"Hey, kau tau Ayah akan menghukum kita jika ia tau kita disini".
"Ah Eisle, berhentilah mengomel, sebentar lagi kita sampai, kau sendiri kan yang ingin ikut".

Eisle memang sedikit takut akan gelap, tapi cahaya bulan malam itu seperti senter raksasa, dan itu membuat dia sedikit lega. Sementara, jemari shairish yang lancip meraba dalam gelap seperti ada bola mata ikan jenis bioluminescence di setiap ujung kukunya, menyingkirkan ranting sepanjang perjalanan.

Puluhan atau mungkin ratusan langkah telah dijejakkan menuju bukit Huffer. Sepatu Glictx-nya Shairish yang baru dipakai 3 hari kini telah dipenuhi lumpur hingga mirip sepatunya Bubblebunny di film The Zarghanof. Tapi sepertinya dia sama sekali tak peduli. "Shhttt, berhenti sebentar" kata Shairish sambil menatap langit. Dia memang sangat terobsesi dengan antariksa. Mudah tertarik dengan obrolan tentang bintang, supernova dan sejenisnya. "Ah dia mulai lagi" itu yang biasa diucapkan oleh teman-temannya jika shairish sudah mulai bicara soal variabilitas cahaya dari sebuah bintang.

Tujuannya malam ini pun masih tentang bintang, dia tak mengharapkan adiknya untuk ikut, tapi kehadiran Eisle meringkan bebannya dalam membawa Celestron NexStar—Teleskop ayahnya yang mereka 'pinjam' diam-diam. Wajah shairish yang masih menatap ke langit menjadi tanda bagi Eisle mencari batu untuk diduduki, dia sedikit kelelahan dan mengeluarkan survival-kit—nya mencari sesuatu untuk dikunyah, sambil sesekali melihat ke sekitar, seolah takut makanan kesukaannya diambil tiba-tiba. "Eisle kemarilah", shairish memanggil dibalik pohon ek yang besar, entah sejak kapan ia berada disana. "Apa yang kau temukan?" sahut Eisle sembari berjalan ke arah suara kakanya....

bersambung...

@rukkirackat

#fiksi #fantasy