Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kabelrolAvatar border
TS
kabelrol
Pursuit between Death and Life
Pendahuluan

Hidup gue ini seperti teenlit.

Pagi ini, jauh sebelum gue bangun, HP gue dibanjiri ucapan selamat ulang tahun; berikut dari orang yang gue kenal deket, kenal aja, sampe ngga kenal. Gue mesti bersiap bawa baju ganti, temen-temen gue mesti udah siapin juga soal telur, tepung, dan air comberan.

Sebelum cek pesan di HP, gue matiin alarm. Pagi ini pun, gue bangun lima belas menit sebelum alarm nyala. Gue menemukan kunci berlogo oval dan secarik kertas, "Selamat Ulang Tahun, Har!". Lima detik setelah alarm gue nyala, pintu kamar gue diketuk.

"Selamat ulang tahun, Har"

"Makasih, Mah," --pipi gue dikecup di kanan dan di kiri, kemudian didoakan yang baik-baik.

"Papa ngga bisa ngga berangkat tadi jam 3, semoga kamu suka kadonya. Udah siuman, kan, Har? Ayo liat mobilnya ke garasi depan?"

Gue tersenyum sembari menggeleng pelan,

"Nanti aja, Mah, sekalian berangkat sekolah,"

Pun begitu, gue tetap memacu sepeda gunung gue untuk ke sekolah. Gue pikir, meski bukan tujuan kado itu ada, belum saatnya gue bawa mobil itu ke sekolah. Sombong nantinya. Yang gue sebut Mamah nanya berkali-kali soal keputusan itu pas gue matiin mobil habis manasin, sembari ngambil sepeda yang keparkir.

"Iya, Mah. Belum juga dikasih nama, masa udah dibawa-bawa," kata gue cengengesan.

Yang gue sebut Mamah cuma ngunyeng-ngunyengrambut gue. Dan gue pun berlalu. Gue pasang handsfree, lagu "Mengejar Matahari" memang selalu jadi penyemangat gue berangkat ke sekolah. Apalagi, ini hari pertama sejak liburan kenaikan semester. Semester 3, alias semester 1 di kelas 2 SMA ini semacam sesuatu yang gue tunggu-tunggu. Sejak jadi siswa pindahan tahun lalu, waktu-waktu seperti ini yang bakal jadi ajang aktualisasi diri gue, yang jika berhasil, bakal manis untuk dikenang di masa pensiun nanti.

Sekolah yang gue tuju berjarak sekitar 4 kilometer. Gowesan lima belas menit cukup, apalagi bisa lebih cepet kalo ngga ada angkot yang udah sembarangan ngetem, ini baru aja jam 6.05. Gue terlalu semangat teuing emang. Ngga kerasa gue udah kerasan tinggal di kota ini selama setahun belakangan. Gue ngerasa keputusan kepindahan gue ini udah tepat. Ngga ada lagi yang ketinggalan di sana.

Spoiler for dulu:


Rem sepeda berdecit.

"Oi, Har!"

"Weit, Ncop!"

"Pagi banget?"

"Iyalah, mau gerak badan dulu,"

Encop ngangguk, petugas keamanan sekolah itu salah satu sahabat gue paling baik di sekolah ini. Dia orang pertama yang gue kenal dan bantu gue. Gue lari-lari kecil ke ruang kecil di sisi belakang gedung sekolah. Gue buka kunci dan gue salah satu bola basket. Ini salah dua alasan gue seneng dateng pagi-pagi ke sekolah. Memulai hari dengan sepeda dan basket, bikin hari gue lebih cerah. Yah, ini juga yang ngebawa gue dan temen-temen tim lolos seleksi kota. Bulan depan, kompetisi antar kota, untuk lolos di provinsi lantas ditandingkan nasional, akan dimulai. Tiga minggu lagi, waktu sekolah gue akan lebih panjang dua jam, untuk nyiapin olimpiade fisika semester depan. Ya, kan? Hidup gue ini seperti teenlit.

****


"Maaf--"

Jam segini, yang nyapa gue mestilah kalo ngga Mail, ya, Nae. Gue hafal suara mereka, intonasi mereka menyapa, tapi "Maaf--" bukan punya mereka.

