- Beranda
- The Lounge
Saya transgender, dan ini surat terbuka yang sangat panjang.
...
TS
psdnym
Saya transgender, dan ini surat terbuka yang sangat panjang.
[1]
21 Februari 2016
Saya seorang transgender pria berusia 23 tahun. Transgender pria di sini, berarti saya dilahirkan dengan alat kelamin perempuan namun otak saya mengidentifikasikan diri sebagai laki-laki. Sejauh ini KTP saya masih menyatakan bahwa saya adalah warga negara Indonesia. Selama 23 tahun hidup sebagai warga negara ini, saya selalu menyembunyikan fakta bahwa saya seorang transgender. Ini saya lakukan atas dasar rasa takut dan rasa percaya, bahwa jika mereka tahu masalah saya, saya akan didiskriminasi. Beruntung selama ini saya belum pernah didiskriminasi, karena saya selalu berhasil meyakinkan mereka bahwa saya normal. Ini adalah hal yang mudah dilakukan, karena salah satu metode pertahanan diri yang paling umum adalah Penyangkalan (denial)—jadi kalaupun saya memberi tahu orang-orang terdekat bahwa saya seorang transgender, mereka akan lebih memilih untuk menyangkal hal tersebut dan memberi seribu satu alasan kenapa mereka yakin saya bukan transgender. Sehingga yang perlu saya lakukan untuk melindungi identitas saya adalah dengan tidak mengkonfirmasi apa pun tentang kecurigaan mereka, sehingga mereka akan berpikir dengan sendirinya bahwa tidak ada yang "salah" tentang saya.
Namun belakangan ini, banyak hal berubah. Seorang menteri mengangkat isu LGBT dengan tidak begitu ramah dan orang-orang tiba-tiba panik luar biasa. Orang-orang konservatif berpikiran tertutup, orang-orang berpikiran terbuka yang menjunjung penuh kebebasan, serta orang-orang yang berada di antaranya mulai bermunculan. Sebelum ini saya tidak pernah bisa memilah, mana yang bisa saya percayakan untuk rahasia saya, serta mana orang-orang yang harus saya hindari. Namun sekarang, setelah isu ini meledak dan orang-orang mulai menunjukan posisi masing-masing, saya jadi dapat memilah dengan mudah. Ini patut disyukuri. Tapi tetap saja, kebencian tidak langsung yang diarahkan kepada saya, serta pernyataan perang negara saya sendiri terhadap saya dan kaum sepenanggungan, semakin lama membuat saya merasa semakin jengah. Maka setelah berhari-hari saya diam sambil mengamati, membaca, dan mendengarkan pendapat orang-orang tentang isu ini, saya merasa saya perlu sedikit membagi pandangan saya tentang kehidupan transgender, dan menyampaikan pendapat saya mengenai masalah ini.
Oleh karena itulah surat panjang ini dibuat.
Namun sebelum saya mulai, saya ingin menekankan terlebih dahulu, bahwa pengalaman setiap transgender berbeda-beda. Saya sendiri merupakan bagian dari kelompok transgender saya-sudah-tahu-dari-kecil. Pengalaman saya mungkin dan mungkin tidak mewakili pengalaman transgender-transgender lain. Hal yang sama juga berlaku terhadap pendapat dan pandangan saya terhadap isu LGBT—mereka adalah milik saya sendiri. Saya juga perlu mengingatkan, bahwa gender dan seksualitas merupakan dua hal yang berbeda. (Silakan google 'Genderbread' untuk informasi lebih lanjut.) Karena itu surat ini hanya mengandung pandangan saya sebagai seorang transgender, bukan homo, bi, pan, atau bahkan aseksual.
Sekarang biarkan saya mulai dengan sebuah biografi singkat.
Saya lahir pada tahun 1993. Saya menghabiskan masa kecil bertanya-tanya kenapa saya berbeda dengan kakak lelaki saya. Lalu saya menghabiskan masa remaja bertanya-tanya kenapa saya berbeda dengan orang-orang lain. Kuliah semester dua adalah waktu ketika saya mengalami mental breakdown pertama yang berlangsung selama tiga atau empat hari berturut-turut. Selama tahun-tahun setelahnya saya kerap mengalami hari-hari di mana saya akan 'kumat', dan bahkan hingga sekarang saya masih belum lepas dari situasi depresif yang berlaku hampir setiap waktu. Saya tidak bisa berfungsi sebagaimana manusia normal seharusnya berfungsi.
Saya bahkan tidak yakin bahwa yang saya alami memang depresi, karena orang-orang selalu meyakinkan saya bahwa itu cuma bad mood dan akan segera "pergi dengan sendirinya." Mereka tidak percaya bahwa yang saya alami bukan sekedar bad mood dan tidak akan hilang semudah itu, tak peduli berapa kali saya mencoba meyakinkan mereka. Hingga akhirnya saya mengaku kondisi-kondisi ini telah mendorong benak saya untuk memikirkan hal-hal seperti menyakiti diri sendiri hingga rencana bunuh diri, serta berapa besar kemungkinan rencana bunuh diri ini dapat saya lakukan.
Saya sangat membenci masa-masa itu.
Awalnya, saya mengira apa yang saya miliki adalah sebuah kondisi yang disebut burnout, karena gejala-gejala penderita burnout terdengar mirip dengan yang saya alami. Namun saya tahu itu bukan burnout, mengingat saya tidak pernah mengalami kejadian yang seharusnya dapat memicu kondisi ini. Lalu sebuah kuis permainan dari internet menduga bahwa saya seorang bipolar. Memang kondisi bipolar dapat menjelaskan mengapa saya mengalami hari-hari di mana saya merasa 'jatuh', tapi saya tetap yakin saya bukan seorang bipolar, karena perbedaan mood seorang bipolar begitu bertolakbelakang antara sedih dan bahagia, sementara ketika merasa bahagia saja saya tetap tidak bisa menghilangkan rasa sedih yang secara konstan menekan pikiran dan batin. Namun pada satu hari bulan Agustus tahun yang lalu, saya akhirnya menumkan istilah yang tepat untuk kondisi saya. Dan saya pun berkenalan dengan Gender Dysphoria.
Rasanya seperti Tuhan telah memutuskan bahwa saya sudah cukup lama menderita, dan waktunya sudah tiba bagi saya menerima jawaban tentang diri saya sendiri. Jawaban tersebut dikirim melalui sebuah channel milik seseorang transgender bernama Alex Bertie, dari sebuah situs video populer. Saya ingat saya hampir menangis sewaktu menonton salah satu video Bertie, padahal video itu hanya menunjukkan dengan gaya komedi, bagaimana Bertie merasa iri terhadap bulu yang tumbuh di wajah anjingnya. Namun video-video Bertie memiliki makna lebih bagi saya. Melalui channelnya saya merasa telah menemukan seorang kawan: bahwa saya tidak sendirian. Dan yang lebih penting lagi, saya menemukan diri saya sendiri. Saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saya merasa begitu bahagia. Ada secercah harapan, saya menyadari. Dan ada rasa takut pula yang datang bersama harapan itu, tapi saya terlanjur bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang hal ini. Lebih banyak tentang diri saya sendiri. Saya bertekad untuk memahami lebih jauh tentang diri saya sendiri.
---
21 Februari 2016
Saya seorang transgender pria berusia 23 tahun. Transgender pria di sini, berarti saya dilahirkan dengan alat kelamin perempuan namun otak saya mengidentifikasikan diri sebagai laki-laki. Sejauh ini KTP saya masih menyatakan bahwa saya adalah warga negara Indonesia. Selama 23 tahun hidup sebagai warga negara ini, saya selalu menyembunyikan fakta bahwa saya seorang transgender. Ini saya lakukan atas dasar rasa takut dan rasa percaya, bahwa jika mereka tahu masalah saya, saya akan didiskriminasi. Beruntung selama ini saya belum pernah didiskriminasi, karena saya selalu berhasil meyakinkan mereka bahwa saya normal. Ini adalah hal yang mudah dilakukan, karena salah satu metode pertahanan diri yang paling umum adalah Penyangkalan (denial)—jadi kalaupun saya memberi tahu orang-orang terdekat bahwa saya seorang transgender, mereka akan lebih memilih untuk menyangkal hal tersebut dan memberi seribu satu alasan kenapa mereka yakin saya bukan transgender. Sehingga yang perlu saya lakukan untuk melindungi identitas saya adalah dengan tidak mengkonfirmasi apa pun tentang kecurigaan mereka, sehingga mereka akan berpikir dengan sendirinya bahwa tidak ada yang "salah" tentang saya.
Namun belakangan ini, banyak hal berubah. Seorang menteri mengangkat isu LGBT dengan tidak begitu ramah dan orang-orang tiba-tiba panik luar biasa. Orang-orang konservatif berpikiran tertutup, orang-orang berpikiran terbuka yang menjunjung penuh kebebasan, serta orang-orang yang berada di antaranya mulai bermunculan. Sebelum ini saya tidak pernah bisa memilah, mana yang bisa saya percayakan untuk rahasia saya, serta mana orang-orang yang harus saya hindari. Namun sekarang, setelah isu ini meledak dan orang-orang mulai menunjukan posisi masing-masing, saya jadi dapat memilah dengan mudah. Ini patut disyukuri. Tapi tetap saja, kebencian tidak langsung yang diarahkan kepada saya, serta pernyataan perang negara saya sendiri terhadap saya dan kaum sepenanggungan, semakin lama membuat saya merasa semakin jengah. Maka setelah berhari-hari saya diam sambil mengamati, membaca, dan mendengarkan pendapat orang-orang tentang isu ini, saya merasa saya perlu sedikit membagi pandangan saya tentang kehidupan transgender, dan menyampaikan pendapat saya mengenai masalah ini.
