- Beranda
- Berita dan Politik
Eksekusi Mati 'Tanpa Drama', Dunia Pantau Pergerakan Indonesia
...
TS
hebatpart2
Eksekusi Mati 'Tanpa Drama', Dunia Pantau Pergerakan Indonesia
Quote:
Eksekusi Mati 'Tanpa Drama', Dunia Pantau Pergerakan Indonesia
Liputan6.com, Jakarta -Mata dunia mengarah ke Indonesia, menyusul niat pemerintah untuk melakukan eksekusi mati tahap III. Belum jelas kapan itu akan dilakukan, tapi pada saatnya, 15 terpidana mati kasus narkotika akan menghadapi regu tembak.
Seperti dikutip dari Time, Jumat (13/5/2016), hanya 5 dari 15 terpidana mati yang akan dieksekusi. Lainnya adalah warga asing, yang diduga 3 warga negara Tiongkok, 1 Pakistan, 2 Nigeria, 2 Senegal, dan 1 Zimbabwe.
Dalam artikelnya, "Indonesia Hopes to Execute Several Foreign Death-Row Inmates Without the World Noticing", Time menyebut Indonesia kukuh melaksanakan eksekusi mati tanpa mendengarkan pendapat dunia.
Media Amerika Serikat tersebut juga menyebut, protes keras bakal kembali terjadi seperti saat eksekusi 14 narapidana kasus narkotika pada 2015.
Dua di antaranya adalah warga negara asing, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, yang adalah anggota sindikat narkoba Bali Nine.
Kala itu, sejumlah kampanye gencar dilakukan di media sosial, menuntut pengampunan untuk dua warga Australia itu, juga untuk Mary Jane Veloso dari Filipina dan Serge Atlaoui dari Prancis.
Sejumlah aksi juga dilakukan sejumlah negara yang menjadi asal para terpidana mati. Australia, Belanda, dan Brasil menarik duta besarnya dari Indonesia sebagai bentuk protes. Kanselir Jerman Angela Merkel bahkan mengungkapkan secara langsung keberatannya pada Presiden Jokowi yang berkunjung ke Berlin bulan lalu.
Namun, tidak demikian dengan 3 terpidana mati lain. Zimbabwe kini sedang mengurangi hukuman mati, sementara Senegal sudah menghapusnya satu dekade lalu.
Persiapan sudah dilakukan
Mengutip Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Time menuliskan bahwa, "Eksekusi mati bisa berlangsung setiap saat."
"Eksekusi kapan saja bisa ada...Tapi dipastikan tidak ada drama seperti sebelumnya," kata Luhut dalam acara Coffee Morning pada 21 April 2016.
Sejumlah narapidana mati kini sudah dikirim ke Nusakambangan, Cilacap. Polda Jawa Tengah juga dikabarkan terus melakukan persiapan jelang eksekusi mati jilid III itu yang dikabarkan akan dilakukan dalam waktu dekat.
"Pertengahan bulan ini, 15 orang. Tempatnya sama di Nusakambangan," ungkap Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol A Liliek Darmanto saat dihubungi Liputan6.com, Selasa 10 Mei 2016.
Untuk keperluan itu, imbuh Lliliek, 150 penembak jitu yang keseluruhan dari Brimob Polda Jateng, saat ini menjalani pelatihan dan program penguatan rohani.
"Kemarin pemberitahuannya tahap III akan lakukan eksekusi 13 terpidana mati. Sekarang bertambah dua jadi 15 terpidana mati yang akan dieksekusi," ujar Liliek.
Dia menjelaskan, dengan tambahan dua terpidana mati yang akan dieksekusi, pihaknya mempersiapkan sedikitnya 20 personel tambahan.
Meski hukuman mati jilid III itu tengah ramai dibicarakan, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmad membantah akan mengeksekusi 15 terpidana kasus narkotika itu. Ia pun mempertanyakan kebenaran informasi yang beredar tersebut.
"Sumbernya dari mana? Nanti dikasih tahu kalau sudah pasti," ujar Noor Rachmad di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa 10 Mei 2016.
Menurut Noor Rachmad, pihaknya bahkan belum mengetahui secara pasti jumlah terpidana mati kasus narkoba yang sudah ditolak upaya peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung. "Saya masih harus cek dulu," ucapnya.
Selain itu, ia juga mengaku belum tahu kapan waktu pelaksanaan eksekusi mati jilid III. Tetapi, untuk persiapan pelaksanaan eksekusi mati, Noor Rachmad tak mengelak.http://global.liputan6.com/read/2505...akan-indonesia
Liputan6.com, Jakarta -Mata dunia mengarah ke Indonesia, menyusul niat pemerintah untuk melakukan eksekusi mati tahap III. Belum jelas kapan itu akan dilakukan, tapi pada saatnya, 15 terpidana mati kasus narkotika akan menghadapi regu tembak.
Seperti dikutip dari Time, Jumat (13/5/2016), hanya 5 dari 15 terpidana mati yang akan dieksekusi. Lainnya adalah warga asing, yang diduga 3 warga negara Tiongkok, 1 Pakistan, 2 Nigeria, 2 Senegal, dan 1 Zimbabwe.
Dalam artikelnya, "Indonesia Hopes to Execute Several Foreign Death-Row Inmates Without the World Noticing", Time menyebut Indonesia kukuh melaksanakan eksekusi mati tanpa mendengarkan pendapat dunia.
Media Amerika Serikat tersebut juga menyebut, protes keras bakal kembali terjadi seperti saat eksekusi 14 narapidana kasus narkotika pada 2015.
Dua di antaranya adalah warga negara asing, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, yang adalah anggota sindikat narkoba Bali Nine.
Kala itu, sejumlah kampanye gencar dilakukan di media sosial, menuntut pengampunan untuk dua warga Australia itu, juga untuk Mary Jane Veloso dari Filipina dan Serge Atlaoui dari Prancis.
Sejumlah aksi juga dilakukan sejumlah negara yang menjadi asal para terpidana mati. Australia, Belanda, dan Brasil menarik duta besarnya dari Indonesia sebagai bentuk protes. Kanselir Jerman Angela Merkel bahkan mengungkapkan secara langsung keberatannya pada Presiden Jokowi yang berkunjung ke Berlin bulan lalu.
Namun, tidak demikian dengan 3 terpidana mati lain. Zimbabwe kini sedang mengurangi hukuman mati, sementara Senegal sudah menghapusnya satu dekade lalu.
Persiapan sudah dilakukan
Mengutip Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Time menuliskan bahwa, "Eksekusi mati bisa berlangsung setiap saat."
"Eksekusi kapan saja bisa ada...Tapi dipastikan tidak ada drama seperti sebelumnya," kata Luhut dalam acara Coffee Morning pada 21 April 2016.
Sejumlah narapidana mati kini sudah dikirim ke Nusakambangan, Cilacap. Polda Jawa Tengah juga dikabarkan terus melakukan persiapan jelang eksekusi mati jilid III itu yang dikabarkan akan dilakukan dalam waktu dekat.
"Pertengahan bulan ini, 15 orang. Tempatnya sama di Nusakambangan," ungkap Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol A Liliek Darmanto saat dihubungi Liputan6.com, Selasa 10 Mei 2016.
Untuk keperluan itu, imbuh Lliliek, 150 penembak jitu yang keseluruhan dari Brimob Polda Jateng, saat ini menjalani pelatihan dan program penguatan rohani.
"Kemarin pemberitahuannya tahap III akan lakukan eksekusi 13 terpidana mati. Sekarang bertambah dua jadi 15 terpidana mati yang akan dieksekusi," ujar Liliek.