"--ruang guru dimana, ya? Nyasar..."

Gue menoleh dan benerlah dia bukan Mail atau Nae, suaranya ngga gue kenal, apalagi wajahnya.

"Anak kelas satu bukannya lagi MOS di (nyebutin suatu lapangan yang biasa dipake untuk penyambutan siswa baru)," sapa gue balik.

"Oh, bukan--" anak ini sering sekali kalimatnya berhenti seperti tercekat. Dia menggeleng-gelengkan rambutnya yang semi merah itu, "--aku kelas 2. pindahan--"

"Oh..," gue membiarkan bola yang memantul seenaknya, gue keluar dari aula, "...masuk dari pintu belakang, ya? dari sini lorong ini, belok kanan, lurus dikit, terus kiri, nanti ada kok plangnya,"

Dia melihat gue sambil mengerinyitkan dahi.

"Kenapa?"

"Eh... barusan aku dari sana... tapi, katanya itu ruang guru SMP...,"

Hmm, gue paham. Berhubung gue mengerti perasaan jadi anak baru yang ngga tau arah di sekolah yang bentuknya perguruan ini, gue mencoba bersimpati,

"Ya, udah, lo tunggu sini dulu, ya. Gue mau balikin bola dulu. Sekalian, deh, gue anterin,"

tanpa nunggu jawaban, gue balik badan dan lari-lari ambil bola. Lima menit kemudian, gue balik dan gue liat anak itu nongkrong di semacam selasar yang ada di sekitar aula.

"Yok?"

"Eh-- kita belum kenalan... Yuri,"

"Har, yok, Yur?"

sambil jalan, di tengah sekolah yang semi-sepi ini, gue mencoba mencairkan suasana.

"Pindahan dari mana, Yur?"

"S******a--"

"Ooh.. ya, ya. Sampe sini dari kapan?"

"Kemarin.. Pas daftar ulang kemaren agak bolak-balik, jadi memang belum hafal-hafal, hehe,"

dan akhirnya, gue sampe juga di ruang guru, kita menuju ke guru yang jadi Wakasek kesiswaan. Gue pun kaget, Si guru itu nyapa Yuri pake bahasa yang dia jadi mata pelajaran yang dia ampu. Yuri pun balas dengan bahasa yang sama. Yuri lebih faseh daripada si guru. Gue jadi curiga, Yuri ini murid pindahan apa guru pindahan emoticon-Ngakak (S)

"Har, kamu anter dia ke kelas, ya,"

"Siap, Bu."

"Oh, ya, nanti istirahat, kamu diminta ngadep ke Bu Sri, ya, Har,"

"Siap, Bu."

dan kita pun keluar ruang guru. Pertanyaan-pertanyaan itu ngga ketahan untuk keluar. Sepanjang gue ke beberapa kota untuk kompetisi, gue semacam punya hipotesis. Ngga ada maksud ofensif untuk SARA. Beda daerah, maka beda suku, maka beda juga bahasa dan dialeknya. Di setiap daerah, mesti ada peranakan dari bangsa (negara) lain, dan ngebawa bahasa aslinya, misalnya Tiongkok. Orang-orang Tiongkok ini, meski ngebaur sama lingkungannya dimana ia menjejak, pastilah masih punya dialek yang kentel. Anehnya, ini ngga berlaku di kota asalnya Yuri ini. Mendok banget dah pokoknya.

"Lu dari S******a atau Jepang sih, Yur?"

Yuri cengengesan.

"Udah setahun, kok. Tapi si Ibu itu pasti baca SMP aku dimana, kan?"

"Iya, sih...,"

"Eh, kelas 11 IPA 2 dimana?"

"Lah, kelas gue, tuh, Yur. Wah..."

"...sekelas kita, berarti. Aku udah takut aja udah ngga ada temennya. Emang jodoh kali yah,"

Nah, Yuri ngga ada mendok-mendok dialek kota asalnya itu. Emang, sih, dia cadel huruf S. (ngga ada hubungannya sik emoticon-Hammer (S))

"Eh, ya, tadi kata ibu itu, ada satu anak pindahan juga, loh,"

Spoiler for disklaimer:


Quote:
Diubah oleh kabelrol 09-07-2016 06:45
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
3.8K
15
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.