pakdejoyAvatar border
TS
pakdejoy
KOMPAS dan Pemberitaan Pro-LGBT: Jadi Pembela Terdepan Kaum Tertindas itu?
Nyatakan LGBT Gangguan Jiwa, dr Fidiansyah Dituding Menutupi Kebenaran
Jumat, 19 Februari 2016 | 16:14 WIB


dr Fidiansyah Sp KJ MPH

KOMPAS.com - Aksi Skakmat dr Fidiansyah Sp KJ MPH di acara Indonesia Lawyers Club yang diadakan TV One pada Selasa (16/2/2016) lalu berbuntut pada silang pendapat.

Dalam acara tersebut, Fidiansyah yang merupakan psikiater sekaligus Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza di Kementerian Kesehatan menyatakan, Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual (LGBT) adalah gangguan jiwa.

Fidiansyah mengatakan, pernyataannya didasarkan pada buku teks tebal yang memuat panduan tentang diagnosis psikologi dan gangguan kejiwaan.

Dia mengatakan bahwa buku yang selama ini digunakan kalangan LGBT dan pendukungnya adalah buku saku yang tidak menjelaskan secara lengkap tentang doagnosis mengenai LGBT.

"Mohon maaf, buku yang dipakai itu buku saku Pak, kalau buku kami, text book-nya tebel begini Pak. Sama-sama membahas LGBT, tapi ini yang lengkap," ungkap Difiansyah.

"Silahkan dibuka halaman 288, 280 dan 279. Persis kalimatnya ada. Ini adalah masih sebuah gangguan,” imbuhnya. Host Karni Ilyas kembali menanyakan dan Fidiansyah menegaskan bahwa LGBT adalah "gangguan jiwa". Berikut cuplikan pernyataannnya.

Video pernyataan Fidiansyah yang bisa ditemukan di Youtube itu dibagikan ratusan ribu kali ke media sosial. Kalangan anti-LGBT menggunakannya sebagai referensi pendukung.

Sejumlah media membuat berita dengan dasar video itu. Portal www.tarbiyah.net misalnya, membuat berita berjudul "Argumen Ilmiah Dr Fidiansjah Bikin Pendukung LGBT Mati Kutu".

Belakangan kemudian muncul bantahan dari pernyataan Fidiansyah. Bantahan secara tidak langsung muncul dari dr Andri SpKJ FAPM, psikiater dengan kekhususan psikosomatik medis, Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine dan pengajar di Fakultas Kedokteran UKRIDA.

Andri yang menulis di Kompasiana pada Jumat (19/2/2016) menegaskan dengan huruf kapital, "Homoseksual (Gay dan Lesbian) dan Biseksual TIDAK TERMASUK GANGGUAN JIWA."

Andri mendasarkan diagnosanya pada Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang merupakan buku pedoman diagnosis gangguan jiwa yang dipakai di Indonesia, diterbitkan oleh Kemenkes tahun 1993.

Buku tersebut merupakan buku yang sama seperti yang dimaksud Fidiansyah. Dalam tulisannya, Andri menunjukkan dengan detail bagaimana buku itu menyatakan bahwa LGBT buka gangguan jiwa.

"Pada kode F66 Gangguan Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan Dengan Perkembangan dan Orientasi Seksual, di bawahnya langsung tertulis: catatan: Orientasi Seksual Sendiri Jangan dianggap sebagai suatu Gangguan," jelas Andri.

Butir F66 pada halam 288 buku tersebut menyatakan adanya gangguan maturitas seksual. Di situ, yang dimaksud adalah individu yang mederita karena ketidakpastian tentang identitas jenis kelamin dan orientasi seksualnya.

Ketidakpastian identitas jenis kelamin misalnya terjadi pada Muhammad Prawirodijoyo alias Joy. Perkembangan kelamin sejatinya terlambat sehingga harus disesuaikan ketika dewasa.

Gangguan maturitas seksual juga bisa menimpa LGBT. Namun, bukan LGBT itu sendiri yang merupakan penyakit. Lebih pada perasaan menderita sebab belum menemukan dirinya.

Seporang netizen Herman Saksono menanggapi ungkapan Fidiansyah di blog-nya. Ia mengungkap ada sejumlah bagian dari buku pedoman diagnosis gangguan jiwa yang tiudak dikatakan oleh Fidiansyah.

Pertama soal bahwa orientasi seksual bukan masalah. Kedua, bahwa homoseksualitas sebenarnya setara dengan heteroseksualitas.

"dr. Fidiansjah melenyapkan 2 kalimat dan merangkai potongan-potongan tulisan PPDGJ III sehingga homoseksualitas dan biseksualitas seolah-olah adalah gangguan jiwa," tulisnya.

Fidiansyah dalam acara ILC menyatakan agar tidak membaca sepotong-sepotong. Namun menurut Herman, Fidiansyah-lah yang membaca sepotong-sepotong. "Di sini nampak bahwa dr. Fidiansjah tidak mengatakan kebenaran," katanya.

