agus.supriyatnaAvatar border
TS
agus.supriyatna
Ah, Mas Dhani

Calon perseorangan merusak demokrasi? Benarkah? Katanya begitu, menurut Mas Ahmad Dhani, tukang nyanyi itu. Tapi benarkah calon perseorangan merusak demokrasi?

Partai politik, ya adalah salah satu pilar demokrasi. Karena partai punya fungsi sebagai lembaga yang mengagregasi aspirasi, kepentingan, dan suara rakyat. Fungsi itulah yang membuat partai, posisinya sangat penting dalam demokrasi. Tapi, esensi demokrasi itu adalah suara rakyat. Maka kemudian muncul istilah demokrasi itu, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Jadi, gerak partai pun dalam demokrasi, harus bertumpu pada spirit itu. Partai tumbuh dan besar, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena itu, partisipasi atau pelibatan publik, selalu di dengung-dengungkan setiap tibanya pesta demokrasi, yang akan jadi arena pembuktian partai-partai, apakah dia dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif atau pun pemilihan presiden, adalah ajang partai memperebutkan suara rakyat. Ini arena partai untuk mendapat pengakuan rakyat. Sederhana lewat kontestasi itu, partai berlomba mendapatkan legitimasi publik. Jika menang, partai itulah yang bisa disebut telah dapat kepercayaan rakyat.

Bagaimana jika rakyat mulai tak percaya? Siapa yang patut disalahkan? Pasti, yang salah adalah partai. Dalam demokrasi, rakyat yang jadi juri. Jika tak suka, juri bisa mengabaikan kontestan. Atau bahkan tak memilihnya. Siapa yang sedikit mendapat simpati ‘juri’, dia bisa dikatakan kurang mendapat legitimasi. Bagi, yang paling banyak di pilih juri, maka dialah yang pantas disebut pemilik legitimasi.

Mas Dhani, kan sering jadi ‘juri’ kontes-kontes nyanyi. Ya polanya mirip seperti itu mas. Juri punya hak, diberikan kewenangan mengamati, menilai, lalu memilih. Siapa yang dianggap pantas, layak atau kompeten, juri yang menentukan. Ukurannya, dalam kontes nyanyi, yang paling utama, tentu suaranya. Cara nyanyi. Gaya serta penampilan.

Bila bagus, juri akan memberikan jempolnya ke atas. Bila buruk, jempol juri menukik ke bawah. Maka, tugas kontestan untuk tampil sebaik mungkin. Vokalnya bagaimana? Pemahaman terhadap lagu seperti apa? Improvisasinya mengesankan atau tidak? Ya, seperti itulah tugas kontestan.

Jadi, sama saja dalam kontes politik. Partai adalah kontestannya. Tugas partai, ya harus bisa menawarkan penampilan ciamik kepada publik. Lewat apa? Dalam pemilihan kepala daerah, yang pertama dan utama, siapa calon yang disorongnya untuk dinilai, dan dipilih ‘juri’. Menarikkah calon tersebut? Menyakinkankah kandidat itu? Itu tugas partai. Calon yang disorong, menentukan citra partai itu sendiri di mata khalayak.

Dan, publik punya nalar sendiri untuk menentukan kandidat yang jadi kontestan. Pemilih, punya perangkat sendiri untuk menilai. Dasarnya, salah satunya bisa lewat informasi media.

Kemudian, jika calon partai yang dijual tak laku? Harusnya partai bertanya kepada dirinya sendiri, kenapa bisa begitu? Kalau kandidat yang digadang, jeblok tak disukai pemilih, partai pula yang harus intropeksi, mengapa seperti itu? Bukan kemudian, menyalahkan ‘juri’. Bukan menyalahkan pihak di luar dirinya.

Bagi saya, ketika khalayak kemudian kurang percaya partai, bukan publik yang melakukan deparpolisasi. Tapi, partai itu sendiri yang melakukan deparpolisasi. Partai harusnya sadar, kenapa pemilih kian tak percaya. Sudahkah partai menjadi pilar demokrasi yang bisa menyenangkan rakyat? Itu yang mestinya di jawab partai.

Korupsi merajalela. Aktornya pun harus diakui, banyak berasal dari partai. Mengenai calon perseorangan, saya kira pemahaman mas Dhani tentang itu masih belum sempurna. Di Amerika, yang sering disebut kampiunnya demokrasi, calon perseorangan di beri tempat. Al Gore, adalah contoh, bagaimana negeri Paman Sam itu mengakui calon perseorangan sebagai bagian dari demokrasi.

Jadi, apanya yang merusak? Saya pikir, jalur perseorangan, adalah jalur yang disediakan untuk menjawab kesumpekan demokrasi. Seperti orang yang mau mudik lebaran ke kampung halaman. Mereka para pemudik, tentu akan mencari jalan yang dianggapnya bisa mempercepat sampai ke tempat tujuan. Jika jalan utama macet, maka jalur alternatif yang dipilih. Hukum mudik, seperti itu. Dan, saya kira, hukum politik pun tak jauh beda. Saat, jalur utama tak lagi dipercaya, maka jalur alternatif jadi pilihan. Dua jalur itu sah.

Sumber :
https://deparagraf.wordpress.com/2016/05/03/ah-mas-dhani/
0
1.6K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.