aditz92Avatar border
TS
aditz92
Kebiasaan Media di Indonesia: Berita Palsu!
Quote:


Quote:


Begini tulisan aslinya:
Spoiler for Buka:


Tulisan tersebut diposting di akun Facebook Sinta Daniawati dan turut dishare di Line oleh rekan saya, Gita, tersebut. Lalu, seseorang bernama Erwin Dinatha menulis ulang tulisan tersebut. Saking “kreatif”-nya, Erwin mengaku kalau dia-lah yang menulis, seolah-olah dialah yang ada di dalam tulisan tersebut. Padahal, Sinta menulisnya dengan embel-embel “bidan”. Lah, “bidan” kok laki-laki?

Dengan kemajuan teknologi yang semakin hebat, arus informasi pun hadir dengan teramat cepat. Hal ini dimanfaatkan Tribun Jambi, Metro Jambi, dan (entahlah) ... Jambi, memuat postingan Erwin tersebut. Tribun Jambi bahkan memuatnya di halaman depan, lengkap dengan foto yang sebenarnya merupakan potongan video yang diambil oleh rekan saya, Gita.

Spoiler for :


Saya pun menyarankan kepada Gita untuk menghubungi media bersangkutan dan meminta mereka minta maaf. Pasalnya, apa yang mereka lakukan tidak main-main: berita palsu!

Sore harinya, Gita kembali mengontak saya dan mengabarkan kalau Pos Kupang yang jaraknya ribuan kilometer dari Jambi, ikut-ikutan memberitakan! Gila!

Spoiler for :


Gita lalu mengeluh kalau Metro Jambi, sama sekali tidak memberikan permintaan maaf. Mereka malah terkesan menyalahkan akun Erwin Dinata tersebut karena membuat postingan yang tidak benar.



Linknya di sini

Di berita tersebut, bahkan tidak ada konfirmasi kepada akun Erwin Dinata. Mereka memuatnya mentah-mentah, dan menjadikannya tajuk utama di halaman pertama!

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, menuliskan sembilan (sepuluh) elemen jurnalisme. Poin pertama yang Kovach dan Rosenstiel tulis adalah “Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran”. Saat sebuah media menuliskan sebuah kebohongan, apakah masih layak kalau kegiatan yang mereka lakukan adalah kegiatan jurnalistik?

Dalam ruang kuliah, seringkali terdengar diskusi soal perlu tidaknya kehadiran “Jurusan Jurnalistik”. Pasalnya, media masa kini jarang yang men-syarat-kan karyawan barunya memiliki latar belakang jurnalistik. Anda tak perlu menjadi mahasiswa jurnalistik untuk bisa bekerja di koran ekonomi, karena mereka justru mensyaratkan lulusan fakultas ekonomi. Lagipula, mempelajari jurnalistik pun bisa dipelajari hanya dalam waktu enam bulan.

Pernyataan tersebut memang hampir tepat, tapi tidak selamanya. Di Jurusan Jurnalistik, hampir setiap hari dijejali kajian jurnalistik masa kini dan bagaimana seorang jurnalis semestinya berperilaku. Bisa Anda bayangkan, dalam proses yang begitu masif selama tiga setengah tahun, tentu akan terlihat perbedaan mana jurnalis yang keluaran jurnalistik dengan jurnalis dari jurusan lain. Di jurusan lain, Anda tidak akan menemukan mata kuliah Etika Jurnalistik, Bahasa Jurnalistik, Penulisan Berita, Ekonomi Politik Media, dan sebagainya. Padahal ini amat penting bagi seorang calon jurnalis untuk mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan.


Memuat postingan dari Facebook tentu tidak salah. Hal ini lagi pula sudah diketahui oleh para pejabat, termasuk Walikota Bandung, M. Ridwan Kamil, yang sadar kalau segala hal yang diucapkan pejabat di media sosial itu kutip-able. Ini pula yang membuatnya menuliskan (terlepas ia yang menulis atau bukan) alasan lewat sebuah esai yang panjang tentang mengapa ia tak mencalonkan diri menjadi gubernur DKI Jakarta.

Namun, kalau Anda memuat postingan Facebook dari seseorang yang “tidak tahu siapa”, Anda mungkin mesti mengulang mata kuliah Bang Sahala tahun depan. (Maksudnya, Anda tidak tahu dia siapa karena tidak pernah berinteraksi sama sekali).

Anda tak perlu menjadi mahasiswa jurnalistik untuk membaca diktat “Wawancara” tulisan Sahala Tua Saragih, dosen Jurnalistik Fikom Unpad. Diktat tersebut sudah tersebar di internet. Kalau punya uang lebih, buku-buku “pedoman” jurnalistik sudah bertebaran, dari mulai praktisi sampai akademisi.

Dalam kasus ini, hal yang paling disayangkan adalah (sejauh ini) tidak adanya introspeksi diri dari media-media tersebut. Mungkin saja Anda menganggap kalau hal ini tidak penting. Itu mungkin saja benar karena oplah media-media tersebut tidak begitu besar sehingga masyarakat yang tertipu daya tidak akan terlalu banyak.

Namun, ini lebih dari itu. Ini pula yang pada akhirnya mengusik Gita, yang pernah terlibat dalam pers mahasiswa di kampusnya, merasa kalau apa yang terjadi adalah sesuatu yang salah. Dia, dan rekannya, bisa saja diam. Tapi ini tidak benar. Bagaimana ceritanya media mengakuisisi sebuah cerita dan mengganti nama tempat sesuka mereka? Padahal, Gita dan rekannya, tentu ingin agar cerita yang ia bagikan sampai secara utuh, bukan dipotong-potong seperti itu. Bukankah itu fungsi media? Memberi informasi kepada khalayak?

Mungkin saja postingan Erwin tersebut benar adanya, kalau di tempatnya akses jalan begitu sulit dan bla, bla, bla. Namun, dengan menjiplak tulisan orang lain, siapa yang akan percaya? Terlebih foto yang digunakannya adalah foto di tempat lain, milik orang lain.

Semua orang pasti tak lepas dari kesalahan, tapi kalau dilakukan oleh empat media, apakah itu masih disebut kesalahan? Masih layakkah mereka disebut melakukan kegiatan jurnalisme? Sejauh enam tahun saya kuliah sih rasanya bukan.

Quote:


UPDATE!
Silakan nilai sendiri gan tanggapan dari media ini. Media ini meralat hanya karena keterangan foto yang salah emoticon-Wow

Spoiler for BUKA:
Diubah oleh aditz92 17-03-2016 19:12
0
102K
668
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.