Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

victim.o.gip99Avatar border
TS
victim.o.gip99
Antara Ahok dan Pengembang dalam 'Perjanjian Preman' Terkait Reklamasi
Jakarta - 
Peraturan Daerah (Perda) yang seharusnya memuat tentang kontribusi tambahan bagi perusahaan pengembang reklamasi berhenti di tengah jalan. Pembahasannya mandek lantaran DPRD DKI tidak bersedia memasukkan pasal itu di dalam rancangan Perda tersebut.

Namun, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memutar otak agar bisa menarik kontribusi tambahan itu kepada perusahaan pengembang reklamasi. Ahok pun membuat 'perjanjian preman' dengan perusahaan pengembang, alih-alih menunggu rancangan Perda diketok.

"Kalau perjanjian itu kan kamu suka sama suka, berarti kuat dong. Kerja sama bisnis kok. Ya kalau enggak ada perjanjian kan enggak kuat. Makanya sebelum saya tetapkan itu, saya ikat dulu pakai perjanjian kerja sama," terang Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat kemarin.

Namun dari sisi tata negara, kedudukan Perda sejatinya tidak bisa digantikan dengan perjanjian semata. Ahli tata negara Dr Bayu Dwi Anggono menegaskan bahwa pembentukan Perda oleh DPRD melalui persetujuan bersama kepala Daerah memiliki arti keterlibatan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melalui wakil-wakilnya di lembaga perwakilan yaitu DPRD untuk memutus hal-hal strategis yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.

"Sementara terhadap sebuah perjanjian yang dibuat oleh kepala daerah dengan pihak swasta, pembuatannya tidak ada kewajiban melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPRD. Hal ini tentu sangat rawan isi perjanjian tidak mencerminkan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi," ujar Bayu.

Lebih lanjut, Bayu menjelaskan bahwa Perda memuat materi penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian apabila suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri memerintahkan pembentukan Perda, maka terhadap perintah atau delegasi pengaturan semacam itu harus dilaksanakan dan tidak bisa digantikan dengan produk hukum seperti perjanjian dengan alasan apapun.

"Intinya kalau delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi memerintahkan diatur melalui Perda berarti pejabat pemerintahan yaitu kepala daerah tidak boleh menyimpanginya, harus diatur melalui Perda dan tidak boleh melalui produk hukum lainnya semisal perjanjian," jelas Bayu.

Tentang perjanjian itu memang diungkapkan Ahok sebagai dasar penarikan kewajiban tambahan kontribusi dari para pengembang. Perjanjian itu dibikin pada rapat tanggal 18 Maret 2014 dan disebut Ahok sebagai 'perjanjian preman'.

Pemerintah Provinsi DKI dianalogikan sebagai preman resmi yang punya kewenangan menarik kewajiban dari perusahaan swasta. Tak hanya terkait perusahaan pengembang reklamasi, namun penarikan kewajiban dari perusahaan swasta lainnya juga dilakukan dengan dasar 'perjanjian preman' semacam itu. Misalnya penarikan kewajiban pembayaran menaikkan Koefisien Luas Bangunan (KLB) dari perusahaan Jepang, Mori.

"Kaya perjanjian preman kaya gitu juga," kata Ahok.

Perjanjian ini dibikin lantaran tak ada Perda yang bisa dijadikan landasan kuat penarikan kewajiban tambahan. Belakangan, Ahok bermaksud memasukkan besaran 15 persen kewajiban tambahan kontribusi ke dalam Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Namun akhirnya DPRD DKI sendiri menolak untuk melanjutkan pembahasan Raperda itu, seiring kasus suap yang menjerat penggawa DPRD DKI, yakni Mohammad Sanusi.

Lalu apa yang menjadikan perjanjian semacam itu absah? Ahok menyandarkan semua ini pada Keputusan Presiden (Keppres). Dalam Keppres tersebut, kata Ahok, diatur soal kewajiban yang bisa dikenakan kepada pengembang. Hanya saja besaran kewajiban itu tidak diatur detil dalam Keppres itu.

"Jadi begini, di situ ada Keppres menyebutkan, ada tiga sebetulnya. Jadi landasannya dari situ. Satu, ada tambahan kontribusi. Ada kewajiban, kalau kewajiban kan fasum fasos. Ada kontribusi 5 persen. Di situ katakanlah ada kontribusi tambahan, tapi enggak jelas apa. Ya saya manfaatkan dong (untuk dibikinkan perjanjian sendiri)," tutur Ahok.

Ahok tidak merinci Keppres yang dia maksud. Namun, bila merujuk Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, tidak ada satu pasal pun di Keppres tersebut yang mencantumkan soal kewajiban, kewajiban tambahan, atau kontribusi.  

KPK yang tengah mengusut perkara suap di balik pembahasan 2 raperda itu pun ikut menelisik tentang proses penetapan kontribusi tambahan 15% tersebut. Bahkan KPK menduga pula adanya barter antara tambahan kontribusi tersebut dengan bantuan perusahaan pengembang pada sejumlah proyek Pemprov DKI seperti penggusuran Kalijodo.

"Kita sedang selidiki dasar hukumnya barter itu apa. Ada enggak dasar hukumnya," kata Ketua KPK Agus Raharjo, Kamis (12/5/2016).(dhn/try)


http://m.detik.com/news/berita/32103...kait-reklamasi

Memangnya ente kira negara nenek moyang ente? Seenaknya saja bikin perjanjian dengan swasta tanpa landasan aturan yang jelas.
0
4.2K
76
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.6KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.