Oleh karena itulah surat panjang ini dibuat.
Namun sebelum saya mulai, saya ingin menekankan terlebih dahulu, bahwa pengalaman setiap transgender berbeda-beda. Saya sendiri merupakan bagian dari kelompok transgender saya-sudah-tahu-dari-kecil. Pengalaman saya mungkin dan mungkin tidak mewakili pengalaman transgender-transgender lain. Hal yang sama juga berlaku terhadap pendapat dan pandangan saya terhadap isu LGBT—mereka adalah milik saya sendiri. Saya juga perlu mengingatkan, bahwa gender dan seksualitas merupakan dua hal yang berbeda. (Silakan google 'Genderbread' untuk informasi lebih lanjut.) Karena itu surat ini hanya mengandung pandangan saya sebagai seorang transgender, bukan homo, bi, pan, atau bahkan aseksual.
Sekarang biarkan saya mulai dengan sebuah biografi singkat.
Saya lahir pada tahun 1993. Saya menghabiskan masa kecil bertanya-tanya kenapa saya berbeda dengan kakak lelaki saya. Lalu saya menghabiskan masa remaja bertanya-tanya kenapa saya berbeda dengan orang-orang lain. Kuliah semester dua adalah waktu ketika saya mengalami mental breakdown pertama yang berlangsung selama tiga atau empat hari berturut-turut. Selama tahun-tahun setelahnya saya kerap mengalami hari-hari di mana saya akan 'kumat', dan bahkan hingga sekarang saya masih belum lepas dari situasi depresif yang berlaku hampir setiap waktu. Saya tidak bisa berfungsi sebagaimana manusia normal seharusnya berfungsi.
Saya bahkan tidak yakin bahwa yang saya alami memang depresi, karena orang-orang selalu meyakinkan saya bahwa itu cuma bad mood dan akan segera "pergi dengan sendirinya." Mereka tidak percaya bahwa yang saya alami bukan sekedar bad mood dan tidak akan hilang semudah itu, tak peduli berapa kali saya mencoba meyakinkan mereka. Hingga akhirnya saya mengaku kondisi-kondisi ini telah mendorong benak saya untuk memikirkan hal-hal seperti menyakiti diri sendiri hingga rencana bunuh diri, serta berapa besar kemungkinan rencana bunuh diri ini dapat saya lakukan.
Saya sangat membenci masa-masa itu.
Awalnya, saya mengira apa yang saya miliki adalah sebuah kondisi yang disebut burnout, karena gejala-gejala penderita burnout terdengar mirip dengan yang saya alami. Namun saya tahu itu bukan burnout, mengingat saya tidak pernah mengalami kejadian yang seharusnya dapat memicu kondisi ini. Lalu sebuah kuis permainan dari internet menduga bahwa saya seorang bipolar. Memang kondisi bipolar dapat menjelaskan mengapa saya mengalami hari-hari di mana saya merasa 'jatuh', tapi saya tetap yakin saya bukan seorang bipolar, karena perbedaan mood seorang bipolar begitu bertolakbelakang antara sedih dan bahagia, sementara ketika merasa bahagia saja saya tetap tidak bisa menghilangkan rasa sedih yang secara konstan menekan pikiran dan batin. Namun pada satu hari bulan Agustus tahun yang lalu, saya akhirnya menumkan istilah yang tepat untuk kondisi saya. Dan saya pun berkenalan dengan Gender Dysphoria.
Rasanya seperti Tuhan telah memutuskan bahwa saya sudah cukup lama menderita, dan waktunya sudah tiba bagi saya menerima jawaban tentang diri saya sendiri. Jawaban tersebut dikirim melalui sebuah channel milik seseorang transgender bernama Alex Bertie, dari sebuah situs video populer. Saya ingat saya hampir menangis sewaktu menonton salah satu video Bertie, padahal video itu hanya menunjukkan dengan gaya komedi, bagaimana Bertie merasa iri terhadap bulu yang tumbuh di wajah anjingnya. Namun video-video Bertie memiliki makna lebih bagi saya. Melalui channelnya saya merasa telah menemukan seorang kawan: bahwa saya tidak sendirian. Dan yang lebih penting lagi, saya menemukan diri saya sendiri. Saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saya merasa begitu bahagia. Ada secercah harapan, saya menyadari. Dan ada rasa takut pula yang datang bersama harapan itu, tapi saya terlanjur bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang hal ini. Lebih banyak tentang diri saya sendiri. Saya bertekad untuk memahami lebih jauh tentang diri saya sendiri.
---
0
13.1K
135
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
925.2KThread•91KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok