transferleakAvatar border
TS
transferleak
Soeharto: Saya Berusaha Menyelamatkan "Prestige" Presiden Soekarno


KOMPAS.com - Presiden kedua RI, Soeharto, membantah bahwa tindakan yang dilakukannya terkait pengendalian situasi tahun 1966 di luar perintah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang dikeluarkan Presiden Soekarno. 

Soeharto mengatakan, ada dua tindakan penting yang diamanatkan Supersemar.

Pertama, pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kedua, mengamankan sejumlah menteri yang menurut penilaian rakyat terlibat dalam pemberontakan G 30 S/PKI atau setidak-tidaknya dianggap menghalang-halangi pembubaran PKI.

Bagi Soeharto, apa yang dilakukannya adalah untuk mengatasi situasi konflik saat itu, menyelamatkan wibawa lembaga kepresidenan dan "prestige" Presiden Soekarno. (Baca: Mantan Ajudan Soekarno: Bung Karno Dikibuli Soeharto)

"Dengan langkah pembubaran PKI itu, saya berusaha menyelamatkan lembaga kepresidenan; menyelamatkan prestigePresiden Soekarno, yang mungkin tidak sanggup melaksanakan tuntutan rakyat, karena keyakinan dan tindakan-tindakan yang telah diambilnya," kata Soeharto, dalam pernyataan 5 tahun lahirnya Supersemar, seperti dimuat dalam Harian Kompas, 11 Maret 1971. 

Bahkan, pada salah satu bagian pernyataannya, Soeharto mengatakan, tindakan cepat harus diambil mengingat saat itu rakyat menghendaki pembubaran PKI.

Akan tetapi, menurut dia, tindakan yang dilakukan Soekarno berkebalikan. 

"Rakyat di mana-mana segera menuntut dibubarkannya PKI dan dijatuhkan hukuman yang setimpal kepada dalang-dalang pemberontakan ini. Tetapi, perkembangan menunjukkan kenyataan yang sebaliknya: ucapan-ucapan dan tindakan Presiden Soekarno malahanmembela PKI," kata Soeharto. 

Versi Soeharto, situasi saat itu terjadi konflik tajam antara pimpinan nasional dan rakyat sehingga menyebabkan keadaan menjadi tak menentu. (Baca: Supersemar Versi Soeharto)

"Ribuan korban jatuh di daerah-daerah karena rakyat bertindak sendiri-sendiri, juga karena prasangka-prasangka buruk antargolongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktik-praktik politik yang sangat sempit," kata dia.

"Pertentangan pendapat yang makin tajam antara Presiden Soekarno dengan rakyat telah memerosotkan kewibawaan pimpinan tertinggi pemerintahan negara dan menurunkan martabat lembaga kepresidenan, yang seharusnya dihormati karena kewibawaannya tanpa melihat siapa yang menduduki jabatan presiden itu," lanjut Soeharto. 

Soeharto menilai, terjadi kekosongan kepemimpinan. Kondisi ini memuncak pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Presiden Soekarno secara mendadak meninggalkan Sidang Kabinet yang dipimpinnya.

Menurut Soeharto, tindakan Soekarno menunjukkan kepanikan seorang pemimpin. 

"Keadaan demikian tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan merobek-robek tubuh bangsa kita sendiri, lebih memburukkan keadaaan ekonomi yang memang telah parah, makin membenamkan rakyat ke dalam kesengsaraan," ujar dia. 

Sebagai Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ia merasa perlu segera mengambil keputusan yang harus dapat dipertanggungjawabkan. (Baca:Jelang Lahirnya Supersemar, Soekarno Ketakutan Istana Dikepung Pasukan Liar)

"Sebagai seorang pejuang, saya harus berani mengambil risiko, betapapun besar risiko itu bagi diri pribadi saya. Putusan yang harus saya ambil adalah menyelamatkan bangsa dan negara, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang," kata Soeharto.

Pada 11 Maret 1966, ia mengutus tiga jenderal Angkatan Darat, yaitu Mayor Jenderal TNI Basoeki Rachmat, Mayor Jenderal TNI M Jusuf, dan Mayor Jenderal TNI Amirmachmud, menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor. 

Melalui ketiga jenderal itu, Soeharto menyatakan kesiapannya untuk mengatasi keadaan jika Presiden Soekarno memberikan tugas dan kepercayaan penuh kepadanya.

"Atas kesanggupan saya itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret," ujar Soeharto.

Kisah di balik keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 ada berbagai versi. Di luar versi Soeharto, Presiden Soekarno, pada pidatonya tanggal 17 Agustus 1966 menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Soeharto di luar yang diperintahkannya melalui Supersemar. 

Soekarno menegaskan, Supersemar bukan “transfer of sovereignity” dan bukan pula “transfer of authority”.

"Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu suatu transfer of soverignty. transfer of authority. Padahal tidak! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengaman ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal!” kata Soekarno, dalam pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah).

http://nasional.kompas.com/read/2016...paign=related&
0
15.4K
161
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.6KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.