- Beranda
- Stories from the Heart
The Managers
...
TS
redrum03
The Managers
Quote:
Ahoy Juragans..
Welcome to my thread
Welcome to my thread
Quote:
Rules:
1. Ikuti Rules H2H, SFTH Dan Kaskus, jika melanggar akan di laporkan ke hansip atau BRP dari kawan-kawan yang lain
2. Dilarang Kepo terhadap TS dan orang-orang di dalamnya
1. Ikuti Rules H2H, SFTH Dan Kaskus, jika melanggar akan di laporkan ke hansip atau BRP dari kawan-kawan yang lain
2. Dilarang Kepo terhadap TS dan orang-orang di dalamnya
Quote:
Fact:
1. Fiksi? Fiksi
2. Update? Tiap seminggu
3. Genre? Action-Spy, investigation, thriller *ngasal banget ngasih jenisnya. Pokoknya seputaran itu gan.
4. Serius dan monoton? Tidak! ringan dan ada lucunya kok.
1. Fiksi? Fiksi
2. Update? Tiap seminggu
3. Genre? Action-Spy, investigation, thriller *ngasal banget ngasih jenisnya. Pokoknya seputaran itu gan.
4. Serius dan monoton? Tidak! ringan dan ada lucunya kok.
Quote:
Novel ini akan ane sharing sampe beberapa chapter. Buat agan yang baca biar dapet feel, karakter, emosi, dan yang pasti ceritanya. Semoga ada yang suka genre ini dan menjadi refreshing, karena udah banyak yang masukin cerita horor dan cinta di forum ini.
Quote:
Semoga suka ya gan
Kalo suka jangan ragu bintangin lima dan kasih ijo2
Oh iya satu lagi, kalo ada feedback dan saran yang membangun mohon tidak sungkan-sungkan untuk memberi masukan kepada TS
Kalo suka jangan ragu bintangin lima dan kasih ijo2
Oh iya satu lagi, kalo ada feedback dan saran yang membangun mohon tidak sungkan-sungkan untuk memberi masukan kepada TS
“Fiction is the truth inside the lie.”
― Stephen King
― Stephen King
Spoiler for Chapter 1.1:
#1 Geledek Kencang
Ristoranti Italiani.
Sebuah papan nama restoran bergaya Italia di salah satu pojok lantai dasar gedung. Jam 7 malam merupakan jam teramai restoran kelas atas ini. Tamu-tamu yang memenuhi restoran ini umumnya kebanyakan dari kalangan ekspat yang rindu dengan makanan khas negeri Menara Pisa. Mulai dari aneka Pasta, Pizza, hingga makanan penutup terkenalnya seperti Panna Cota dan Tiramisu menjadi menu andalan dari restoran mewah ini. Executive chef dan interior designer nya didatangkan langsung dari negerinya, menjadikan restoran ini kental dengan suasana khas Italia dan hidangan yang sesuai dengan lidah asli negeri Eropa Selatan. Beberapa tamu lokal yang makan disini biasanya sudah pernah merasakan indahnya Italia dan makanan asli negara tersebut.
Disudut pojok restoran, ada sebuah meja khusus yang tidak boleh digunakan oleh tamu biasa. Sebuah meja untuk pengunjung istimewa—pemilik dari restoran dan gedung ini. Hari ini adalah jadwal dia untuk mengunjungi restorannya dan executive chef sudah menyiapkan menu spesial untuknya, Sisilia Spaghetti dan Bruschetta Bread. Kegemerannya dengan budaya Italia bermula dari sebuah film bernama The Godfather, dan pada akhirnya menjadi sebuah obsesi untuk bergaya hidup mafia dan juga budaya kental Italia nya. Disebelahnya berdiri seorang asisten kepercayaannya yang setia mendampingi bos besarnya dan juga seorang bodyguard berfisik kekar dan bermuka dingin, berbalut jas hitam pekat.
Seseorang baru saja masuk kedalam restoran. Dengan memakai baju batik khas Bali, dia bertanya kepada salah satu pelayan dimana pengusaha itu sedang makan. Sang pelayan dengan ramah menunjuk ke sebuah pojokan. Pemuda dengan baju batik itu mendekati meja spesial dengan membawa amplop cokelat ditangannya. Langkahnya dihentikan oleh bodyguard yang bertanya tujuan kedatangannya.