"Kesalahan dr. Fidiansyah tidak dapat diterima. dr. Fidiansyah harus mengkoreksi ucapannya kepada publik dan meminta maaf karena tindakannya berpotensi melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum marginal homoseksual, biseksual, dan LGBT pada umumnya," imbuhnya.

Kepada Kompas.com beberapa waktu lalu, dr Ryu Hasan yang seorang neurolog juga mengungkapkan bahwa LGBT bukan gangguan jiwa dan tidak harus diobati atau diterapi.

Dia juga mengkritisi kalangan ilmuwan dan dokter yang kurang memperbarui pengetahuannya serta masih mendikotomikan ilmu dan keyakinan.

"Menganggap bahwa science dan keyakinan adalah dua hal yang terpisah. Kalau tidak sesuai keyakinan, maka science-nya diabaikan," imbuhnya.

Fidianyah adalah mantan Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan dan menjadi salah satu pembimbing di Peduli Sahabat, komunitas yang salah satu tujuannya adalah "meluruskan" LGBT.

Dalam acara ILC, Fidiansyah juga mengatakan bahwa pedoman diagnosis gangguan jiwa tidak bisa hanya berdasarkan sains saja tetapi juga spiritual.
http://sains.kompas.com/read/2016/02...tupi.Kebenaran


LGBT Bukan Gangguan Jiwa
Sabtu, 30 Januari 2016 | 12:15 WIB

KOMPAS.com - Setiap kali isu tentang LGBT (lesbian, gay, transgender, dan biseksual) muncul di media, selalu ada pro dan kontra yang berkembang.

Masyarakat umumnya menganut norma heteronormatif, yang meyakini jender hanya terdiri dari laki dan perempuan, tidak ada yang sejenis atau tidak. Karenanya, mereka yang berada di wilayah"abu-abu" itu dianggap sebagai penyimpangan, bahkan penyakit gangguan mental.

Sebelum tahun 1973, para ahli psikiatri dan dokter memang masih menganggap orientasi seksual penyuka sesama jenis sebagai gangguan jiwa. Tetapi sejak tahun 1973, American Psychiatric Association menghapus kategori homoseksual sebagai gangguan jiwa.

Dalam acuan diagnostik para ahli psikiatri di seluruh dunia, yakni Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) III tahun 1973 homoseksual juga tidak lagi dikategorikan sebagai gangguan jiwa.

Sementara itu, di Indonesia dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa, Edisi II, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 1983 (PPDGJ II) dan (PPDGJ III) 1993, pada point F66 meyebutkan bahwa orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, biseksual) bukan gangguan kejiwaan.

"Di situ jelas tertulis bahwa orientasi seksual tidak termasuk gangguan jiwa atau penyimpangan. Tapi, bisa disebut gangguan jiwa jika bersifat ego distonik atau seseorang merasa terganggu dengan orientasi seksualnya sehingga timbul konflik psikis," kata dr.Andri, Sp.KJ dari RS.Omni Alam Sutra ketika dihubungi Kompas.com (29/1/16).

Andri mengatakan, dalam praktik sehari-hari ia banyak menemukan pasien LGBT yang merasa depresi. "Biasanya pemicu depresinya karena mendapat tanggapan tidak baik atau stigma dari lingkungannya, atau ditinggal oleh orang yang selama ini bisa mengerti dan menerima dia," katanya.

Pada pasien yang mengalami ego distonik atau tidak bisa menerima orientasi seksualnya, menurut Andri, seorang psikiater biasanya berupaya memberi penanganan secara psikologis agar ia bisa menerima diri apa adanya sehingga rasa kecemasan, kesepian, dan sedih dapat dihilangkan.

Ia menambahkan, jarang ada pasien homoseksual yang ingin mengubah orientasi seksualnya. "Memang ada yang berpendapat homoseksual bisa diubah, tapi kalau homoseksual murni tidak bisa. Kalau ada homoseksual yang akhirnya menikah dengan lawan jenis, kemungkinan ia adalah seorang yang biseksual," ujarnya.

Menurut Andri, orientasi seksual juga tidak menentukan sifat atau aspek mental lainnya. "Kalau ada yang menyatakan homoseksual pasti melakukan perbuatan menyimpang, itu tidak benar. Orang heteroseksual pun bisa melanggar norma yang berlaku di masyarakat," katanya.

Varian

Mengenai penyebab adanya orientasi seksual yang berbeda, dr.Roslan Yusni Hasan, spesialis bedah saraf, menjelaskan, orientasi seksual seseorang ditentukan oleh otaknya, bukan jenis kelaminnya.

"Organ seks yang utama adalah otak, bukan alat kelamin. Karena orientasi seksual seseorang dibentuk di otak. Jadi kita sendiri yang membuat apa yang dianggap bisa merangsang libido," kata dokter yang akrab disapa dr.Ryu ini.

Pembentukan orientasi seksual ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor perkembangan otak sejak masih menjadi janin. "Misalnya kalau saat hamil ibunya terkena infeksi, sehingga bagian otak tertentu berkembang lebih pesat dibanding bagian lainnya. Akibatnya sifat atau selera dapat berbeda," ujar dokter yang banyak mempelajari kerja otak ini.

Selain itu, otak kita juga menentukan orientasi diri (gender). "Orientasi diri itu misalnya saya feminin atau saya maskulin. Otak adalah organ yang pertama kali terbentuk di kandungan dan ia menyusun segala macam, termasuk identitas diri seseorang," katanya.

Ryu menegaskan, perbedaan orientasi seksual merupakan varian di alam semesta. "Alam semesta ini bersifat acak, tapi manusianya yang menyukai pola. Padahal, ada banyak varian. Termasuk untuk urusan orientasi seks," ujarnya.
http://health.kompas.com/read/2016/0....Gangguan.Jiwa


10 Tahun Lalu, Prinsip untuk Tidak Mendiskriminasi LGBT Ditandatangani di Yogyakarta
Kamis, 18 Februari 2016 | 21:59 WIB


Aktivis LGBT menggelar aksi peringatan Hari Internasional Melawan Homofobia dan Transfobia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta (17/5/2015).

JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo, menyebutkan bahwa pada November 2006, di Indonesia telah ditandatangani prinsip untuk menjaga hak-hak mendasar terkait komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transjender (LGBT).

Kesepakatan itu tertulis dalam Yogyakarta Principles, yang ditandatangani oleh 29 pakar HAM internasional dari 25 negara. Saat itu, Indonesia hanya diwakili mendiang Rudi Muhammad Rizki, yang pernah menjadi hakim adhoc dalam pengadilan HAM.

Dokumen tersebut berisi prinsip-prinsip hak mendasar berkaitan orientasi seksual dan identitas jender.

"Ketika kita sekarang ramai tentang LGBT, 10 tahun yang lalu lahir suatu prinsip acuan tentang SOGI Rights (Sexual Orientation and Gender Identity)," ujar Heru dalam sebuah acara diskusi di Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (18/2/2016).

Heru menambahkan, Yogyakarta Principles sifatnya terbilang lunak (soft law), bukan aturan yang ketat dan mengikat (hard law).

Sehingga, sifatnya tidak memaksa dan tidak memerlukan ratifikasi, karena tidak seperti konvensi atau perjanjian.

Meski begitu, prinsip ini bisa jadi menjadi rujukan bagi negara-negara anggota PBB terkait orientasi seksual.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan kelompok yang pro dengan hak-hak LGBT menjadikan prinsip ini untuk memperkuat klaim mereka.

Sedangkan bagi kalangan kontra LGBT, prinsip ini bisa bersifat mengganggu, karena memberikan legalisasi atau dasar hukum untuk legalitas hak-hak LGBT.

"Tergantung negara bersangkutan atau hak-hak politik setiap negara," kata Heru.

Ia menambahkan, menurut Yogyakarta Principles dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik Warga Negara, LGBT tetap memiliki hak untuk terbebas dari diskriminasi dalam beberapa hal.

Hak itu misalnya dalam pekerjaan, pendidikan, pekerjaan dan kesehatan, yang tidak boleh didiskriminasi.

Namun, untuk merambah kepada hak-hak lain yang sifatnya lebih besar, seperti pernikahan sejenis, menurut Heru akan sulit untuk diterapkan Indonesia.

Heru menambahkan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 pun disebutkan bahwa hak asasi manusia terbatas. Di antaranya dibatasi nilai agama, sosial, budaya, dan hak orang lain. Serta tak mengganggu ketentraman dan ketertiban.

Pada akhirnya, kata dia, Yogyakarta Principles terbentur nilai-nilai agama dan sosial negara.

"Jadi sebatas tidak mendapat kekerasan, boleh bekerja, berusaha, berdagang, berobat itu oke. Tapi selebihnya akan sulit karena bertentang dengan nilai sosial agama di Indonesia," tuturnya.
http://nasional.kompas.com/read/2016....di.Yogyakarta


MAHO didandani Ustadz dalam Dialog LGBT di KOMPAS-tv



Lebih banyak lagi kalau di browsing dibawah ini,
https://www.google.co.id/search?biw=...#q=kompas+lgbt

-------------------------------

Efek daripada kebebasan media ... biarkan saja masyarakat yang menilainya. Toh rakyat semakin cerdas, pengetahuannya juga terus bertambah via dunia maya/internet. Apalagi yang sudah muslim, jumlah 87% dari penduduk di negeri ini, memang semuanya gampang di selewengkan keyakinan aqidahnya?

emoticon-Cape d... (S)
Diubah oleh pakdejoy 21-02-2016 02:38
0
7K
77
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.9KThread40.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.