Lelaki Shalih Belum Tentu Menjadi Suami Halih (Khusus Cewek)
TS
Limalas
Lelaki Shalih Belum Tentu Menjadi Suami Halih (Khusus Cewek)
Faris Khoirul Anam
Lelaki Shalih Belum Tentu Menjadi Suami Shalih
Di program acara Islam CornerRadio Madina FM – radio Masjid Agung Jami’ Malang, saya pernah mendapatkan pertanyaan sepertiini: “Mau tanya, bagaimana menentukan laki-laki yang bisa jadi kepala rumah tangga setelah menikah nanti? Terima kasih.”
Pertanyaan senada, meski agak berbeda, saya terima di ponsel. Bunyinya – setelah saya edit tulisan ala SMS yang banyak singkatannya,:
“Assalamu’alaikum. Kami mau tanya, sebenarnya aku sudah berkeluarga tapi aku suka atau kagum sama orang yang pintar mengaji, terimakasih.” Saya sudah kasih jawaban melalui SMS juga pada si penanya. Kurang lebih, “Kagumi ilmu, mengaji dan amaliahnya, untuk ditiru. Bukan kagum dalam hal lain untuk tujuan lain.”
Spoiler for 1:
Saudari penanya membalas, “Jujur pernah muncul di hati seandainya aku punya imam seperti itu, yang bisa mendidikku tentang ilmu agama yang lebih dalam. Betapa tenangnya hati ini.” Mendapatkan dua pertanyaan dari dua penanya yang berbeda itu, saya punya kesimpulan, seorang wanita pastinya mengharapkan seorang lelaki shalih untuk menjadi suaminya. Hal ini tentu baik. Namun, ketika dia sudah mendapatkan seorang suami, apakah masih pantas dia membayangkan lelaki lain untuk menjadi suaminya, meski dengan alasan lelaki lain itu – menurut
pandangan pribadinya – lebih baik dari suaminya? Kita khawatir perasaan seperti ini akan menjadikan seseorang tidak mengalah pada takdirnya, setelah sebelumnya dia sudah berikhtiar. Saya ingin menuliskan inti jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut di sini, untuk berbagi dengan yang lain. Semoga bermanfaat.\
Spoiler for 2:
Nabi Muhammad, dalam hidupnya, juga sering menjadi tukang jodoh. Banyak riwayat yang menjelaskan hal itu, misalnya kisah perjodohan Julaibib dan lainnya. Nah, setelah mengamati apa yang dilakukan Nabi, berikut keterangan-kete
rangan dalam agama, kita sampai pada satu kesimpulan, ternyata dalam penilaian Nabi, lelaki shalih itu belum tentu menjadi suami shalih. Dengan ujaran lain, tidak
semua lelaki baik, dapat menjadi suami yang baik! Suami shalih, maknanya lebih luas dari pada lelaki shalih. Lelaki shalih adalah orang yang selalu melaksanakan perintah Allah baik lahir maupun batin. Misalnya, ia selalu berjama’ah di masjid,
perilaku dan tutur katanya islami, meninggalkan hal-hal yang haram. Namun, dalam memberikan penilaian tentang siapa lelaki shalih itu, yang bisa kita lakukan
hanya dari sisi lahiriahnya. Secara lahiriah seseorang dapat dinilai sebagai orang beragama. Namun bisa saja dia ternyata tipe orang yang mudah marah, sering
menghina dan merendahkan orang, ucapannya pahit, dan sebagainya. Hal ini tentu dapat menganggu ketenangan dan kebahagiaan rumah tangga.
Spoiler for 3:
Saya tandaskan pada saudari penanya, seseorang kelihatannya beragama dan berakhlaq baik. Namun ia memiliki beberapa sifat yang tidak cocok bagi Anda. Sebaliknya, justru ia cocok untuk orang lain, bukan untuk Anda.
Misalnya, lelaki itu bawaannya serius, sangat pendiam, melankonis, sulit tertawa, memiliki pergaulan sosial terbatas. Sedang Anda memiliki karakter sebaliknya: seorang sosialita, aktifis muslimah yang senang bergaul dengan yang lain, suka humor, dan sebagainya. seorang tidak mengatakan sifat lelaki tersebut jelek. Namun sifat itu bagi Anda yang memiliki sifat yang saya contohkan tadi, bisa membuat Anda kurang nyaman dalam mengarungi rumah tangga. Karena itulah, Nabi mengatakan
(yang artinya): “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhaiagama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)
Spoiler for 4:
Perhatikan, Nabi tidak mengatakan “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik”. Namun Nabi mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan perangainya”.
Apa bedanya? Pernyataan pertama – dan itu tidak diucapkan Nabi – bermakna, orang tua harus menikahkan anaknya dengan lelaki shalih, dan bahwa lelaki shalih itu pasti akan menjadi suami shalih. Namun pernyataan kedua – yang diucapkan Nabi – memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan perangainya, karena memang tidak semua lelaki shalih, kau setujui cara beragama dan perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang tampak.
Spoiler for 5:
Kisah Fathimah binti Qays akan menjelaskan hal ini. Suatu saat, ia dilamar dua lelaki. Tak tanggung tanggung, yang melamar beliau adalah dua pembesar sahabat, yaitu Mu’awiyah dan Abu al-Jahm. Setelah dikonsultasikan kepada Rasulullah, apa yang terjadi? Nabi menjelaskan, baik Mu’awiyah maupun Abu al-Jahm, tidak cocok untuk menjadi suami Fathimah binti Qays. Apa yang kurang dari Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki shalih dan memiliki keyakinan agama yang baik. Namun Nabi tidak menjodohkan Fathimah dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi mengetahui karakter
Fathimah, juga karakter Mu’awiyah dan Abu al-Jahm.
Spoiler for 6:
Lebih lanjut, Nabi menawarkan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya tidak masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi itu, apa yang dikatakannya itu? Fathimah mengatakan, “Allah melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik darinya.”
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi Anda dan seluruh wanita
muslimah adalah: Pertama, lelaki shalih. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri. Keshalihan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian
munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian
tabiat dan kebiasaan). Sekali lagi, aspek kedua ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu, kalau ada yang datang melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya pada orang-orang yang mengetahuinya, baik dari kalangan keluarga atau teman-
temannya. Terakhir, bagi yang belum menikah dan sedang “mencari jodoh”,
Spoiler for 7:
agama mensyari’atkan adanya musyawarah dan istikharah. Lakukanlah keduanya! Sementara bagi yang sudah menikah, terimalah keberadaan suami Anda apa adanya, karena menikah itu “satu paket”: paket kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal bagaimana Anda menyikapikelebihan dan kekurangan itu.
Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapikekurangan dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat
menjadi pupuk yang bermanfaat”. Sesuatu yang baik dari suami, ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya, bersama Anda,
hilangkan dari lembar kehidupannya. Janganlahmemikirkan lelaki lain. Karena
boleh jadi lelaki lain itu dalam pandangan Anda baik, namun ternyata ia tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami Anda.
Boleh jadi Anda melihat sepasang suami istri yang hidupnya bahagia. Lalu, Anda berkhayal seandainya lelaki itu yang menjadi suami Anda, pasti hidup Anda akan
bahagia. Wah, itu belum tentu. Karena ternyata, bisa jadi lelaki itu memang cocok untuk perempuan yang sekarang menjadi istrinya, namun tidak sesuai bila menjadi
suami Anda.
'Satu yang pasti, percayalah bahwa
pasangan hidup Anda adalah
manusia terbaik yang diberikan
Allah untuk Anda!
Diubah oleh Limalas 30-04-2014 00:15
tien212700 memberi reputasi
1
52.2K
Kutip
485
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!