Halo gan.
Belom ada kelanjutan lagi ya gan dari kasus JIS setelah penangkapan kedua guru di bulan Februari kemarin. Padahal udah rame banget ya sejak kultwitnya bang @kurawa di twitter. Terakhir ane pernah baca kalo dari pihak Ferdi dan Neil akan menambah bukti baru yaitu hasil pemeriksaan dari korban di Belgia yang menyatakan jika lubang anus korban normal dan tidak terjangkit Herpes. Berarti langkah yang akan dilakukan setelah banding akan diadakan Peninjauan Kembali. Sudah 2 bulan ya sejak MA menyatakan jika putusan mereka akhirnya dibatalkan makanya sekarang mereka harus menikmati hari mereka di penjara. Selama ane cari-cari tahu kapan sekiranya Peninjauan Kembali atau gimana perkembangannya, ane dapet artikel ini nih gan, monggo:
Kasus lancung buat cari untung
Reporter : Laurel Benny Saron Silalahi, Nuryandi Abdurohman | Senin, 2 Mei 2016 10:26
Merdeka.com - Mahkamah Agung melalui putusan kasasinya menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 100 juta kepada dua guru Jakarta Intercultural School (JIS), Neil Bentlemen dan Ferdinand Michael Tjiong pada 25 Februari 2016 lalu. Neil dan Ferdinand sebelumnya dinyatakan tak bersalah oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Keduanya pun kembali menghirup udara bebas pada Agustus 2015 lalu.
Kuasa hukum JIS, Harry Ponto mengaku tengah mempersiapkan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan tersebut. Menurut Hary, jika dilihat dari perspektif hukum, kasus yang dituduhkan kepada dua warga negara asing (WNA) ini kuat dugaan telah direkayasa.
"Yang paling esensi sebenarnya dalam hal ini adalah bahwa adanya dugaan sodomi oleh paedofilia. Tapi dari hasil visum jelas-jelas mengatakan tidak ada bekas luka. Nah itu hasil dari visum et repertum RSCM," ujarnya saat ditemui merdeka.com di kantornya, Jumat (30/4) pekan kemarin.
Harry menjelaskan visum et repertum adalah visum yang dilakukan secara visual yang hasil pemeriksaannya dilihat langsung oleh dokter. Salah satu janggalnya Theresia Pipit, ibu M juga melakukan visum terhadap anaknya di Rumah Sakit Pondok Indah.
Harry mengatakan, kasus ini memang bergulir begitu cepat sehingga membentuk opini publik menyudutkan sekolah JIS. Apalagi menurutnya, kasus paedofil di Indonesia sangat sensitif dan bisa menyulut kemarahan masyarakat tanpa melihat fakta-fakta yang sebenarnya.
"Sebenarnya selama ini mereka (guru dan petugas kebersihan JIS) yang menjadi korban. Jadi kalau kembali melihat buktinya sama sekali tidak ada yang bisa meyakinkan," ungkapnya.
Dia melanjutkan hingga kini Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum bisa menemukan bukti kuat bahwa memang telah terjadi pencabulan di sekolah JIS tersebut. Selain itu, lanjut Harry, ada beberapa kejanggalan yang menjadi pegangan majelis hakim untuk menjatuhkan vonis kepada terdakwa saat di persidangan. "Hakim hanya berpegangan pada keterangan anak dan keterangan ahli tidak fokus pada alat bukti yang ada. Saya pernah tanyakan ini untuk melihat alat bukti yang ada tapi tidak pernah diberitahukan. Padahal jika alat bukti saja tidak kuat, kasus ini tidak bisa maju ke persidangan," jelasnya.
Sebagai pengacara yang sudah banyak menangani banyak kasus, Harry curiga ada permainan besar di balik kasus ini. Dia pun mencurigai bahwa beberapa penegak hukum terlibat untuk melakukan kriminaliasi. Setelah mengamati semua proses hukum, Harry, mencium adanya maksud terselubung dalam perkara ini. "Motif di balik kasus ini, kami melihatnya sudah meragukan jika tujuannya berbicara terhadap perlindungan anak. Tujuannya sudah jelas komersial. Itulah yang kami lihat sekarang," tegasnya.
Harry berpendapat gugatan perdata orangtua M, Theresia yang memakai jasa OV Kaligis kepada pihak pengelola JIS dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi USD 125 patut dicermati. Sebelumnya, gugatan itu hanya USD 12,5. Gugatan itu juga sudah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Soalnya itu sudah pasti tidak dapat dipenuhi oleh pihak sekolah. Jadi itulah sebabnya kita menduga ada maksud lain di balik kasus ini," tambahnya.
Salah seorang orangtua murid, Ayu juga memberikan kesaksian bahwa kasus ini sengaja direkayasa oleh Thresia untuk kepentingan pribadinya. Anak Ayu masih duduk di bangku Taman Kanak Kanak. Ayu mengatakan, wali murid juga mencurigai adanya motif besar di balik kasus ini. Mereka menduga jika Theresia sengaja memanfaatkan masalah ini untuk melakukan pemerasan terhadap sekolah JIS dengan cara menuntut ganti rugi Rp 1,6 triliun rupiah. "Semakin curiga ketika ibu korban itu minta uang ganti rugi sebesar 125 juta dolar. Kami makin yakin jika ini rekayasa. Padahal awalnya tuntutan itu sebesar 12,5 juta dolar, tapi akhirnya naik. Kalau ditotal jumlahnya itu bisa Rp 1,6 triliun rupiah," jelasnya.
Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan, masalah muncul karena kesaksian ibu pelapor tidak memenuhi syarat, karena yang bersangkutan tidak mengalami, mendengar, dan melihat kejadiannya. Namun, laporan itu menjadi acuan penyidik untuk menetapkan tersangka.
Dia menilai penyidikan dalam kasus kekerasan seksual di JIS mengandung banyak pelanggaran prosedur. Pertama, penangkapan para petugas kebersihan dilakukan kepala keamanan JIS. Kedua, bantuan hukum kepada para tersangka tidak optimal. Ketiga, rekonstruksi kasus dilakukan tanpa disertai berita acara. "Kasus JIS dengan tersangka pekerja kebersihan merupakan investigasi dengan niat jahat. Penegak hukum gagal membuktikan adanya peristiwa tindak pidana yang identik sebagai kejahatan seksual," ujar Haris.
Indikasi lainnya mengapa kasus ini dikatakan rekayasa, menurut Haris, terlihat dari sikap majelis hakim yang tidak berusaha menggali penyebab para tersangka mencabut pengakuan mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disusun penyidik. Menurut dia, alasan pencabutan BAP itu perlu digali karena berkaitan dengan bukti-bukti dalam kasus tersebut. "Apalagi dalam kasus ini anak pelapor dalam memberikan keterangan lebih banyak diarahkan ibunya. Keterangan tersebut juga tidak sesuai dengan alat bukti surat, seperti hasil visum et repertum," pungkasnya.
Dia menjelaskan kejanggalan-kejanggalan lain yang muncul adalah adanya penyiksaan yang dilakukan terhadap enam petugas kebersihan, yaitu Virgiawan Amin, Agun Iskandar, Zainal Abidin, Syahrial, (Alm) Azwar, dan Afrischa Setyani, dipaksa mengaku melakukan pelecehan seksual terhadap M.
Dia melanjutkan salah satu kejanggalannya, Azwar meninggal dunia saat masih dalam proses penyidikan Polda Metro Jaya dengan wajah ditemukan penuh lebam dan bibir pecah. "Anehnya, polisi selalu menolak melakukan autopsi terhadap jenazah Azwar,' tegasnya.
Lebih lanjut Haris mengatakan, fakta-fakta rekayasa seperti ini yang semestinya juga dipertimbangkan oleh MA. Untuk itu dirinya menyarankan agar pengacara terdakwa melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK). "PK menjadi tak terhindarkan untuk ditempuh," pungkasnya.
source:
http://www.merdeka.com/khas/kasus-la...sus-jis-4.html
Duh gatau deh gan, yang mana yang bener. Tapi aneh banget sih ya karena dengan bukti yang gajelas tapi pihak pelapor menuntut ganti rugi kemudian menaikkan jumlah ganti rugi dengan kenaikan yang semena-mena. Kentara banget sih dia maunya apa. Amit-amit sih ya, tapi kalo ane jadi pelapor dengan melihat pelaku sudah ditangkap dan dihukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia, ane sih yaudah, cukup. Lebih baik ane fokus untuk mengembalikan mental anak ane. Ga peduli juga kan mau diganti rugi berapa banyak duit juga karena ga akan bisa mengembalikan keadaan yang sudah terlanjur terjadi.
Tapi ya ane sih saat ini masih berpikir jika ada kejanggalan dimana takutnya terjadi rekayasa kasus pelecehan di JIS. Balik lagi ane tetap mendukung banget pengusutan kembali dengan tuntas serta Pengkajian Kembali agar segera dilakukan. Agar nama yang seharusnya baik tetap baik dan yang tidak bersalah tidak dihukum.