Dia menjelaskan, dengan tambahan dua terpidana mati yang akan dieksekusi, pihaknya mempersiapkan sedikitnya 20 personel tambahan.
Meski hukuman mati jilid III itu tengah ramai dibicarakan, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmad membantah akan mengeksekusi 15 terpidana kasus narkotika itu. Ia pun mempertanyakan kebenaran informasi yang beredar tersebut.
"Sumbernya dari mana? Nanti dikasih tahu kalau sudah pasti," ujar Noor Rachmad di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa 10 Mei 2016.
Menurut Noor Rachmad, pihaknya bahkan belum mengetahui secara pasti jumlah terpidana mati kasus narkoba yang sudah ditolak upaya peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung. "Saya masih harus cek dulu," ucapnya.
Selain itu, ia juga mengaku belum tahu kapan waktu pelaksanaan eksekusi mati jilid III. Tetapi, untuk persiapan pelaksanaan eksekusi mati, Noor Rachmad tak mengelak.http://global.liputan6.com/read/2505...akan-indonesia
Quote:
Pro Kontra Pidana Mati Di Indonesia
Masyarakat Indonesia khususnya para yuris terbelah dalam menyikapi pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, sebagian mendukung pelakasanaan hukuman mati dan sebagian lagi menentangnya. Pada umumnya masyarakat yang menolak pemberlakuan hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusi (HAM) seperti yang selalu disuarakan oleh Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan) dalam menentang pemberlakuan hukuman mati.
Untuk menilai secara objektif tentang pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, ada baiknya untuk mencermati pertanyaan yang dilontarkan oleh Sahetapy tentang pelaksanaan hukuman mati Indonesia, beliau mengatakan, dapatkah secara ilmiah dijalin suatu hubungan timbale balik antara pidana mati dan pancasila dan apakah kesadaran hukum dari bangsa Indonesia masih dapat mengizinkan dan atau mempertahankan pidana mati (baca: hukuman mati dalam Negara pancasila). Roeslan Saleh, berpendapat tidak setuju adanya pidana mati di Indonesia karena beberapa alasan, pertama, putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi kalau ada kekeliruan, kedua, mendasarkan landasan falsafah Negara pancasila, maka pidana mati itu bertentangan dengan perikemanusiaan.Sebagaimana Roeslan Saleh, Sahetapy, juga mempunyai pendapat yang sama, beliau menyatakan, hukuman mati bertentangan dengan Pancasila (baca: Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007).
Sejalan dengan pendapatnya Roeslan Saleh tersebut, Arief Sidharta, juga menolak pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, beliau mendasarkan pendaptnya terhadap Pasal 28I UUD 1945 yang menyatakan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, beliau menegaskan “hak untuk hidup” masuk ke dalam kelompok hak nonderogalbe, berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior. (baca: hukuman mati dalam polemik).
Pendapat Arif Sidharta, menurut pandangan penulis sangat lemah, karena dalam redaksi Pasal 28I tersebut bukan hanya “hak untuk hidup” yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, namun juga “hak untuk tidak disiksa” masuk dalam rumusan Pasal 28I UUD 1945tersebut, sedangkan hukuman dalam bentuk apapun merupakan penyiksaan seprti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Kemudian pertanyaannya bagaimana dengan hukuman penjara dan lain-lainya seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP, apakah kemudian setiap pelaku kejahatan tidak dapat dihukum karena setiap orang berhak untuk tidak disiksa sebagaiman Pasal 28I UUD 1945. Kalau kita mengacu kepada Pasal 28J UUD 1945 dimana Negara diberikan hak untuk memberikan pembatasan-pembatas dengan undang-undang terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, maka hukuman mati adalah konstitusional karena tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, pemberian hukuman mati terhadap tidak dapat dilihat dari satu aspek saja yaitu terpidana, namun juga dari aspek yang lain yaitu dari akibat yang ditimbulkan dari perbuatan terpidana, sebagaimana pendapat A Muhammad Asrun, beliau menyatakan pemahaman yang benar terhadap pemberlakuan hukuman mati terkait kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) seperti kejahatan narkotika harus dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap hak hidup (the right to life) banyak orang (Baca: Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007).
