- Beranda
- Citizen Journalism
Geliat kaum LGBT di Padang
...
TS
carriersofdeath
Geliat kaum LGBT di Padang
Pro dan kontra Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) santer terdengar belakangan ini. Kubu pro menganggap LGBT adalah faktor genetik atau bawaan lahir sedangkan kubu kontra menganggap LGBT adalah gangguan kejiwaan yang bertentangan dengan norma agama dan sosial budaya. Seorang gay menceritakan kisahnya, bagaimana dia bisa menjadi gay, hidup sebagai gay hingga geliat pergaulan kaum gay di kota Padang
Sebut saja dia Luis, umurnya kini sudah menginjak kepala tiga. Secara fisik, Luis terlahir normal seperti laki-laki pada umumnya. Begitu juga dengan gaya dan sifatnya yang terlihat seperti laki-laki normal.
Namun siapa sangka dengan perawakannya itu ternyata Luis adalah seorang gay asal Riau yang sempat berdomisili cukup lama di Padang.
Sewaktu masih tinggal di Riau, saat Luis kelas lima SD, pria 30 tahun ini pernah mengalami pelecehan seksual dari pamannya sendiri. Luis disodomi bebera kali oleh Pamannya yang saat itu si Paman tinggal se rumah dengan Luis dan keluarga.
“Biasalah mas, anak kecil nggak tahu apa-apa, diiming-imingi ini itu mau saja. Sampai sekarang orang tua saya nggak pernah tahu soal ini (disodomi),” Tuturnya.
Pengalaman buruk yang dialaminya waktu kecil itu seakan menjadi pematik keterjerumusan Luis dalam dunia cinta sesama jenis.
Waktu demi waktu telah berlalu, Luis pun mulai menginjak usia remaja. Waktu duduk di bangku Kelas tiga SMP, Luis melakoni pekerjaan sambilan sebagai penyiar radio di salah satu radio ternama di Pekanbaru.
Menjadi penyiar radio membawa Luis bertemu dengan sesama penyiar radio lain yang lebih senior, dan kebetulan tanpa disangka-sangka mereka adalah gay. Dari perkenalannya dengan penyiar senior itu dari sana Luis mulai dikenalkan dengan pria gay lainnya, hingga akhirnya Luis bergaul dilingkungan gay dalam kesehariannya.
Karena lama bergaul di lingkunan gay, tanpa disadari, mulai timbul ketertarikan terhadap sesama laki-laki di diri Luis. Seperti rasa ketertarikan yang lumrah dirasakan ABG seusianya dengan lawan jenis, Luis juga merasakan hal itu, bedanya ketertarikan yang dirasakan Luis dengan sesama laki-laki.
“Mungkin ini karena pergaulan, karena jiwa remaja waktu itu biasalah, masih mencari jati diri,. Waktu SMP itu mulai ada rasa suka melihat laki-laki yang lebih keren, lebih rapi dan lebih cakep. Ya terjerumuslah akhirnya,” tutur Luis.
Saat usianya menginjak 21 tahun, Luis kemudian pindah ke Jakarta. Selama di Jakarta Luis bekerja sebagai chef atau juru masak di sebuah hotel berbintang.
Selama Jakarta, Luis telah menjalin hubungan dengan belasan laki-laki, salah satunya dengan seorang berkewarganegaraan Kanada yang menjadi guru bahasa Inggris di Jakarta.
Setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan bule Kanada ini, pada suatu ketika si bule Kanada pindah tugas ke Bali. Luis yang saat itu adalah seorang chef dan telah cukup mapan secara ekonomi menolak untuk di ajak pindah ke Bali, dan hubungan merekapun berakhir.
Suatu saat, saat Luis cuti, Luis pulang kerumah orang tua di Riau, mengetahui hal itu entah kenapa si Kanada nekat menyusul Luis ke rumah orang tuanya. Dari sanalah orang tua Luis tahu bahwa sang anak ternyata adalah serorang Gay.
Sejak itu hidup dan karir luis hancur, ibunya drop dan sempat dirawat dirumah sakit setelah mengetahui anaknya adalah seorang gay. Keadaan itu memaksa Luis meninggalkan pekerjaannya di Jakarta demi merawat sang ibu di kampung halaman.
“Saya dihakimi oleh kerluarga saya, akhirnya apa yang saya dapat di jakarta, pekerjaan saya, jabatan saya semuanya hancur,” tuturnya.
Setelah hubungannya dengan orang tua mulai membaik, tahun 2010 Luis kemudian hijrah ke Padang. Selama empat tahun di Padang Luis bekerja di salah satu tempat hiburan malam. Sama seperti saat Luis di Riau dan Jakarta, di Padang pun Luis bergaul di lingkungan gay.