“Saya dari Bali, ingin bertemu Pak Anton.” Logat Bali nya yang kental semakin menunjukkan dimana dia berasal.
“Sebentar.” Bodyguard berbalik arah dan membisikkan ke telinga Anton.
Anton yang sedang menyantap makanannya mempersilahkan pemuda Bali itu untuk duduk, “Silahkan duduk. Mau makan apa? Pesan saja.”
Pemuda itu duduk, “Terima kasih Pak Anton. Saya kebetulan sudah makan sebelum kesini.”
“Minum? Saya panggilkan waiter.”
“Saya tidak kesini untuk makan atau minum. Saya tidak lama disini karena harus kembali ke Bali malam ini.” Suara pemuda itu terkesan tegas dan tidak ingin berbasa-basi.
“Ada keperluan apa anda datang ke Jakarta?” Anton sudah bisa mencium arah pembicaraan ini.
Dia langsung menyudahi makan malam nya.
“Saya datang ke Jakarta untuk mewakili suara para penduduk dari desa untuk menanyakan status dari tanah-tanah kami yang disewakan kepada Pak Anton untuk proyek milik bapak. Saya bawa surat ini untuk diberikan kepada bapak secara langsung.”
Pemuda tersebut menaruh amplop cokelat di meja.
Anton membuka isi amplop tersebut dan membacanya sekilas. “Saya tidak mengerti dengan anda dan juga para penduduk di desa anda. Kita sudah memberi uang yang cukup kepada para pemilik tanah untuk menyewa tanah-tanah tersebut untuk masa 30 tahun lamanya. Lantas anda mau apa sekarang?” Anton membalas dengan tidak berbasa-basi juga.
“Memang kami sudah setuju dengan kontrak sewa bapak untuk 30 tahun. Tapi, setelah kami melihat secara langsung perkembangan proyek ini, kami bisa lihat proyek bapak tidak sesuai dengan uang sewa yang dibayarkan kepada kami. Terlalu murah. Proyek milik bapak tidak seperti properti hotel pada umumnya di Bali.” Pemuda itu membalas pertanyaan Anton dengan tegas.
“Saya bisa perkirakan anda sudah bertanya-tanya kepada salah satu pekerja kontraktor tentang proyek hotel saya ini?” Pertanyaan Anton menusuk tajam.
“Betul sekali pak. Oleh karena itu, pada lembar selanjutnya dari surat ini, kami ingin merubah status sewa dan menjual seluruh tanah yang sebelumnya disewa bapak. Semuanya jelas ada disitu, jumlah tanah beserta harga jual per meter nya.”
Anton membuka surat pada lembar selanjutnya dan membaca dengan seksama. Dia mengangguk setelah membaca beberapa detil di surat penawaran tersebut. Anggukan tersebut bukan mengindikasikan sebuah persetujuan, melainkan dia bisa membaca niatan tersembunyi yang sudah ditawarkan kepadanya.
“Baik. Saya akan tandatangani surat ini. Pena saya ada diruangan kerja. Sebaiknya kita keatas.” Anton berdiri dan menuju pintu keluar restoran.
Asisten, bodyguard, dan pemuda Bali mengikuti dari belakang. Tidak jauh dari restoran itu, terdapat lobi gedung dan beberapa lift yang siap mengantarkan mereka ke lantai atas.
“Selamat malam Pak Anton. Mau ke lantai berapa?” Seorang lift boy menyapa.
“Lantai 40.”
Asisten dan bodyguard saling berpandangan heran.
Pintu lift terbuka, “Silakan Pak Anton.”
Gedung pencakar langit ini memiliki 40 lantai yang berisikan puluhan tenant dari mulai perusahaan lokal dan juga internasional. Beberapa lantai digedung ini dihuni oleh perusahaan-perusahaan milik Anton dengan berbagai macam bidang yang berbeda.
Suasana tegang terasa didalam lift yang berisikan 4 orang ini. Mereka saling diam membisu. Karena tingginya gedung ini, lift ini dirancang dengan menggunakan tenaga turbo untuk mempercepat jalannya ke lantai yang tinggi dengan cepat. Suara turbo lift yang halus terdengar menjadi penambah atmosfir yang mencekam didalam lift tersebut. Pemuda itu belum mengetahui hal apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pintu lift terbuka. Mereka mengikuti kemana arah Anton berjalan. Gedung yang belum lama selesai dibangun ini, memang belum sepenuhnya rampung. Khususnya pada lantai 40 yang akan menjadi penthouse milik Anton, belum selesai pembangunan interior nya. Si pemuda terlihat cemas karena melihat pemandangan dimatanya yang tidak sesuai dengan perkiraannya. Dia mengira akan mendatangi sebuah kantor yang sudah jadi dan mendatangi ruangan kerja Anton. Mereka terus berjalan menuju ke sebuah pintu darurat yang terbuat dari besi tebal.
“Kita mau kemana pak?” Tanya pemuda itu cemas.
“Saya tadi udah bilang kan mau mengambil pena.” Jawaban Anton penuh dengan teka-teki.
Dibukanya pintu besi darurat, dan dilanjutkan dengan menaiki tangga darurat. Pemuda itu semakin cemas. Dia mencium sesuatu yang mencurigakan.
Anak-anak tangga mengantarkan mereka ke lantai selanjutnya dengan sebuah pintu besi darurat lagi yang menghalangi. Dibukanya pintu besi sekali lagi, dan terlihat langit malam sebagai pemandangan dan cat-cat beberapa warna dilantai dasarnya yang mengindikasikan sebuah tempat helipad.
Ini puncak gedung dan tempat helipad. Bukan ruangan kerja! Teriak pemuda itu dalam hati.
“Apa yang kita lakukan disini pak? Ini bukan ruangan kerja!”
“Memang. Dan pena saya sudah ada didalam jas ini dari tadi.” Raut muka Anton sekarang menjadi serius.
“Apa maksud bapak membawa saya keatas sini?” Suara pemuda itu meninggi.
“Anda kira saya bodoh? Saya sudah memperkirakan seseorang seperti anda akan muncul, tapi saya tidak mengira akan ada yang datang secepat ini.” Anton geram.
“Apa maksudnya?” Pemuda itu akhirnya sadar bahwa dia sedang dijebak.
“Asal anda tahu, saya sudah berbisnis lebih dari 30 tahun. Orang-orang seperti anda selalu datang dan mempersulit bisnis saya.”
“Saya tidak ingin mempersulit bisnis bapak. Saya hanya datang untuk meminta keadilan yang lebih layak untuk saya dan masyarakat di desa saya.” Suara pemuda itu bergetar.
“Omong kosong! Saya sudah memberi uang kompensasi sewa yang cukup untuk anda dan kalian semua. Kalian semua serakah. Anda semua hanya bisa menjadi benalu bagi bisnis saya.” Amarah Anton sudah meledak.
“Bapak sepertinya salah paham. Saya—“
“Saya sangat paham dengan situasi seperti ini,” Anton memotong penjelasan pemuda yang sedang ketakutan itu. “Saya tidak suka dipersulit dengan orang macam anda yang suka memanfaatkan pengusaha seperti saya untuk bersedia memberi semua yang diinginkan kalian.” Kemarahan Anton memuncak.
“Kami tidak ingin memanfaatkan. Menurut saya penawaran kami ini sangat adil untuk semua pihak.” Pemuda yang sudah takut ini masih bisa membalas pernyataan Anton.
“Adil? Kamu kira dunia ini adil? Puluhan tahun saya berbisnis tidak ada yang namanya adil. Keadilan itu hanya ada didalam buku. Yang ada itu menguasai atau dikuasai.”
Anton memberi sinyal anggukan kepada bodyguard nya untuk memojokkan pemuda itu ke pinggiran. Pemuda itu bergerak mundur perlahan-lahan untuk memberi jarak.
“Saya mohon pak Anton untuk tidak bertindak gegabah.” Muka pemuda itu seketika pucat.
“Sejak kaki anda masuk kedalam gedung saya, anda sudah bertindak gegabah. Jangan anda kira saya tidak berani bertindak gegabah. Orang-orang seperti anda selalu berakhir buruk ketika berhadapan saya.”
Pemuda itu semakin terpojok. Dia sekarang berada diujung atap gedung pencakar langit. Dibelakang punggungnya kebetulan tidak ada pagar besi pembatas karena beberapa pagar belum terpasang. Beberapa langkah lagi pemuda itu bisa terjatuh dari gedung berlantai 40.
Pemuda itu menengok sekilas kebawah dan melihat Jalan Sudirman yang terlihat kecil dimatanya. “Apa yang akan bapak lakukan? Kalau sampai saya jatuh dari gedung milik bapak, ini menjadi kasus kriminal.” Pemuda itu mencoba menakuti Anton.
Pemuda itu tidak bisa lagi melangkah mundur. Satu langkah lagi dia akan terjatuh.
Anton mendekati pemuda yang ketakutan itu dengan cepat, dan mencengkram kemeja pemuda itu dengan tangan kanannya. “Anda masih berani mengancam saya!? Saya berkuasa di negeri ini. Tidak akan ada yang percaya kalau anda jatuh dan mati didepan gedung saya. Begundal kecil seperti anda tidak akan digubris.”
Cengkraman kuat Anton membuat badan pemuda itu mencondong kebelakang. Muka pemuda itu sudah terlihat sangat ketakutan.
“Kalau saya lepaskan cengkraman tangan saya ini, kamu jatuh dan hancur lebur. Saya tidak pernah main-main.”
“Tolong pak, jangan jatuhkan saya.”
“Baru sekarang anda meminta tolong kepada saya? Ancaman-ancaman yang tadi mengotori telinga saya kemana? Sudah hilang?”
“Ampun pak. Saya tidak ingin mati. Saya masih punya anak dan istri di Bali.”
“Anda pikir saya peduli? Berarti istri anda bodoh memilih suami pengecut seperti kamu ini.” Cengkraman Anton semakin kencang terasa dipangkal leher pemuda itu.
“Iya pak. Memang saya pengecut. Tolong jangan bunuh saya pak.” Keringat pemuda itu mulai mengucur deras.
“Saya tidak akan membunuh anda kali ini, karena anda harus beritahu penduduk di desa agar jangan sekali lagi mempermainkan saya. Nikmati semua uang yang sudah saya berikan dan jangan harap bisa mendapatkan sesuatu dari saya lagi. Termasuk tanah anda semua.” Anton menarik cengkramannya dengan kuat dan melemparkan badan pemuda itu ke lantai.
Dengan posisi terjatuh dan kedua tangannya dilantai yang seperti membentuk posisi bersujud, “Ampun pak. Terima kasih pak. Saya akan beritahu penduduk di desa.” Suara pemuda itu sudah tidak beraturan karena ketakutan.
“Cepat pergi dari sini! Dan jangan pernah memperlihatkan batang hidungmu lagi jika masih sayang dengan nyawamu.” Ujar Anton mengancam keras.
Pemuda itu tidak menjawab. Dia lari dengan kencang menuju pintu darurat dan menghilang.
Ristoranti Italiani.
Sebuah papan nama restoran bergaya Italia di salah satu pojok lantai dasar gedung. Jam 7 malam merupakan jam teramai restoran kelas atas ini. Tamu-tamu yang memenuhi restoran ini umumnya kebanyakan dari kalangan ekspat yang rindu dengan makanan khas negeri Menara Pisa. Mulai dari aneka Pasta, Pizza, hingga makanan penutup terkenalnya seperti Panna Cota dan Tiramisu menjadi menu andalan dari restoran mewah ini. Executive chef dan interior designer nya didatangkan langsung dari negerinya, menjadikan restoran ini kental dengan suasana khas Italia dan hidangan yang sesuai dengan lidah asli negeri Eropa Selatan. Beberapa tamu lokal yang makan disini biasanya sudah pernah merasakan indahnya Italia dan makanan asli negara tersebut.