Sejalan dengan pendapat A Muhammad Asrun, menurut Didik Endro Purwo Laksono, Fungsi secara khusus dari hukum pidana yaitu secara khusus ialah melindungi kepentinqan hukum terhadap perbuatan, tindakan atau aktivitas atau kegiatan yang membahayakan. Yang dimaksud dengan Kepentingan Hukum itu sendiri, yaitu : kepentingan hukum terhadap nyawa manusia. Maknanya di sini yaitu bahwa siapapun tidak boleh melakukan perbuatan, kegiatan, aktivitas yang membahayakan atau melanggar kepentingan hukum yang berupa nyawa manusia. Bagi siapa saja yang membahayakan atau melanggar kepentingan hukum terhadap nyawa manusia, dapat dijerat dengan ketentuan KUHP, misainya 340 KUHP, 338 KUHP, 359 KUHP.
Bagaimana dengan sosiologis masyarakat Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan hukuman mati. Dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia sebelum dan pasca pelaksanaan eksekusi mati yang baru-baru ini dilakukan oleh pemerintah, maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia setuju dengan adanya hukuman mati, khususnya terpidana kasus Narkotika. Karena tidak ada gerakan masyarakat yang menolak terhadap eksekusi mati tahap II tersebut, kecuali hanya sebagian kecil dari elemen masyarakat yang menolak hukuman mati.
Selain itu dari factor kesejarahan, hukuman mati telah eksis atau diterapkan di bumi Nusantara sejak sebelum kemerdekaan Indonesia untuk kasus kejahatan yang dapat merusak tatanan sosial dan keseimbangan masyarakat sebagaimana yang diungkapkan Soepomo (baca: pidana mati dalam Negara pancasila). Sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan dunia internasional bahwa kejahatan Narkotika masuk kedalam kategori white color crime (kejahatan kerah putih) sehingga penjatuhan pidana mati terhadap kejahatan tersebut sangat wajar, karena Narkoba dan sejenisnya dapat merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat dan dapat mengancam keseimbangan masyarakat.http://www.hukumpedia.com/keluarga/p...i-di-indonesia
Masyarakat Indonesia khususnya para yuris terbelah dalam menyikapi pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, sebagian mendukung pelakasanaan hukuman mati dan sebagian lagi menentangnya. Pada umumnya masyarakat yang menolak pemberlakuan hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusi (HAM) seperti yang selalu disuarakan oleh Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan) dalam menentang pemberlakuan hukuman mati.
Untuk menilai secara objektif tentang pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, ada baiknya untuk mencermati pertanyaan yang dilontarkan oleh Sahetapy tentang pelaksanaan hukuman mati Indonesia, beliau mengatakan, dapatkah secara ilmiah dijalin suatu hubungan timbale balik antara pidana mati dan pancasila dan apakah kesadaran hukum dari bangsa Indonesia masih dapat mengizinkan dan atau mempertahankan pidana mati (baca: hukuman mati dalam Negara pancasila). Roeslan Saleh, berpendapat tidak setuju adanya pidana mati di Indonesia karena beberapa alasan, pertama, putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi kalau ada kekeliruan, kedua, mendasarkan landasan falsafah Negara pancasila, maka pidana mati itu bertentangan dengan perikemanusiaan.Sebagaimana Roeslan Saleh, Sahetapy, juga mempunyai pendapat yang sama, beliau menyatakan, hukuman mati bertentangan dengan Pancasila (baca: Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007).
Sejalan dengan pendapatnya Roeslan Saleh tersebut, Arief Sidharta, juga menolak pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, beliau mendasarkan pendaptnya terhadap Pasal 28I UUD 1945 yang menyatakan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, beliau menegaskan “hak untuk hidup” masuk ke dalam kelompok hak nonderogalbe, berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior. (baca: hukuman mati dalam polemik).
Pendapat Arif Sidharta, menurut pandangan penulis sangat lemah, karena dalam redaksi Pasal 28I tersebut bukan hanya “hak untuk hidup” yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, namun juga “hak untuk tidak disiksa” masuk dalam rumusan Pasal 28I UUD 1945tersebut, sedangkan hukuman dalam bentuk apapun merupakan penyiksaan seprti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Kemudian pertanyaannya bagaimana dengan hukuman penjara dan lain-lainya seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP, apakah kemudian setiap pelaku kejahatan tidak dapat dihukum karena setiap orang berhak untuk tidak disiksa sebagaiman Pasal 28I UUD 1945. Kalau kita mengacu kepada Pasal 28J UUD 1945 dimana Negara diberikan hak untuk memberikan pembatasan-pembatas dengan undang-undang terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, maka hukuman mati adalah konstitusional karena tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, pemberian hukuman mati terhadap tidak dapat dilihat dari satu aspek saja yaitu terpidana, namun juga dari aspek yang lain yaitu dari akibat yang ditimbulkan dari perbuatan terpidana, sebagaimana pendapat A Muhammad Asrun, beliau menyatakan pemahaman yang benar terhadap pemberlakuan hukuman mati terkait kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) seperti kejahatan narkotika harus dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap hak hidup (the right to life) banyak orang (Baca: Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007).
Sejalan dengan pendapat A Muhammad Asrun, menurut Didik Endro Purwo Laksono, Fungsi secara khusus dari hukum pidana yaitu secara khusus ialah melindungi kepentinqan hukum terhadap perbuatan, tindakan atau aktivitas atau kegiatan yang membahayakan. Yang dimaksud dengan Kepentingan Hukum itu sendiri, yaitu : kepentingan hukum terhadap nyawa manusia. Maknanya di sini yaitu bahwa siapapun tidak boleh melakukan perbuatan, kegiatan, aktivitas yang membahayakan atau melanggar kepentingan hukum yang berupa nyawa manusia. Bagi siapa saja yang membahayakan atau melanggar kepentingan hukum terhadap nyawa manusia, dapat dijerat dengan ketentuan KUHP, misainya 340 KUHP, 338 KUHP, 359 KUHP.
Bagaimana dengan sosiologis masyarakat Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan hukuman mati. Dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia sebelum dan pasca pelaksanaan eksekusi mati yang baru-baru ini dilakukan oleh pemerintah, maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia setuju dengan adanya hukuman mati, khususnya terpidana kasus Narkotika. Karena tidak ada gerakan masyarakat yang menolak terhadap eksekusi mati tahap II tersebut, kecuali hanya sebagian kecil dari elemen masyarakat yang menolak hukuman mati.
Selain itu dari factor kesejarahan, hukuman mati telah eksis atau diterapkan di bumi Nusantara sejak sebelum kemerdekaan Indonesia untuk kasus kejahatan yang dapat merusak tatanan sosial dan keseimbangan masyarakat sebagaimana yang diungkapkan Soepomo (baca: pidana mati dalam Negara pancasila). Sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan dunia internasional bahwa kejahatan Narkotika masuk kedalam kategori white color crime (kejahatan kerah putih) sehingga penjatuhan pidana mati terhadap kejahatan tersebut sangat wajar, karena Narkoba dan sejenisnya dapat merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat dan dapat mengancam keseimbangan masyarakat.http://www.hukumpedia.com/keluarga/p...i-di-indonesia
Quote:
Masih perlukah Hukuman Mati? Betulkah hukuman jadi solusi untuk mengurangi tindak kriminal? hmm..
0
124.9K
Kutip
1K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
678.6KThread•47.7KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok