Hindia Belanda.
Mustaka itu disimpan dalam kotak kaca di bangunan pawestren di sisi kiri bangunan utama masjid. Pawestren dibangun mengapit bangunan utama yang biasa digunakan untuk jemaah perempuan. Sisi luar tiap pawestren dibangun tempat wudhu. Namun pawestren Masjid Nurul Huda yang lebarnya tak sampai dua meter itu terlihat gelap dan pengap karena atapnya rendah. Kotak kaca tempat menyimpan mustaka pun ditimbun tumpukan tikar. "Ada yang bilang di sini (pawestren) wingit (angker)," kata Barzan.

Kemudian ada bangunan serambi di belakang atau timur bangunan utama yang dibuat terbuka. Bangunan itu hanya dibatasi dengan pagar kayu pada tepinya. Di sanalah bedug dan kentongan besar diletakkan. Sedangkan di ujung depan serambi dibuat bangunan terbuka yang menjorok ke timur. Bangunan yang disebut kuncung itu adalah bagian khas dari bangunan Jawa bercorak Limasan. Baik bangunan utama maupun teras dibuat lebih tinggi dari bidang tanah di sekitarnya. Undakan atau tangga pun dipasang dari pangkal kuncung menuju teras.

Barulah di sekeliling bangunan masjid dibangun kolam. Dulu kolam itu berfungsi untuk mensucikan diri sebelum masuk ke masjid. Kedalamannya mencapai 2-3 meter yang diartikan ajakan menuntut ilmu sedalamnya. Hanya kolam Masjid Ploso Kuning yang masih dalam dengan lebar sekitar empat meter. Tak heran kolam itu kini bisa untuk berenang sekaligus tempat memelihara ikan nila yang besarnya nyaris selengan orang dewasa. Berbeda dengan kolam serupa di Masjid Jami' An Nur yang kedalamannya hanya sekitar satu ubin dengan lebar satu meter. Lantaran fungsi kolam saat ini hanya untuk membasuh kaki sebelum masuk ke masjid.

Masjid Ploso Kuning masih mempunyai halaman yang cukup luas. Semula luas lahan di sana 288 meter persegi yang kemudian dikembangkan menjadi 328 meter persegi. Bangunan itu dipagari dengan pagar beton yang tebal sehingga menyerupai benteng dengan tiga pintu gerbang di sebelah utara, selatan, dan yang utama di timur masjid.

Keaslian bangunan Masjid Ploso Kuning yang masih bisa dipertahankan itu tak bisa sepenuhnya diikuti tiga bangunan masjid pathok nagara lainnya. Peristiwa sejarah zaman penjajahan Hindia Belanda dan Jepang menjadi salah satu penyebabnya. Seperti Masjid Nurul Huda yang dibakar tentara Hindia Belanda pada 1825 karena ketahuan digunakan untuk pertahanan dan latihan perang Pangeran Diponegoro dan pasukannya. Bangunan masjid hanya menyisakan umpak atau alas tiang dan mahkota. Kemudian Masjid Ad Darojad dirobohkan penduduk sekitar 1940 pada masa pendudukan tentara Jepang. Pengosongan lokasi atas perintah tentara Jepang itu dengan dalih untuk membangun gudang mesiu di sana.
Masjid Pathok Nagara dulu dan kini
Masjid Nurul Huda Dongkelan 2: Bedug dari kayu nangka yang dibuat sejak 1900 masih dipergunakan di Masjid Pathok Nagara Nurul Huda di Dongkelan, Kabupaten Bantul, Kamis, 9 Juni 2016.
Menurut Harsoyo, ada goa untuk menyimpan mesiu yang ditemukan di Kampus Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL) Yogyakarta yang letaknya sekitar satu kilometer dari masjid. Tak hanya masjid, bangunan lainnya yang jadi penyelenggaraan pemerintahan di sekitar masjid juga dirobohkan. Warga Babadan pun berbondong-bondong boyongan ke tempat baru. Mereka membawa serta kayu-kayu bekas bangunan masjid lama untuk membangun masjid baru yang kemudian diberi nama Masjid Sultan Agung. Lokasi baru itu berada di sisi utara, tepatnya di Dusun Babadan Baru di Kabupaten Sleman.

"Masjid Ad Darojat tinggal pondasinya saja. Bahkan dipakai untuk pentas ketoprak," kata Harsoyo.

Jepang yang keburu kalah oleh tentara Sekutu, tak sempat membangun gudang mesiu. Perkembangannya, tanpa sepengetahuan pihak keraton, lahan bekas kawasan masjid dikapling dan diperjualbelikan untuk dihuni para pendatang secara turun-temurun hingga menjadi hak milik perorangan. Permukiman penduduk di sana pun bertumbuh kian rapat menyisakan bekas lingkungan masjid yang sempit di tengah kepungan rumah. Bahkan pagar masjid pun menjadi pagar halaman rumah orang. Pun pintu gerbangnya hanya menyisakan di sisi timur.

"Sumur tua untuk tempat wudhu di masjid zaman dulu pun diketahui ada di permukiman ratusan meter dari masjid," kata Harsoyo menggambarkan penyempitan lokasi masjid.

Pada masa Sultan Hamengku Buwono IX, seorang pendatang bernama Kyai Muthohar mengajak warga untuk menghidupkan kembali masjid secara swadaya pada 1960 di atas sisa pondasi. Masjid itu pun diberi nama Ad Darojat yang berasal dari nama kecil Sultan Hamengku Buwono IX, yaitu Darojatun. Meski bangunannya kecil, struktur bangunannya kini sudah menyerupai bentuk aslinya.

Masjid yang kecil itu tak mampu menampung jemaah sholat Tarawih maupun sholat Jumat. Takmir masjid pun memasang tenda terpal di halaman masjid untuk tempat tambahan salat. Harsoyo mengeluhkan penyembelihan hewan kurban saat Idul Adha pun terpaksa dilakukan di halaman masjid yang sempit. Pemotongan dan pembagiannya ke dalam plastik oleh ibu-ibu juga dilakukan di serambi masjid. Saat salat Dhuhur, takmir pun kerepotan karena harus membersihkan darah hewan kurban yang berceceran di serambi masjid. Tak ada lagi lahan kosong di sekitar masjid untuk perluasan meskipun Dinas Kebudayaan DIY telah menganggarkan sekitar Rp1,1 miliar dari alokasi dana keistimewaan.

"Warga sekitar keberatan melepas lahannya untuk perluasan masjid," kata Harsoyo.

Kondisi yang sama juga dialami Masjid Nurul Huda yang mengalami rekonstruksi pada masa Sultan Hamengku Buwono IV (1901). Bahkan masjid itu tak lagi berpagar beton. Pagarnya digantikan dengan deretan rumah penduduk. Sempitnya halaman membuat kedua masjid itu tak mempunyai kolam yang luas. Kolam kecil yang dibuat alakadarnya di Masjid Nurul Huda terlihat kering tanpa air. Sedangkan di Masjid Ad Darojad tanpa kolam. Bukankah bisa dibangun bertingkat untuk mengefektifkan lahan?

"Bangunan-bangunan keraton tak boleh bertingkat, termasuk masjid," kata Harsoyo.
Yang bertahan dan menghilang di Mlangi Masjid Pathok Nagara dulu dan kini
Masjid Ad Darojat Babadan 2: Bagian bangunan utama Masjid Pathok Nagara Ad Darojat di Babadan, Kabupaten Bantul, Kamis, 9 Juni 2016. Empat pilar utama dari kayu jati didatangkan dari Jawa Tengah dalam proses rekonstruksi bangunan tersebut.
Secarik kertas putih ditempel di dinding depan toko busana muslim milik Muhammad Aban Ikhwan di Dusun Mlangi, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Bukan tulisan "DILARANG NGAMEN" seperti umumnya ditulis pemilik rumah. Namun "MOHON ANTARA WAKTU MAGHRIB-ISYA TIDAK BERJUALAN DI SEKITAR SINI". Tulisan itu ditujukan kepada penjual makanan dengan gerobak dorong yang biasanya datang dari luar Mlangi.

"Kalau warga Mlangi sudah paham aturan itu. Itu waktu untuk kembali ke pamulangan (waktu belajar agama)," kata Aban yang menjadi Ketua Takmir Masjid Jami' An Nur , salah satu masjid pathok nagara.

Semua kegiatan duniawi dihentikan pada waktu tersebut. Pemilik toko dan warung menutup pintunya. Pemuda pemudi tak ada yang terlihat nongkrong di tepi-tepi jalan. Bahkan Aban tak segan melempar atap rumah orang dengan kerikil yang ketahuan menyetel televisi hingga suaranya terdengar di luar.

"Pemiliknya ya, enggak marah. Langsung pet (televisi dimatikan). Mereka paham kalau diingatkan," kata Aban.

Aktivitas dusun itu kembali riuh usai waktu Isya berlalu. Pertokoan dan warung kembali dibuka. Silaturrahim antar tetangga kembali dijalin. Menurut Aban, tradisi itu sudah diberlakukan sejak Kiai Nur Iman datang dan memimpin syiar Islam di Mlangi melalui Masjid An Nur yang dulu disebut Masjid Mlangi. Aturan itu tak pernah dibuat secara tertulis. Cukup dipahami dan disampaikan secara turun-temurun.

Siapakah Kiai Nur Iman? Nama awalnya adalah Raden Mas Sandiyo yang lahir dari perkimpoian Raden Mas Suryoputra dengan Raden Ayu Retno Susilowati. Suryoputro adalah putra dari Pangeran Puger yang kemudian bergelar Amangkurat IV usai naik tahta sebagai Raja Mataram. Sedangkan Retno Susilowati adalah anak dari Untung Surapati alias Adipati Wironegoro. Pertemuan keduanya usai Suryoputro belajar agama di Pondok Pesantren Gedangan di Surabaya dengan nama santri Muhammad Ikhsan. Anak Suryoputro lainnya adalah Pangeran Mangkubumi yang kelak diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono I dan Pangeran Sambernyowo yang kemudian bergelar Mangkunegara I setelah perjanjian Giyanti pada 1755. Perjanjian yang menandai perpecahan Mataram akibat perang saudara antara Mangkubumi dengan Sambernyowo itu melibatkan peran Sandiyo untuk mendamaikan adik-adiknya.

"Mbah Kiai Nur Iman ini yang menggaris (membagi) wilayah mana yang masuk Surakarta dan mana yang Yogyakarta," kata Aban.

Wilayah Surakarta yang meliputi Kasunanan dan Mangkunegaran serta Yogyakarta yang menjadi Kasultanan dan Pakualaman. Sandiyo pun menolak untuk hidup di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dia memilih hidup membaur bersama masyarakat melalui dakwah dengan nama Kiai Nur Iman. Dalam perjalanannya, Nur Iman menikah dengan anak Demang Hadiwongso yang bernama Mursalah. Atas jasa Nur Iman, Sultan Hamengku Buwono I memberi hadiah tanah perdikan di sisi barat kasultanan. Nur Iman mendirikan pondok pesantren di sana untuk mulang atau mengajar ajaran Islam. Dusun itu kemudian diberi nama Mlangi yang berasal dari kata "mulang". Lokasinya di seberang jalur lingkar barat Yogyakarta.

Untuk memperkuat dan melestarikan ajaran Islam di Mlangi, ada pula aturan tak tertulis yang mengharuskan penduduk Mlangi menikah dengan kerabatnya. Nur Iman sendiri mempunyai lima orang istri. Dari Mursalah, Nur Iman dikaruniai 10 orang anak dari total 17 anak. Salah satu istrinya adalah keturunan Cina dari Purworejo yang melahirkan anak bernama Raden Mas Masyur Muchyidinirofingi alias Kyai Guru Loning. Disebut loning karena kulitnya kuning.

"Mereka sering ke sini untuk ziarah. Mlang pun jadi wisata religi untuk ziarah dan belajar agama," kata Aban.
Masjid Pathok Nagara dulu dan kini
Masjid Ad Darojat Babadan 1: Bagian depan Masjid Pathok Nagara Ad Darojat di Babadan, Kabupaten Bantul yang dikepung bangunan rumah penduduk, Kamis, 9 Juni 2016.
Dari perkimpoian antar kerabat itu telah menghasilkan 450 keluarga yang merupakan anak keturunan Nur Iman. Mereka tinggal di Mlangi pula. Seperti istri Aban yang memanggilnya dengan sebutan "Lik" atau paman karena hubungan kekerabatan itu. Meski demikian, sebelum Aban menikah sekitar 35 tahun lalu, dia mengaku pernah menaksir perempuan lain. Hal yang sama juga pernah dicoba saudaranya yang lain yang satu generasi dengannya.

"Tapi generasi saya enggak berhasil. Orangtua sudah menjodohkan yang lain," kata Aban sambil tertawa.

Dalam hal perjodohan, pemikiran Aban lebih moderat. Lima orang anaknya diberi kebebasan untuk memilih sendiri jodohnya, meskipun bukan dari kerabat sendiri. Tiga anak di antaranya sudah menikah. Aban menyadari, pergaulan anak zaman sekarang yang luas tak bisa serta merta dibendung. Apalagi banyak anak yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi umum, tak melulu di pondok pesantren. Dia pun harus merelakan anaknya tinggal di luar Mlangi.

"Karena wilayah Mlangi juga terbatas. Kalau dulu, setelah menikah ya tinggalnya di sini," kata Aban.

Selain melalui tali perjodohan dengan kerabat, kuatnya ajaran Islam di sana juga ditandai dengan pembangunan pondok pesantren. Dusun itu kini telah memiliki 14 bangunan pondok pesantren. Halaman rumah Aban yang tak luas itu pun saat ini tengah dibangun calon pondok pesantren. Para santrinya datang dari luar Mlangi, baik laki-laki maupun perempuan. Saat salat Jumat, masjid selalu penuh dengan para santri.

"Dulu bangunan masjid sempat dipugar dan ditingkat. Tapi sekarang dikembalikan lagi ke bentuk semula," kata Aban.

Bangunan masjid di atas tanah kasultanan seluas seribu meter persegi dan lebih besar dari Masjid Jami' Ploso Kuning itu dipugar pada 1985 dengan dibuat bertingkat dua. Tujuannya untuk menampung jumlah jemaah lebih banyak. Pihak keraton pun mengizinkan dengan syarat bangunan aslinya tetap dipertahankan. Lantaran bangunan bertingkat, maka pilar-pilarnya terbuat dari beton. Bangunan asli masjid kemudian diangkat ke atas atau menjadi bangunan masjid di lantai atas.

Perkembangannya, Dinas Kebudayaan DIY meminta bangunan masjid dikembalikan ke bentuk semula karena merupakan bangunan cagar budaya. Proses restorasi dilakukan pada 2012 dengan menggunakan dana keistimewaan senilai sekitar Rp 1,4 miliar. Bangunan beton yang semula penuh deng

Baca Selengkapnya : https://beritagar.id/artikel/berita/...-dulu-dan-kini

---

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
4.5K
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread741Anggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.