JAKARTA - Sekian dekade negeri ini merdeka, masalah pelik yang masih menunggu untuk dituntaskan adalah ketimpangan yang begitu nyata. Antara si kaya dan si miskin, antara sikota dan sidesa. Terlebih bagi ragam masyarakat yang menghidupi tepian negeri, kawasan yang ikhlas-tak-ikhlas menerima status sebagai pulau kecil teras Indonesia, namun sayangnya juga dicap sebagai kawasan terdepan, terpencil, dan tertinggal. Bergerak dari alasan itu, Butuh pemberdayaan nyata untuk membangun, bukan sekadar angan dan teori pemberdayaan di atas kertas. Karena Tepian Negeri juga bagian dari Indonesia.


Pemberdayan kawasan terdepan di Indonesia adalah solusi yang dianggap tepat dan relevan untuk ditunaikan. Bersama mengajak masyarakat lokal untuk membangun kawasan terdepan dan tertinggal di Indonesia, Aksi Cepat Tanggap mencoba menginisiasi program bertajuk Tepian Negeri. Pemberdayaan jadi kunci, lewat program Tepian Negeri, ACT mengajak masyarakat menjadi mandiri untuk memenuhi elemen sosial paling dasar: pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Menyasar 100 pulau yang menjadi gerbang terdepan di Indonesia, diakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk melanjutkan program Tepian Negeri, namun optimisme tetap harus berdetak.

Selama bergulirnya tahun 2015 sampai 2016, lewat program Tepian Negeri, ACT sudah menuntaskan pemberdayaan pendidikan di dua lokasi yang berbeda, yakni pembangunan gedung sekolah di Pulau Pura, Desa Pailelang, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Serta gedung sekolah di Pulau Kabetan, Kecamatan Ogodiede, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah.

Sebagai langkah awal membuka pemberdayaan tepian negeri, ACT berkolaborasi dengan Wardah mewujudkan satu impian anak-anak Pulau Pura, Desa Pailelang, Kabupaten Alor NTT untuk memiliki bangunan sekolah baru yang layak dan nyaman untuk belajar. Selama puluhan tahun, MTS Insan Cita Moru tidak memiliki gedung permanen sendiri. Namun kini, bersama Wardah dan ACT gedung permanen MTS Insan Cita Moru hampir rampung dan segera dapat diaktifkan untuk kegiatan belajar mengajar.

“Serasa mimpi di siang bolong, hingga saya menangis bukan sedih tapi menangis bahagia, karena sebentar lagi kami akan memiliki gedung sekolah,” ujar Haji Abdul Kadir, Kepala Sekolah MTs Insan Cita Moru. Haji Abdul Kadir dipercaya menjadi Kepala Sekolah MTs Insan Cita Moru atas permintaan warga setelah ia pensiun sebagai Kepala Sekolah di SMP Negeri Buraga, Kabupaten Alor.

Jiwa seorang pendidik dan pengabdiannya pada pendidikan generasi muda membuat Haji Abdul Kadir bersedia menjadi Kepala Sekolah. “Impian saya menjadikan siswa MTs Insan Cita Moru ini kelak sebagai sekolah percontohan, siswanya unggul minimal mahir dua bahasa, Inggris dan Arab,” ujarnya. Bangunan MTS Cita Moru pun menjadi jawaban dari doa puluhan anak-anak lugu dan polos di Desa Pailelang. Mimpi yang sederhana untuk memiliki bangunan sekolah yang nyaman bagi mereka.

“Hore, alhamdulillah Kaka, torang punya sekolah!” teriak Nanda tak bisa sembunyikan kegembiraannya. Nanda adalah siswi kelas dua Madrasah Tsanawiyah Insan Cita Moru, Alor. Sebelumnya, para siswi MTS Insan Cita Moru harus belajar dengan menekan rasa malu. Pasalnya, mereka terpaksa belajar dengan menumpang di sekolah yang bukan milik mereka.
“Saya malu selalu dapat hinaan dari teman-teman Sekolah Dasar (SD) dulu, katanya kami tak punya gedung dan lantainya bolong-bolong”, ujar Hariati teman satu kelas Nanda.

Tak hanya pembangunan gedung sekolah, Wardah melanjutkan komitmennya untuk melebarkan atensi di bidang pendidikan Indonesia Timur. Setelah Alor, NTT giliran SDIT Sahabat Cendekia, Kelurahan Ngade, Ternate Selatan memeroleh sarana pendidikan dan paket perlengkapan belajar. Bentuk bantuan berupa paket perlengkapan belajar, dan sarana pendidikan berupa 70 set kursi, meja belajar, serta 5 lembar papan tulis. []

Editor: Shulhan Syamsur Rijal