Itu kata-kata yang terujar dari mulut seorang Farras, setelah sebuah puisi terlafalkan dengan tidak tepat. Tidak tepat karena puisi itu bukanlah suatu puisi utuh, bukan suatu puisi kelar. Sering sekali selama tahun lalu Farras mengucap puisi ini, sampai sahabat karib Farras pun bisa khatam (hafal betul) dalam menuturkan kembali puisi yang dibuat Dion sebelum kehilangannya tersebut. Semua orang, bahkan orang tak dikenal bertanya ketika Farras terdiam seakan tertegun saat berhenti mengucapkan puisi itu. “Mbak, kok gak sampai selesai bacanya?” Saat ditanya seperti itu, Farras hanya tertegun diam. Bukan karena tidak mau menjawab, tetapi kehabisan kata kata.
Setelah lama berjuang dan dibantu sahabat Farras yang paling karib, akhirnya Dion berhasil ditemukan, berada di balik Farras ketika Farras menyelesaikan membaca suatu keutuhan puisi ciptaan Dion tersebut.

[Garis besar cerita awal bisa tonton dulu filmnya, cerita gw buat dengan alasan gambaran singkat buat yang gak kuat wafer]

Lalu setelah pertemuan tersebut, Farras memeluk Dion dengan sangat, karena kehilangannya tersebut hidup Farras telah merana.
“Ke mana aja kamu Dion? Tolonglah, sahabat terbaikmu dalam mengarungi hidup ini tidak pernah hilang arah selama nyari kamu!”
“Aku... Bukan hilang karena aku nggak sayang kamu. Tapi aku dihilangkan selama setahun ini.”
“Siapa yang berani-berani menghilangkan kamu dari aku, tanpa permisi sama aku?”
“Entahlah, kurang etis mungkin menyebut di sini. Yang jelas aku selama ini dibawa ke pedalaman.”
“Apa yang kamu lakukan di sana sayang? Sampai aku pun hancur karena kamu. Pedalaman mana?”
“Nanti saja ceritanya. Aku hanya perlu beritahu kamu satu hal, aku diculik orang yang katanya pemerintah daerah. Ayo ke mobil, kita jalan-jalan.”