Menurut Luis, dibanding dulu dimana kaum gay lebih tertutup, kini kaum gay di Padang sudah lebih berani menampakkan diri.
Luis menuturkan, menemukan kaum LGBT khususnya gay di Padang bukanlah hal yang sulit dilakukan. Pada jam-jam tertentu di tempat-tempat tertentu seperti di pusat hiburan malam, tempat finess dan caffe-caffe kaum Gay biasanya berkumpul.
“Sangat mudah (menemukan gay) mas, coba deh kamu setiap jam sebelas malam ke jalan A Yani, di sana ada tempat nge-gym, mereka semua di sana. Sudah lumrah sekarang mah cowok maco pacarnya cowok maco. Itu baru salah satunya, ada banyak tempat ngumpul lain di Padang,” tuturnya.
Bedanya dengan orang normal, jika gay berkumpul yang mereka bicarakan bukanlah pembicaraan antara laki-laki pada umumnya. Mereka lebih suka membicarakan soal fashion , soal bagaimana membuat tubuh menjadi lebih berotot hingga obrolan seputar dunia gay.
“Kalau cowok normal kan kalau ngumpul biasanya ngomongin bola, olah raga, hobi atau ngomongin cewek, kalau kami ngebahasnya yang kayak fashion, gimana bikin badan bagus, ya kayak gitu-gitu la,” ungkapnya.
Selain berkumpul, kaum gay di Padang juga saling terhubung lewat jejaring sosial MIRC, sebuah aplikasi chatting yang lumrah digunakan di era 200 an. Di MIRC itu ada sebuah channel khusus untuk interaksi kaum gay yang berdomisili di Padang. Menurut pengakuan Luis, di jam-jam tertentu, seperti sore dan malam, lebih dari 100 gay loggin di channel khusus gay Padang itu.
Luis mengungkapkan, dalam dunia LGBT, khususnya gay, hanya berlandasan suka sama suka, melakukan hubungan badan bukanlah hal yang tabu bagi mereka.
Bahkan, lebih parahnya lagi, di Padang sendiri tidak sedikit kaum gay yang memasang tarif khusus untuk melakukan hubungan badan sesama jenis, atau bisa juga dibilang pekerja seks komersial khusus kaum gay.
Tarifnya pun bukan main-main, standar tarif berdasarkan kualitas badan si penjaja seks ini. Jika badannya bagus berotot tarifnya bisa sampai 2 hingga 4 juta.
“Kalau hal yang seperti ini (PSK gay) banyak, tergantung kitanya sanggup bayar berapa. Kalau budget kita gede bisa dapat yang badannya bagus. Saya pernah punya teman dari luar kota datang ke Padang, dia pengen cobain orang Padang, saya ngasih beberapa kontak dan terserah mereka nego nya gimana,” jelasnya.
Kendati demikian, Luis mengaku dirinya tidaklah 100 persen penyuka sesama jenis. Luis mengaku walaupun hanya sedikit, Luis terkadang masih punya ketertarikan dengan wanita.
“Perbandingannya 70-30 lah, 70 ke cowok, 30 ke cewek,” akunya.
Sebenarnya selama di Padang, Luis sempat terpikir ingin menjalani hidup sebagai orang normal, dia sempat hampir menikahi seorang gadis yang telah dipacarinya selama empat bulan di Padang. Tapi karena hal tertentu, pernikahan yang direncanakannya itu batal karena tidak direstui oleh paman sang gadis. Batalnya pernikahan itu membuat Luis kembali terjun kedalam dunia gay.
Menurut Luis sendiri, orientasi seks menyimpang yang dialaminya ini bukanlah karena faktor genetis atau bawaan lahir. Dia berpendapat orientasi seksual manusia tergantung dari diri manusia itu sendiri dan bagaimana manusia itu memilih lingkungan pergaulannya. Namun dia juga tidak setuju LGBT di anggap gangguan jiwa.
“Nggak ada itu faktor genetik, kalau itu genetik kita nyalahin tuhan dong. Tergantung kita aja, sanggup nggak kita menempatkan diri bagaimana ? sanggup nggak kita menahan nafsu ? sadar nggak yang kita lakuin itu apa ?
Sejak beberapa bulan terakhir, Luis kini telah berdomisili di Jakarta bekerja sebagai pedagang. Walaupun saat ini dia masih memiliki hubungan dengan sesama laki-laki, namun dalam hatinya dia masih menyimpan keinginan hidup sebagai laki-laki normal. Dia sadar apa yang dilakukannya sudah menyalahi kodrat. “Walaupun sulit, karena saya sudah lama hidup begini, kalau ada kemauan dan seiring berjalannya waktu saya yakin saya bisa jadi laki-laki normal,” tandasnya.
Sebut saja dia Luis, umurnya kini sudah menginjak kepala tiga. Secara fisik, Luis terlahir normal seperti laki-laki pada umumnya. Begitu juga dengan gaya dan sifatnya yang terlihat seperti laki-laki normal.
Namun siapa sangka dengan perawakannya itu ternyata Luis adalah seorang gay asal Riau yang sempat berdomisili cukup lama di Padang.
Sewaktu masih tinggal di Riau, saat Luis kelas lima SD, pria 30 tahun ini pernah mengalami pelecehan seksual dari pamannya sendiri. Luis disodomi bebera kali oleh Pamannya yang saat itu si Paman tinggal se rumah dengan Luis dan keluarga.
“Biasalah mas, anak kecil nggak tahu apa-apa, diiming-imingi ini itu mau saja. Sampai sekarang orang tua saya nggak pernah tahu soal ini (disodomi),” Tuturnya.
Pengalaman buruk yang dialaminya waktu kecil itu seakan menjadi pematik keterjerumusan Luis dalam dunia cinta sesama jenis.
Waktu demi waktu telah berlalu, Luis pun mulai menginjak usia remaja. Waktu duduk di bangku Kelas tiga SMP, Luis melakoni pekerjaan sambilan sebagai penyiar radio di salah satu radio ternama di Pekanbaru.
Menjadi penyiar radio membawa Luis bertemu dengan sesama penyiar radio lain yang lebih senior, dan kebetulan tanpa disangka-sangka mereka adalah gay. Dari perkenalannya dengan penyiar senior itu dari sana Luis mulai dikenalkan dengan pria gay lainnya, hingga akhirnya Luis bergaul dilingkungan gay dalam kesehariannya.
Karena lama bergaul di lingkunan gay, tanpa disadari, mulai timbul ketertarikan terhadap sesama laki-laki di diri Luis. Seperti rasa ketertarikan yang lumrah dirasakan ABG seusianya dengan lawan jenis, Luis juga merasakan hal itu, bedanya ketertarikan yang dirasakan Luis dengan sesama laki-laki.
“Mungkin ini karena pergaulan, karena jiwa remaja waktu itu biasalah, masih mencari jati diri,. Waktu SMP itu mulai ada rasa suka melihat laki-laki yang lebih keren, lebih rapi dan lebih cakep. Ya terjerumuslah akhirnya,” tutur Luis.
Saat usianya menginjak 21 tahun, Luis kemudian pindah ke Jakarta. Selama di Jakarta Luis bekerja sebagai chef atau juru masak di sebuah hotel berbintang.
Selama Jakarta, Luis telah menjalin hubungan dengan belasan laki-laki, salah satunya dengan seorang berkewarganegaraan Kanada yang menjadi guru bahasa Inggris di Jakarta.
Setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan bule Kanada ini, pada suatu ketika si bule Kanada pindah tugas ke Bali. Luis yang saat itu adalah seorang chef dan telah cukup mapan secara ekonomi menolak untuk di ajak pindah ke Bali, dan hubungan merekapun berakhir.
Suatu saat, saat Luis cuti, Luis pulang kerumah orang tua di Riau, mengetahui hal itu entah kenapa si Kanada nekat menyusul Luis ke rumah orang tuanya. Dari sanalah orang tua Luis tahu bahwa sang anak ternyata adalah serorang Gay.
Sejak itu hidup dan karir luis hancur, ibunya drop dan sempat dirawat dirumah sakit setelah mengetahui anaknya adalah seorang gay. Keadaan itu memaksa Luis meninggalkan pekerjaannya di Jakarta demi merawat sang ibu di kampung halaman.
“Saya dihakimi oleh kerluarga saya, akhirnya apa yang saya dapat di jakarta, pekerjaan saya, jabatan saya semuanya hancur,” tuturnya.
Setelah hubungannya dengan orang tua mulai membaik, tahun 2010 Luis kemudian hijrah ke Padang. Selama empat tahun di Padang Luis bekerja di salah satu tempat hiburan malam. Sama seperti saat Luis di Riau dan Jakarta, di Padang pun Luis bergaul di lingkungan gay.
Menurut Luis, dibanding dulu dimana kaum gay lebih tertutup, kini kaum gay di Padang sudah lebih berani menampakkan diri.
Luis menuturkan, menemukan kaum LGBT khususnya gay di Padang bukanlah hal yang sulit dilakukan. Pada jam-jam tertentu di tempat-tempat tertentu seperti di pusat hiburan malam, tempat finess dan caffe-caffe kaum Gay biasanya berkumpul.
“Sangat mudah (menemukan gay) mas, coba deh kamu setiap jam sebelas malam ke jalan A Yani, di sana ada tempat nge-gym, mereka semua di sana. Sudah lumrah sekarang mah cowok maco pacarnya cowok maco. Itu baru salah satunya, ada banyak tempat ngumpul lain di Padang,” tuturnya.
Bedanya dengan orang normal, jika gay berkumpul yang mereka bicarakan bukanlah pembicaraan antara laki-laki pada umumnya. Mereka lebih suka membicarakan soal fashion , soal bagaimana membuat tubuh menjadi lebih berotot hingga obrolan seputar dunia gay.
“Kalau cowok normal kan kalau ngumpul biasanya ngomongin bola, olah raga, hobi atau ngomongin cewek, kalau kami ngebahasnya yang kayak fashion, gimana bikin badan bagus, ya kayak gitu-gitu la,” ungkapnya.
Selain berkumpul, kaum gay di Padang juga saling terhubung lewat jejaring sosial MIRC, sebuah aplikasi chatting yang lumrah digunakan di era 200 an. Di MIRC itu ada sebuah channel khusus untuk interaksi kaum gay yang berdomisili di Padang. Menurut pengakuan Luis, di jam-jam tertentu, seperti sore dan malam, lebih dari 100 gay loggin di channel khusus gay Padang itu.
Luis mengungkapkan, dalam dunia LGBT, khususnya gay, hanya berlandasan suka sama suka, melakukan hubungan badan bukanlah hal yang tabu bagi mereka.
Bahkan, lebih parahnya lagi, di Padang sendiri tidak sedikit kaum gay yang memasang tarif khusus untuk melakukan hubungan badan sesama jenis, atau bisa juga dibilang pekerja seks komersial khusus kaum gay.
Tarifnya pun bukan main-main, standar tarif berdasarkan kualitas badan si penjaja seks ini. Jika badannya bagus berotot tarifnya bisa sampai 2 hingga 4 juta.
“Kalau hal yang seperti ini (PSK gay) banyak, tergantung kitanya sanggup bayar berapa. Kalau budget kita gede bisa dapat yang badannya bagus. Saya pernah punya teman dari luar kota datang ke Padang, dia pengen cobain orang Padang, saya ngasih beberapa kontak dan terserah mereka nego nya gimana,” jelasnya.
Kendati demikian, Luis mengaku dirinya tidaklah 100 persen penyuka sesama jenis. Luis mengaku walaupun hanya sedikit, Luis terkadang masih punya ketertarikan dengan wanita.
“Perbandingannya 70-30 lah, 70 ke cowok, 30 ke cewek,” akunya.
Sebenarnya selama di Padang, Luis sempat terpikir ingin menjalani hidup sebagai orang normal, dia sempat hampir menikahi seorang gadis yang telah dipacarinya selama empat bulan di Padang. Tapi karena hal tertentu, pernikahan yang direncanakannya itu batal karena tidak direstui oleh paman sang gadis. Batalnya pernikahan itu membuat Luis kembali terjun kedalam dunia gay.
Menurut Luis sendiri, orientasi seks menyimpang yang dialaminya ini bukanlah karena faktor genetis atau bawaan lahir. Dia berpendapat orientasi seksual manusia tergantung dari diri manusia itu sendiri dan bagaimana manusia itu memilih lingkungan pergaulannya. Namun dia juga tidak setuju LGBT di anggap gangguan jiwa.
“Nggak ada itu faktor genetik, kalau itu genetik kita nyalahin tuhan dong. Tergantung kita aja, sanggup nggak kita menempatkan diri bagaimana ? sanggup nggak kita menahan nafsu ? sadar nggak yang kita lakuin itu apa ?
Sejak beberapa bulan terakhir, Luis kini telah berdomisili di Jakarta bekerja sebagai pedagang. Walaupun saat ini dia masih memiliki hubungan dengan sesama laki-laki, namun dalam hatinya dia masih menyimpan keinginan hidup sebagai laki-laki normal. Dia sadar apa yang dilakukannya sudah menyalahi kodrat. “Walaupun sulit, karena saya sudah lama hidup begini, kalau ada kemauan dan seiring berjalannya waktu saya yakin saya bisa jadi laki-laki normal,” tandasnya.
0
17.5K
50
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Citizen Journalism
14.7KThread•11KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya