maspiyuAvatar border
TS
maspiyu
Dikangkangi Kemewahan Jakarta Tidak Hujan Tetap Banjir, Rusaknya Ekologi





Prediksi scientific mengenai masa depan Jakarta yang akan tenggelam. Melalui peristiwa genangan menjadi banjir yang menggelegak setiap masa hujan, tentu merupakan tragedi ekologi yang mendukacitakan.

Berhektar-hektar wilayah Jakarta pernah tenggelam berubah seperti lautan dengan kerugian miliaran bahkan triliunan rupiah. Warga hanya bisa mengerang tentang Banjir yang melanda Jakarta telah menelan korban jiwa raga yang sulit untuk dihitung dalam kalkulasi rupiahnya. Kita semua sangat merasa prihatin dan sedih yang sesedih-sedihnya atas prahara banjir dan terus tergenangnya tanah Jakarta.

Kita semua telah menyaksikan dan dapat merasakan betapa dahsyatnya banjir di Jakarta sejak tahun 2001 maupun 2002. 70% wilayah Ibukota tenggelam dalam kisaran yang sangat mendukacitakan. Korban bergelimpangan dan kerugian material mencapai trilyunan rupiah.

Sungguh ini adalah mimpi buruk Jakarta yang diberitakan sebagai hasil siklus lima tahunan. Sebuah logika yang naif untuk memutar wewenang agar otoritas publik Jakarta terbebas dari tanggung jawab hukum.

Alam dianggap telah bersalah. Bukankah negara sudah berusia di atas 65 tahun dan berarti sangat paham dengan siklus cuaca. Kota Jakarta memang sedang mengalami kecelakaan perkotaan yang serius dengan banjir sebagai bentuk nyata penebusan atas ”dosa-dosa ekologinya” yang diproduk para penguasanya. Peristiwa ini secara awam memang tidak pernah dibayangkan sebelumnya meski dalam imajinasi yang paling liar sekalipun.

Akan tetapi dalam kisaran kebijakan lingkungan (environmental policy) sesungguhnya tragedi tenggelamnya Jakarta adalah hasil dari kebijakan perkotaan Pemda DKI Jakarta sendiri selama ini. Pemda DKI Jakarta telah ”berinvestasi” agar banjir datang menghadang Jakarta pada suatu saatnya.

Awal tahun 2007 warga Jakarta sedang ”memanen” perilaku pemerintahnya yang ”acak” dalam mendesain Jakarta. Intinya dalam koridor hukum lingkungan (milieurecht) dan ilmu planologi dapat dikatakan bahwa banjir Jakarta kali ini adalah legal selegal-legalnya akibat dari tindakan Pemda DKI Jakarta yang mengabaikan kepentingan lingkungan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusannya.

Pada tahun 2002 Jakarta telah mengalami banjir bandang. Pada saat itu banyak pihak berpaling pada rencana aksi yang terpola di Pantai Utara (Pantura) Jakarta. Terdapat aktivitas kecil-kecilan mereklamasi Pantura Jakarta yang disorot sebagai kausa banjir saat itu.

Tahun 2003 Pemerintah Daerah Jakarta sibuk mengembangkan proyek raksasa yang begitu ambisius berupa Reklamsi Pantura Jakarta. Semua tahu bahwa reklamasi bukan sesuatu yang dilarang dan “haram” dilakukan. Reklamasi itu “halal” dan dapat diselenggarakan dengan pertimbangan matang.

Tentu aspek ekonomi tidak boleh dikedepankan dalam konstelasi pereklamasian dengan ”menjungkalkan” visi lingkungan. Sejarah sudah menunjukkan bahwa menata kota dengan pertimbangan keuangan semata, ternyata meruntuhkan bangunan kota.

Lantas apa yang menjadi argumentasi utama reklamasi Pantura Jakarta yang membentang sepanjang 32 km dari Tanggerang sampai Bekasi itu? Pemda DKI melalui tangan Badan Pelaksana (BP) Reklamsi Pantai tampak tidak mau surut langkah.

Demi pertimbangan pengembangan Kota Jakarta, reklamasi tetap dilakukan. Kemudian, dari kajian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terhadap dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) untuk proyek reklamasi Pantura, terbukti tidak layak.

Hal ini dapat dibaca dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Keputusan inilah yang dalam “kisah” selanjutnya disengketakan di peradilan dan Mahkamah Agung memenangkan Kementerian Lingkungan Hidup.

Keputusan KLH tersebut sangat scientific mind dan bukan main-main. Reklamasi Pantura dengan “membumihanguskan” pesisir pantai sepanjang 32 km jelas membawa dampak besar secara ekologis maupun planologis. Fungsi dasar Pantura Jakarta sebagai daerah tangkapan air dan lahan konservasi akan hilang dengan reklamasi. Reklamasi hanya boleh apabila tetap bertumpu pada basis dasar Pantura Jakarta sendiri.

Warga Jakarta saat itu secara cerdas sudah menerka: dengan reklamasi, Jakarta pasti tenggelam. Semua sudah mafhum mengingat pada tahun 2002 sebelum dilakukan reklamasi besar-besaran saja, Jakarta sudah tenggelam.

Frekuensi banjir saat itu diprediksi akan meningkat. Dan kini bencana banjir di Jakarta tidak terelakkan menjadi “ritual musiman”. Hal ini wajar mengingat di Pantura itu bermuara lebih kurang 13 sungai. Kalau pantainya diuruk. Logikanya adalah terdapat pendangkalan Pantura. Akibat yang sudah terlihat adalah kerusakan habitat publik Jakarta.

Terhadap reklamasi Pantura itu memang berkembang pandangan bahwa reklamasi dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan. Dengan reklamasi akan terbuka lahan pembangunan bagi rakyat miskin perkotaan. Bukankah ini baik dan sepatutnya direalisir? Pikiran segmental demikian memang terkesan indah dan yahud.

Tapi semua pihak dapat menduga dan meraba dengan terang kalau hal tersebut hanya isapan jempol. Kalau pembangunan Pantura selesai ke mana lagi mereka bekerja? Mereka akan menjadi beban perkotaan dan semakin menambah ”deret ukur dan deret hitung” kemiskinan warga kota.

Lebih dari itu, kebijakan pembuatan tol tengah kota Jakarta dikaji banyak pihak sebagai faktor yang juga memperparah banjir Jakarta ini. Dengan banyaknya tol tengah kota maka daerah resapan air Jakarta berkurang. Pertumbuhan gedung dan superblock di Jakarta juga tidak dibarengi laju pembuatan drainase perkotaan.

Jakarta tidak mengenal kanal-kanal deainase perkotaan sebagaimana bisa kita ketemukan di banyak metropolitan dunia. Dengan demikian banjir Jakarta memang produk dari ”pabrik kebijakan” Pemdanya yang tidak memahami topografi dan karakter Kota Jakarta.

Tahun lalu peristiwa memilukan yang menelan korban manusia dan lingkungan itu telah menggelegar di kawasan Jakarta. Bencana yang telah merenggut nyawa, ribuan warga terisolasi dan hancurnya tatanan ekologis seperti yang kini terus mengancam jiwa warga Jakarta bukanlah semata-mata bencana alam, act of God, melainkan “kiamat” kemanusiaan dan lingkungan yang serius.

Hujan yang turun dari langit pada dasarnya adalah berkah, namun apabila hal tersebut ternyata dapat mengakibatkan terjadinya prahara berupa banjir dan tenggelamnya Jakarta, pasti ada yang salah dalam pengelolaan lingkungan perkotaan Jakarta.

Dari kasus tersebut dapat diketahui betapa lemahnya “kinerja ekologi” Pemerintah Jakarta. Bahkan secara nyata terindikasi bahwa institusi pemerintahan tersebut seolah gagal melindungi rakyatnya dalam konteks pengelolaan lingkungan berkelanjutan, apalagi dikaitkan dengan kemacetan Jakarta. Tegasnya, bencana tersebut merupakan peringatan keras tentang “rendahnya mutu pengelolaan lingkungan di Ibu Kota”.

http://www.mapalaptm.com/berita-655-...a-ekologi.html


Masih ributin kabel? Coba yang ributin kabel bantu cek di banyak titik banjir ini ada kabel gak ..
Diubah oleh maspiyu 08-03-2016 06:48
0
3.4K
48
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.2KThread40.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.