Disudut pojok restoran, ada sebuah meja khusus yang tidak boleh digunakan oleh tamu biasa. Sebuah meja untuk pengunjung istimewa—pemilik dari restoran dan gedung ini. Hari ini adalah jadwal dia untuk mengunjungi restorannya dan executive chef sudah menyiapkan menu spesial untuknya, Sisilia Spaghetti dan Bruschetta Bread. Kegemerannya dengan budaya Italia bermula dari sebuah film bernama The Godfather, dan pada akhirnya menjadi sebuah obsesi untuk bergaya hidup mafia dan juga budaya kental Italia nya. Disebelahnya berdiri seorang asisten kepercayaannya yang setia mendampingi bos besarnya dan juga seorang bodyguard berfisik kekar dan bermuka dingin, berbalut jas hitam pekat.
Seseorang baru saja masuk kedalam restoran. Dengan memakai baju batik khas Bali, dia bertanya kepada salah satu pelayan dimana pengusaha itu sedang makan. Sang pelayan dengan ramah menunjuk ke sebuah pojokan. Pemuda dengan baju batik itu mendekati meja spesial dengan membawa amplop cokelat ditangannya. Langkahnya dihentikan oleh bodyguard yang bertanya tujuan kedatangannya.
“Saya dari Bali, ingin bertemu Pak Anton.” Logat Bali nya yang kental semakin menunjukkan dimana dia berasal.
“Sebentar.” Bodyguard berbalik arah dan membisikkan ke telinga Anton.
Anton yang sedang menyantap makanannya mempersilahkan pemuda Bali itu untuk duduk, “Silahkan duduk. Mau makan apa? Pesan saja.”
Pemuda itu duduk, “Terima kasih Pak Anton. Saya kebetulan sudah makan sebelum kesini.”
“Minum? Saya panggilkan waiter.”
“Saya tidak kesini untuk makan atau minum. Saya tidak lama disini karena harus kembali ke Bali malam ini.” Suara pemuda itu terkesan tegas dan tidak ingin berbasa-basi.
“Ada keperluan apa anda datang ke Jakarta?” Anton sudah bisa mencium arah pembicaraan ini.
Dia langsung menyudahi makan malam nya.
“Saya datang ke Jakarta untuk mewakili suara para penduduk dari desa untuk menanyakan status dari tanah-tanah kami yang disewakan kepada Pak Anton untuk proyek milik bapak. Saya bawa surat ini untuk diberikan kepada bapak secara langsung.”
Pemuda tersebut menaruh amplop cokelat di meja.
Anton membuka isi amplop tersebut dan membacanya sekilas. “Saya tidak mengerti dengan anda dan juga para penduduk di desa anda. Kita sudah memberi uang yang cukup kepada para pemilik tanah untuk menyewa tanah-tanah tersebut untuk masa 30 tahun lamanya. Lantas anda mau apa sekarang?” Anton membalas dengan tidak berbasa-basi juga.
“Memang kami sudah setuju dengan kontrak sewa bapak untuk 30 tahun. Tapi, setelah kami melihat secara langsung perkembangan proyek ini, kami bisa lihat proyek bapak tidak sesuai dengan uang sewa yang dibayarkan kepada kami. Terlalu murah. Proyek milik bapak tidak seperti properti hotel pada umumnya di Bali.” Pemuda itu membalas pertanyaan Anton dengan tegas.
“Saya bisa perkirakan anda sudah bertanya-tanya kepada salah satu pekerja kontraktor tentang proyek hotel saya ini?” Pertanyaan Anton menusuk tajam.
“Betul sekali pak. Oleh karena itu, pada lembar selanjutnya dari surat ini, kami ingin merubah status sewa dan menjual seluruh tanah yang sebelumnya disewa bapak. Semuanya jelas ada disitu, jumlah tanah beserta harga jual per meter nya.”
Anton membuka surat pada lembar selanjutnya dan membaca dengan seksama. Dia mengangguk setelah membaca beberapa detil di surat penawaran tersebut. Anggukan tersebut bukan mengindikasikan sebuah persetujuan, melainkan dia bisa membaca niatan tersembunyi yang sudah ditawarkan kepadanya.
“Baik. Saya akan tandatangani surat ini. Pena saya ada diruangan kerja. Sebaiknya kita keatas.” Anton berdiri dan menuju pintu keluar restoran.
Asisten, bodyguard, dan pemuda Bali mengikuti dari belakang. Tidak jauh dari restoran itu, terdapat lobi gedung dan beberapa lift yang siap mengantarkan mereka ke lantai atas.
“Selamat malam Pak Anton. Mau ke lantai berapa?” Seorang lift boy menyapa.
“Lantai 40.”
Asisten dan bodyguard saling berpandangan heran.
Pintu lift terbuka, “Silakan Pak Anton.”
Gedung pencakar langit ini memiliki 40 lantai yang berisikan puluhan tenant dari mulai perusahaan lokal dan juga internasional. Beberapa lantai digedung ini dihuni oleh perusahaan-perusahaan milik Anton dengan berbagai macam bidang yang berbeda.
Suasana tegang terasa didalam lift yang berisikan 4 orang ini. Mereka saling diam membisu. Karena tingginya gedung ini, lift ini dirancang dengan menggunakan tenaga turbo untuk mempercepat jalannya ke lantai yang tinggi dengan cepat. Suara turbo lift yang halus terdengar menjadi penambah atmosfir yang mencekam didalam lift tersebut. Pemuda itu belum mengetahui hal apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pintu lift terbuka. Mereka mengikuti kemana arah Anton berjalan. Gedung yang belum lama selesai dibangun ini, memang belum sepenuhnya rampung. Khususnya pada lantai 40 yang akan menjadi penthouse milik Anton, belum selesai pembangunan interior nya. Si pemuda terlihat cemas karena melihat pemandangan dimatanya yang tidak sesuai dengan perkiraannya. Dia mengira akan mendatangi sebuah kantor yang sudah jadi dan mendatangi ruangan kerja Anton. Mereka terus berjalan menuju ke sebuah pintu darurat yang terbuat dari besi tebal.
“Kita mau kemana pak?” Tanya pemuda itu cemas.
“Saya tadi udah bilang kan mau mengambil pena.” Jawaban Anton penuh dengan teka-teki.
Dibukanya pintu besi darurat, dan dilanjutkan dengan menaiki tangga darurat. Pemuda itu semakin cemas. Dia mencium sesuatu yang mencurigakan.
Anak-anak tangga mengantarkan mereka ke lantai selanjutnya dengan sebuah pintu besi darurat lagi yang menghalangi. Dibukanya pintu besi sekali lagi, dan terlihat langit malam sebagai pemandangan dan cat-cat beberapa warna dilantai dasarnya yang mengindikasikan sebuah tempat helipad.
Ini puncak gedung dan tempat helipad. Bukan ruangan kerja! Teriak pemuda itu dalam hati.
“Apa yang kita lakukan disini pak? Ini bukan ruangan kerja!”
“Memang. Dan pena saya sudah ada didalam jas ini dari tadi.” Raut muka Anton sekarang menjadi serius.
“Apa maksud bapak membawa saya keatas sini?” Suara pemuda itu meninggi.
“Anda kira saya bodoh? Saya sudah memperkirakan seseorang seperti anda akan muncul, tapi saya tidak mengira akan ada yang datang secepat ini.” Anton geram.
“Apa maksudnya?” Pemuda itu akhirnya sadar bahwa dia sedang dijebak.
“Asal anda tahu, saya sudah berbisnis lebih dari 30 tahun. Orang-orang seperti anda selalu datang dan mempersulit bisnis saya.”
“Saya tidak ingin mempersulit bisnis bapak. Saya hanya datang untuk meminta keadilan yang lebih layak untuk saya dan masyarakat di desa saya.” Suara pemuda itu bergetar.
“Omong kosong! Saya sudah memberi uang kompensasi sewa yang cukup untuk anda dan kalian semua. Kalian semua serakah. Anda semua hanya bisa menjadi benalu bagi bisnis saya.” Amarah Anton sudah meledak.
“Bapak sepertinya salah paham. Saya—“
“Saya sangat paham dengan situasi seperti ini,” Anton memotong penjelasan pemuda yang sedang ketakutan itu. “Saya tidak suka dipersulit dengan orang macam anda yang suka memanfaatkan pengusaha seperti saya untuk bersedia memberi semua yang diinginkan kalian.” Kemarahan Anton memuncak.
“Kami tidak ingin memanfaatkan. Menurut saya penawaran kami ini sangat adil untuk semua pihak.” Pemuda yang sudah takut ini masih bisa membalas pernyataan Anton.
“Adil? Kamu kira dunia ini adil? Puluhan tahun saya berbisnis tidak ada yang namanya adil. Keadilan itu hanya ada didalam buku. Yang ada itu menguasai atau dikuasai.”
Anton memberi sinyal anggukan kepada bodyguard nya untuk memojokkan pemuda itu ke pinggiran. Pemuda itu bergerak mundur perlahan-lahan untuk memberi jarak.
“Saya mohon pak Anton untuk tidak bertindak gegabah.” Muka pemuda itu seketika pucat.
“Sejak kaki anda masuk kedalam gedung saya, anda sudah bertindak gegabah. Jangan anda kira saya tidak berani bertindak gegabah. Orang-orang seperti anda selalu berakhir buruk ketika berhadapan saya.”
Pemuda itu semakin terpojok. Dia sekarang berada diujung atap gedung pencakar langit. Dibelakang punggungnya kebetulan tidak ada pagar besi pembatas karena beberapa pagar belum terpasang. Beberapa langkah lagi pemuda itu bisa terjatuh dari gedung berlantai 40.
Pemuda itu menengok sekilas kebawah dan melihat Jalan Sudirman yang terlihat kecil dimatanya. “Apa yang akan bapak lakukan? Kalau sampai saya jatuh dari gedung milik bapak, ini menjadi kasus kriminal.” Pemuda itu mencoba menakuti Anton.
Pemuda itu tidak bisa lagi melangkah mundur. Satu langkah lagi dia akan terjatuh.
Anton mendekati pemuda yang ketakutan itu dengan cepat, dan mencengkram kemeja pemuda itu dengan tangan kanannya. “Anda masih berani mengancam saya!? Saya berkuasa di negeri ini. Tidak akan ada yang percaya kalau anda jatuh dan mati didepan gedung saya. Begundal kecil seperti anda tidak akan digubris.”
Cengkraman kuat Anton membuat badan pemuda itu mencondong kebelakang. Muka pemuda itu sudah terlihat sangat ketakutan.
“Kalau saya lepaskan cengkraman tangan saya ini, kamu jatuh dan hancur lebur. Saya tidak pernah main-main.”
“Tolong pak, jangan jatuhkan saya.”
“Baru sekarang anda meminta tolong kepada saya? Ancaman-ancaman yang tadi mengotori telinga saya kemana? Sudah hilang?”
“Ampun pak. Saya tidak ingin mati. Saya masih punya anak dan istri di Bali.”
“Anda pikir saya peduli? Berarti istri anda bodoh memilih suami pengecut seperti kamu ini.” Cengkraman Anton semakin kencang terasa dipangkal leher pemuda itu.
“Iya pak. Memang saya pengecut. Tolong jangan bunuh saya pak.” Keringat pemuda itu mulai mengucur deras.
“Saya tidak akan membunuh anda kali ini, karena anda harus beritahu penduduk di desa agar jangan sekali lagi mempermainkan saya. Nikmati semua uang yang sudah saya berikan dan jangan harap bisa mendapatkan sesuatu dari saya lagi. Termasuk tanah anda semua.” Anton menarik cengkramannya dengan kuat dan melemparkan badan pemuda itu ke lantai.
Dengan posisi terjatuh dan kedua tangannya dilantai yang seperti membentuk posisi bersujud, “Ampun pak. Terima kasih pak. Saya akan beritahu penduduk di desa.” Suara pemuda itu sudah tidak beraturan karena ketakutan.
“Cepat pergi dari sini! Dan jangan pernah memperlihatkan batang hidungmu lagi jika masih sayang dengan nyawamu.” Ujar Anton mengancam keras.
Pemuda itu tidak menjawab. Dia lari dengan kencang menuju pintu darurat dan menghilang.
Quote:
Diubah oleh redrum03 29-05-2016 14:44
anasabila memberi reputasi
1
4.6K
Kutip
52
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.8KAnggota
Urutkan
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru